Wednesday, July 17, 2013

SILSILAH SAYA DI MARGA SITUMEANG












                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           

                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                              
Selama dibelakang nama tercantum kata Situmeang, maka selama itu pula kita termasuk dalam komunitas suku Batak, komponen bangsa Indonesia dan secara langsung atau tidak langsung bersinggungan dengan adat istiadat dan kebudayaannya yang khas, terpelihara turun temurun sekitar 15-17 generasi, yang semua  tercatat dengan seksama dalam Silsilah atau Family tree.
 
        
                                               Sampul Buku Biography


Silsilah Situmeang akan saya diuraikan dalam 2 (dua) struktur besar yang sengaja  diawali dari 6 (enam) generasi terakhir, generasi nomor 11 sampai dengan generasi nomor 15, mulai generasi kakek saya langsung yaitu no.11 hingga  generasi cucu saya Tobias dan Jonas, nomor 15. Dan struktur berikutnya adalah garis garis besar leluhur marga Situmeang dari generasi pertama, generasi mula mula sampai generasi nomor 10, yaitu generasi kakeknya Bapak saya kandung. 
        
                             Tobias dan Jonas
 

Alkisah, generasi 11, adalah Ompung, kakek saya langsung bernama Jacob, tinggal di Pintubosi, Gontingmahe, sekitar 13 km dari Kolang, Tapanuli Tengah. Dia menduda dan kawin lagi dengan boru Hutagalung, yang masih saya kenal hingga saya berusia 18 tahun, dia menggantikan nenek boru Sinaga, yang meninggal dunia, sedang kakek sendiri tidak sempat saya kenal. Ompung Sinaga ini masih keluarga dengan Sinaga pemilik asuransi Bumi Asih.
         Keturunan kakek dari dua nenek ini, termasuk keluarga besar dikaruniai 12 orang anak, lima laki-laki dan tujuh perempuan, yang sangat akur dan kompak satu dengan yang lain, belum pernah saya dengar ada persoalan di antara mereka, bahkan banyak yang tidak menduga kalau mereka itu berbeda Ibu. Bapak dan Ibu saya akomodatif membantu adik-adiknya, sampai mereka berdiri sendiri, menikah satu persatu. Makanya saya prihatin jika timbul issue yang menghembuskan perbedaan dua nenek dari satu kakek ini.
 

 Bapak J.Situmeang, Inang L.Pandiangan dan adik Tinur

Sesuai dengan situasi zaman, dari 12 bersaudara ini, hanya tiga orang yang berjiwa bisnis, Bapak saya dan Bapak Uda Nursi plus Bapak Uda Palembang yang sempat menjadi pegawai perusahaan asuransi, sedang yang lain  adalah petani. Anak pertama yaitu Bapaktua Leban, merantau ke Tanotombangan di Tapanuli Selatan,  adik Bapak, Djason menjadi petani di Sitahuis.

Ketujuh anak perempuan yang saya panggil namboru (tante) berurut dari yang tertua yaitu kawin dengan marga Hutagalung, Tobing, Gultom, Hutabarat, Sihombing, Purba dan Sianturi. Namboru paling bungsu ini yang sekarang tinggal di Tangerang, beda usia dengan saya hanya 9 tahun, usia 73 tahun, seusia dengan kakak  saya tertua, Resti (Alm).  Konon dikisahkan Namboru Ny.Sianturi ini  dikala kecil sering  menjaga saya, bahkan suatu ketika pernah jatuh dari gendongannya.

Hingga akhir tahun 2007 generasi nomor 12 yang masih hidup adalah anak nomor 7, Namboru Hutabarat di Poriaha, Tapanuli Tengah, anak nomor 9 Bapak Uda Maddirin, Padangsidempuan, anak nomor 11, Bapak Uda Barain Palembang dan anak bungsu nomor 12, Namboru Sianturi di Tangerang, dalam rentang usia 73 – 80 tahun.


R.Pasaribu, P.Situmeang
 
 
Keluarga Pinondang Situmeang, Kelapa Gading, Jakarta Utara

Selanjutnya, rincian nama generasi saya, generasi nomor 13 dan yang mampu saya catat di sini hanya beberapa orang, yaitu:Anak Bapaktua Leban, Hirtab (alm), Hatorangan (alm) dan Efendy.  Anak sulung namanya Sere, kawin dengan marga Simamora, Polri, pernah dinas di Cirebon sebelum pindah ke Pematang Siantar. Satu anaknya, Robinson Simamora tinggal di Utan Kayu, Jakarta Timur, bekerja di Divisi Pengawasan Bank Mandiri. Sedang anaknya Hatorangan, tinggal di Surabaya dan tahun 2001 nikah di Jambi dimana saya  menjadi walinya.

Anak Bapak Uda Jason/boru Aritonang, yang saya ingat adalah anak sulungnya bernama Pardamean dan adiknya Aludin dan Paian.

·        
Bapak Uda Maddirin menjadi Keluarga paling besar dengan 12 orang anak dari dua istri bermarga sama. Lumbantobing yaitu setelah isteri pertama meninggal dunia. Dari istri pertama lahir 5 orang anak, Nursi, Husin, Kondar, Siti dan Laris. Sedang dari isteri kedua dikarunia 7 orang  yaitu : 1. Opdes, Oki, Evijuli, Rosmian, Yakoprin, Mawarni, Juarantua..

 
Beberapa anak Bapak Uda Barain (Ompung Victor) tinggal di Palembang adalah Robert, Firman, Doris, Emmy, Marlinda dan Juliana.

·        
Sedangkan anak namboru Sianturi, salah satu kawin dengan marga Tampubolon dan tinggal di Jl. Kebon Sirih, Jakarta Pusat.

Disamping itu ada dua namboru lain yaitu Keres yang kawin dengan Sahala Hutagalung, yang tinggal beberapa hari di Kelapa Gading dan namboru Riamsa. Keduanya adalah keturunan Ompung Tagok, adik ompung kandung Jacob. Tapi anak laki Ompung Tagok meninggal, yang dikenal dengan istilah punu.

Dan sebagai catatan terakhir adalah generasi nomor 15, generasinya Tobias, cucu saya dari Pahala dengan Shinta Dewi. Disamping itu, perlu pula dicatat di sini nama-nama 3 cucuku tersayang yang lain, walaupun tidak termasuk dalam Silsilah Situmeang yaitu Ramos dan Salomo, anak Vera – Moseley Simatupang dan Antonia Jones, anak Peggy dan Mark Jones..
 
Ramos, Salomo Simatupang dan Antonia Jones, Tobias Situmeang
 
Generasi No.14 (Peggy, Pahala)dan 15 Tobias Manuel Marisi) 

Sekarang akan dikisahkan tentang struktur kedua yaitu generasi mula mula sampai ke generasi nomor 10, yang diolah dari berbagai sumber Silsilah yang disusun dan di cross cek satu sama lain, termasuk tulisan tangan Bapak saya kandung. Jika dihitung dengan usia hidup rata rata antara 50-60 tahun per generasi, maka silsilah 15 generasi ini sudah mencapai 750-800 tahun.

Nenek moyang generasi pertama Situmeang bernama Ompung Djamita Mangaraja, mempunyai 4 anak laki-laki dan merupakan generasi kedua  yang biasa dipanggil Ompu atau Ompung dengan urutan: 1.Raja Lalo, 2.Binanga Julu, 3.Raja Naunang dan 4.Juaratua.  Nenek moyang saya langsung adalah keturunan dari anak bungsu,nomor 4 yaitu Ompu Juaratua, yang pada hari Minggu tanggal 29 Oktober 2006 lalu mengadakan family gathering akhbar di Gedung Pertemuan Sejahtera, Pondok Gede, Bekasi yang dihadiri ratusan keluarga yang datang dari wilayah Jabodetabek.

Urutan berikutnya hanya sampai generasi ketiga, sedangkan rincian selengkapnya dapat dilihat di chart Silsilah. Nenek moyang saya Ompu Juaratua ini mempunyai empat orang anak yang menjadi generasi ketiga, dengan urut-urutan nomor urut : 1.Parhusor, 2.Rajaitoba, 3.Rawar dan 4.Panandean, dimana kami termasuk keturunan dari anak nomor ketiga, Rawar.

Urut-urutan nomor anak tersebut di atas mempunyai implikasi langsung dalam pergaulan komunitas Situmeang, dalam artian kepastian nomor urut, yang dibutuhkan dalam pergaulan, sikap hormat-menghormati, sapa-menyapa antar saudara atau dalam urusan adat maupun dalam “panggilan sehari hari” baik dalam sukacita maupun dukacita.

Sebagai contoh, kalau kita bertemu dengan seseorang yang satu marga, maka yang pertama ditanya adalah nomor urut berapa. Yang kedua, dipastikan dulu termasuk Ompung mana dari generasi kedua (Parhusor, Rajaitoba, Rawar atau Panandean).

Selanjutnya akan dirunut  ke generasi ke-3 dan generasi berikutnya. Dengan cara ini dapat dipastikan akan ditemukan kakek kita dan kakek dia, di nomor atau generasi tertentu, mungkin generasi ke 9, 8 atau sebelumnya.

Oleh sebab itu, kita sebagai keturunan nenek moyang paling bungsu, nomor 4, Ompu Juaratua, jika bertemu dengan keturunan kakek nomor 1-3 dari, maka otomatis kita akan panggil mereka sebagai Amangtua (pakde) atau Abang.

Demikian selanjutnya, kami yang merupakan anak ketiga dari generasi ke-3, Ompu Rawar, apabila bertemu saudara dari keturunan kakek nomor 1 dan 2 akan kita panggil dengan Amangtua atau Abang. Sedangkan mereka yang merupakan keturunan nomor paling bungsu, Panandean, akan kita panggil Amanguda atau Bapak Uda  (Paklik) atau Ampara (Adik).


                           Marga Situmeang, banyak berasal dari Sibolga dan sekitarnya

Panggil memanggil yang disebut “partuturon” itu menjadi sangat unik,  menarik, mungkin dianggap lucu bagi suku lain, karena seorang bayi baru lahir, seperti cucu saya Tobias, generasi no. 15 bisa saja dipanggil Bapak oleh seorang dewasa dari generasi ke 16 bahkan bisa dipanggil Ompung dari generasi no.17. Hal ini biasa terjadi mengingat perbedaan kesuburan ataupun jika kakeknya kawin muda.

Dalam periode millenium 2000, sudah ada keluarga yang telah mencapai generasi nomor 17, tetapi pada saat yang sama masih kita temui beberapa orang senior dari generasi nomor 12, yang selalu dihormati dalam tiap kesempatan, dengan panggilan Ompung. Namun demikian nomor 12 termasuk langka.
         Penelusuran selanjutnya, nenek moyang generasi keempat hingga kesepuluh nantinya sangat diperlukan apabila akan melakukan acara adat, karena kita tidak boleh otomatis menjadi “wali”  marga Situmeang sebelum tahu pasti siapa nenek moyangnya yang pasti.
Dengan perkataan lain, sebelum mengiyakan menjadi wali seseorang, harus diyakini bahwa nenek moyang kita sama. Kecuali diwilayah itu  tidak ada nenek moyang yang sama. Jika kita tidak tahu posisi  yang pasti, orang bisa mengatakan kita “tidak tahu adat”, suatu pernyataan keras yang harus dihindari.

Marga terkait
Tali temali hubungan keluarga, ternyata tidak hanya intra satu marga, tetapi lebih luas lagi antar marga marga yang demikian banyaknya, yang saya sendiri tidak tahu berapa jumlahnya, namum demikian, dapat dikelompokkan dalam beberapa grup.  

Itu semua terjadi sebagai dampak interaksi nenek moyang yang menimbulkan kedekatan kekerabatan yang  sejak berabad berlanjut hingga masa kini melalui tutur-tinutur verbal menjadikannya sebagai suatu legenda tetapi nyata, masih hidup. Saya pun wajib  meneruskan estafet budaya ini ke anak saya, minimum melalui Buku ini.
                                                Tao Toba natio, Monang Naipospos
 

Karena Bapak saya dulu begitu juga, disaat santai dia sering bertutur (turi turian)  menyinggung bahwa masih ada marga-marga lain yang terkait erat dengan Situmeang, yang merupakan saudara yang pada umumnya tidak kawin mawin yaitu yang termasuk grup marga “Naipospos”.

Konon nenek moyang Naipospos   ini, satu level diatas Ompung Djamita Mangaraja, mempunyai dua anak laki-laki, yaitu Toga Sipoholon dan Toga Marbun. Dari keduanya dikaruniai tujuh orang anak dengan urutan : 1. Sibagariang, 2.Hutauruk, 3.Simanungkalit dan 4.Situmeang dari Toga Sipoholon dan 5. Lumbanbatu, 6. Banjarnahor dan 7. Lumbangaol dari Toga Marbun.

Karena tidak boleh kawin mawin antar marga ini, maka apabila antara pria-wanita bertemu, otomatis akan timbul perasaan bersaudara dan tidak akan timbul chemistry antar keduanya, demikian juga dengan sesama pria  terbesit semacam bond yang kuat perasaan bersaudara, dan itu akan terpancar terbesit dalam interaksi sehari hari, bahkan tidak jarang sesuatu urusan semakin cepat selesai setelah mengetahui bahwa mereka ada pada grup marga serupa dengan kita. Nuansa ini lebih kental terasa didaerah asalnya di Sumatera Utara.

Kisah Bapak lebih menarik lagi tentang adanya verbal agreement  antar marga Lumbangaol dengan Situmeang dari dua nenek moyang yang berbeda, dimana keduanya lebih lengket hubungannya dibanding lima saudara lainnya. Bahkan saking solidnya, sampai era informasi inipun banyak marga Lumbangaol yang menyebut dirinya Situmeang

Namun demikian sejalan dengan zaman globalisasi, perkawinan antar keturunan Naipospos sudah berlangsung dan kebudayaan serta komunitasnya tidak mempersoalkannya lagi. Artinya, pernikahan antar Grup bukan tabu secara adat, kecuali perkawinan satu marga yang sama, misalnya antar marga Situmeang, tetap dilarang dalam adat dan tidak akan lolos dalam pernikahan Gerejawi, yang mengisyaratkan persetujuan kedua pihak orang tua.

Demikian juga halnya dengan marga marga yang lain dibagi lagi dalam beberapa grup dengan ikatan yang relatif longgar. Khusus marga istri saya, Pasaribu,tergabung dalam grup    Rajaborbor bersama dengan 12 marga lainnya yang saya panggil ipar atau paman dan  anak saya akan memanggil mereka sebagai  ipar, paman atau kakek.

Posisi Paman dan Perempuan
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa suku Batak menganut hukum adat “patriarchat” yang menempatkan posisi laki-laki sebagai Raja Adat, sedangkan posisi isteri/wanita akan masuk dalam kesatuan yang tidak terpisahkan dengan suaminya. 
Berbeda 180 derajat dengan hukum adat “matriarchat” yang berlaku pada suku Minangkabau.

Posisi Tulang (paman) yaitu saudara dari Ibu akan menjadi Raja dalam adat marganya sendiri, dimana posisi Bapak akan disebut “boru” pada acara adat.
Untuk jelasnya, digambarkan sebagai berikut ini. Paman Monang/Pahala adalah marga Pasaribu,  yang  pada saat acara adat, posisi saya adalah sebagai “boru” yang akan menjadi “Pembantu Umum”, melayani/membantu Raja Pasaribu.

Sebaliknya dengan acara adat yang berlangsung dipihak marga Situmeang, posisi anak saya Monang dan Pahala adalah sebagai Raja, dimana  Moseley Simatupang, Mark Jones dan isteri  beserta pria pria  yang kawin dengan marga Situmeang, otomatis berubah posisi menjadi boru, melayani atau membantu.

Oleh sebab itu, sejak dari kecil saya selalu diajar orang tua  untuk menghormati paman, misalnya jika pulang liburan, prioritas pertama yang wajib saya kunjungi adalah rumah paman yang keduanya tinggal di Sambas, Sibolga, yaitu Tulang Enci dan Tulang Herbin. Kami juga mengajarkan hal yang sama terhadap anak dan cucu agar selalu menaruh hormat dan menghargai  Paman/Tulangnya.

Saya mereflexy lagi kemasa muda mengenang hubungan saya dengan 6 (enam) adik Ibu saya yaitu empat paman dan tiga tante. Yaitu keturunan Ompung Tambosan Pandiangan dan boru Lumbantobing, menggantikan boru Hutagalung yang meninggal dunia.

Paman tertua bernama Yoseph, atau tulang Osman tinggal tidak jauh dari rumah kami di Lapaan Lombu. Tulang nomor dua, Kasih atau tulang Sarli tinggal di Pangambatan, Kolang, pernah saya kunjungi. Tulang nomor 3 dan 4 masing masing Aron (tulang Enci) dan Walter (Ual) atau tulang Herbin, keduanya PNS, yang mengajar saya mengemudikan mobil Jip milik Kantor Residen Tapanuli. 

Disamping itu, adik Ibu perempuan ada dua yaitu Nai Maruli yang tinggal di Simaninggir dan Inangbaju Gontingmahe yang kawin dengan marga Situmeang juga.

Bentuk penghormatan terhadap boru ataupun tulang dapat disimak dari kasus berikut ini.
Seperti biasa jam 15.30 rombongan (pengkhotbah, majelis, organis/pemandu pujian) berangkat dengan Kijang dari Gereja GKI Kwitang ke Pos Tegal Alur, Cengkareng. Saya yang biasa duduk di bangku depan sebelah sopir, khusus hari itu pindah ke belakang sopir. Tidak ada seorang pun yang sadar apa yang sebenarnya terjadi.

Dalam perjalanan pulang jam 18.00 barulah saya cerita dengan mengatakan: “Pak Pasaribu (pengkhotbah) adalah ipar dan Raja saya, itu sebabnya dia duduk di depan, di kursi terhormat” yang mereka sambut dengan berbagai pertanyaan heran.
Demikian adat yang mendudukkan laki-laki sebagai Raja, tetapi tetap menghargai anak perempuan dan suaminya. Bahkan, suatu pesta adat baik sukacita maupun dukacita, belum dapat disebut adat lengkap apabila tidak dihadiri, tidak direstui oleh paman, fihak boru dari unsur dalihan natolu lainnya.
Untuk mengetahui selengkapnya Silsilah Situmeang, dihalaman berikut ini saya copy juga silsilah tulisan tangan Bapak saya tertanggal 15 January 1979, yaitu 8 tahun sebelum dia dipanggil Tuhan pada tahun 1987 yang lalu.






No comments: