Monday, June 6, 2016

MENANG PERKARA HINGGA M.A TANPA AMPLOP TANPA PENGACARA





Melanggar perjanjian tertulis atau kontrak antara dua fihak berarti melanggar Undang Undang. Itu ilmu hukum yang saya pelajari dalam pendidikan intern Bank BRI. Oleh karena itu, ketika rekan bisnis saya, Maskapai pelayaran PT.Pulau Laut memutuskan kontrak, saya mengingatkan mereka akan akibatnya. Semula kami menawarkan jalan damai, tetap mereka acuh karena mereka menganggap diri sebagai perusahaan besar menghadapi perusahaan kami yang kecil dan baru berdiri 3 tahun.Akibat kerugian  karena pemutusan kontrak sefihak kami mengajukan tuntutan ke Pengadilan Negeri.

Disuatu hari siang yang terik, tanpa angin tanpa hujan, tiba-tiba bak petir di siang bolong, kami menerima surat dari kontraktor utama, PT.Pulau Laut yang mengatakan bahwa kontrak akan diputus.
Dengan segala kerendahan hati kami melakukan negosiasi dengan Direktur keuangan, memohon agar kontrak jangan diputus, tetapi ditinjau ulang. Kami meminta agar kontrak direvisi, semula menyewa 2 unit Stacker dikurangi menjadi 1 unit saja. Tetapi Pak Tomy, Direktur keuangan bergeming dengan alasan main contract dengan P.T.PELINDO II juga dikurangi dari 3 unit menjadi 1 unit saja.
Kami mengingatkan bahwa kontrak tidak bisa diputus, kecuali kami tidak mampu mengoperasikan alat dan mendapat peringatan tertulis tiga kali berturut-turut.
Namun Pak Tomy berkeras, bergeming, walau kami dengan jelas mengisyaratkan kemungkinan berperkara. Mungkin mengira kami adalah perusahaan kecil, tidak akan melawan.
Dengan rasa terpaksa hubungan baik diakhiri dengan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Di Pengadilan ini kami kalah, walau menggunakan pengacara terkenal Yan Apul SH.  Kami kalah karena menolak dengan keras permintaan uang dari Ketua Majelis Hakim, karena kami merasa benar.
Karena kalah di Pengadilan Negeri, maka Surat kuasa kepada pengacara kami cabut. Lalu kami naik banding, kali ini tanpa bantuan pengacara, hanya dibantu advice hukum dari family kami yang masih muda, Ucok Pasaribu, SH.

Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tinggi yang kami temui sebelum sidang mengatakan: “Bapak pasti menang, jika kalah nama saya akan tercoreng di Mahkamah Agung,” katanya percaya diri dengan menambahkan: “Perkaranya sangat sederhana, pihak Tergugat memutus kontrak secara sepihak,” tuturnya.

Benar saja, kami diputus menang di Pengadilan Tinggi tanpa menjanjikan akan memberikan sesuatu kepada hakim. Setelah menang kami memberi sesuatu sebagai ucapan terima kasih, itu persoalan lain. Ternyata masih banyak hakim yang jujur di Negeri ini.
Kali ini pihak Tergugat langsung kasasi ke Mahkamah Agung. Di MA, kami belum pernah ketemu dengah Hakim Agung, tetapi mereka memperkuat putusan Pengadilan Tinggi, kami menang lagi, walau tanpa pengacara dan tanpa amplop.
Kemenangan formal sebesar Rp 1,2 miliar yaitu sisa kontrak 12 bulan @ Rp 100 juta itu tidak segera dapat direalisir. Diperlukan kesabaran dan strategi menghadapi Tergugat, sebuah perusahaan pelayaran besar.

Satu kendala muncul lagi. Kami belum mendapat Surat Keputusan menang dari Mahkamah Agung. Setelah berusaha mendapatkannya, mulai dari Bagian Perdata hingga menemui Direktur Perdata. Hasilnya NOL besar.
Dengan wajah kecut kami didatangi seorang Satpam MA. Dia menawarkan jasanya untu mendapatkan copy Surat keputusan.
Dalam hati apa ruginya kalau dicoba. Dengan hanya member uang rokok, tanpa diminta S.K pun kami terima. Makanya jangan anggap remeh kepada orang kecil seperti Satpam ini.

Hanya berbekal c
opy Surat keputusan MA, langsung kami serahkan kepada pihak Tergugat. Pihak tergugat tergesa gesa minta negosiasi. Negosiasi pun dilakukan baik pertemuan langsung maupun melalui telepon. Negosiasi pertama di area pelabuhan. Tergugat menambah dua pengacara lagi disamping bagian hukum perusahaan, sedang kami tidak pakai pengacara, hanya didampingi S.H, family yang masih muda. Negosiasi kedua dan ketiga di Restoran Hotel Danau Sunter dan Gandys Kelapa Gading.

Karena alotnya negosiasi, s
aya punya strategy tersendiri untuk mempercepat pembayaran. Saya menyiapkan Surat pengaduan ke Kapolres P3 Tanjung Priok. Isinya menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan tindak pidana, menjual Stacker milik mereka (yang sudah disita oleh Pengadilan Negeri). Informasi ini saya dapatkan sebelumnya dari networks saya di pelabuhan. Stacker mereka saya minta disita oleh Pengadilan Negeri. Ilmu ini saya peroleh dari training ilmu hukum selama bekerja di Bank.

Sanksi
tindak pidana penjualan barang sitaan ini bisa dipenjara beberapa tahun. Maka tidak lama setelah pertemuan ketiga ini diperoleh kesepakatan angka ganti rugi Rp 1,2 miliar diturunkan menjadi Rp 1 miliar.
Setelah penandatangan Akte Notaris, penyelesaian tuntutan selesai, transfer Rp 1 miliar pun dilakukan. Praise the Lord, case closed. Dengan penuh senyum kami pulang.

Kami mempunyai hubungan yang baik dengan mitra kerja, akan tetapi dengan hati berat terpaksa menuntut. Satu dan lain hal semua karena Krisis moneter di Asia yang maha dahsyat.





















No comments: