Thursday, July 18, 2013

RIWAYAT HIDUP RAULI PASARIBU







Ada tiga keluarga besar yang terkait erat dengan kehidupan isteri , yang sehari hari dipanggil Mami yaitu keluarga Ibu, Pasti  Simanjuntak, keluarga Bapak kandung, Maruli S. Pasaribu, dan the last but not least adalah keluarga ayah tiri, H.P.Pangaribuan.  

Keluarga Ibu
Sengaja dimulai dari keluarga Ibu, dimana sebagian besar hidup Mami dihabiskan bersama dengan keluarga besar Simanjuntak yang sangat dicintainya., mulai dari kakek Simanjuntak yang kawin dengan  marga Marpaung yang tinggal di Pematangsiantar, Sumatera Utara dan dikaruniai 6 orang anak laki-laki dan 2 perempuan.
Anak sulung, yang biasa dipanggil tulang besak, tinggal di Talang banjar, Jambi dimana anak tertuanya Rotua, kawin dengan marga  Sinaga (Alm), seorang perwira Polri. Disusul anak  kedua, tinggal di perkebunan, PPN Dolokilir, Sumatera Utara yang salah satu anaknya, James, menjadi dosen di Universitas Atma Jaya Jakarta.

Anak nomor tiga adalah Ibu kandung isteri yang kawin dengan marga Pasaribu, yang mulanya tinggal di Kampung Haunatas, Lagu boti, tidak jauh dari kota Balige, Tapanuli Utara, tidak jauh dari Danau Toba. Menyusul kemudian anak nomor 4, Tulang Boy, usaha travel, tinggal di kampung Anggrung, Medan yang anak tertuanya, Ucok lulusan ITB, kerja di Citibank, Jakarta. Anak kelima, Tulang Pintor adalah ayahnya Evi, pensiunan Deperdag Jambi. Anak ke-6, 7 masing-masing adalah Tulang Edy, tinggal di Perum PEMDA Jatiasih Bekasi dan Tulang Gibson di Pasar Minggu dan terakhir, anak paling bungsu adalah perempuan yang tinggal di Medan dan meninggal dunia dalam usia relatif muda.

Kembali ke Mami sendiri yang sebagian besar waktunya dihabis kan bersama dengan Ibu dan keluarga besar Simanjuntak, karena  ayahnya seorang tentara pejuang, meninggal dunia sekitar tahun 1948, saat dia masih dalam kandungan. Setelah meninggal, Mami lahir di kampung Haunatas, tercatat tanggal 6 Juni 1950, walau saksi hidup menceritakan kalau tahun lahir sebenarnya adalah dua tahun sebelumnya, yaitu tahun 1948. Hanya berusia  beberapa bulan, Mami dibawa dari kampung ayahnya ke rumah kakek/neneknya di Pematang Siantar, karena Ibunya direncanakan akan dinikahkan dengan adik suaminya.

Jadi masa kecil Mami dilalui dengan penuh kasih sayang dari kakek/nenek, paman dan tantenya di Pematang Siantar sampai usia kurang lebih 5 tahun sebelum dibawa  pindah ke Jambi mengikuti Ibunya yang kawin lagi dengan Bapak Lim. Disana mereka berkumpul dengan 2 Saudara Ibunya yaitu anak sulung, Tulang Rotua dan adik nya nomor 5, Tulang Pintor. Selama di Jambi, Mami sangat dekat dengan kedua pamannya itu, ditambah lagi dengan keluarga   Simanjuntak lainnya, termasuk para pegawai  bengkel Trio, bengkel ayah tirinya di Talangbanjar, Jambi.

Sewaktu mami melanjutkan sekolah di Yogjakarta, diadakanlah pesta adat besar di Jambi dengan memotong sapi untuk mengganti nama Bapak Lim menjadi H.P.Pangaribuan.



Keluarga Ayah

 
Hubungan dan dengan keluarga ayah, Pasaribu tergolongan relatif sangat singat yaitu hanya beberapa bulan setelah lahir, Mami sudah meninggalkan kampung kelahirannya di Haunatas, Laguboti. Pada tahun 1990, kami pernah mengunjungi kampung ini sekalian berdoa di makam ayah, kakek/neneknya Mami, dengan kendaraan sendiri dari Jakarta, termasuk dengan Monang dan Pahala.

Komunikasi antara Mami dengan keluarga ayah kandungnya terputus cukup lama, baru setelah usia kurang lebih 18 tahun, ketika Mami kuliah di Fakultas Kedokteran UKI Jakarta, keluarga ayahnya yaitu Ny.Panjaitan dan Tumpal Siagian, keduanya anak namborunya, yang tinggal di Jl.Tegal, Menteng, Jakarta Pusat dan yang tinggal di kebun Aek Kanopan, Sumatera Utara.
        Atas ajakan keluarga dan terdorong rasa ingin mengenal lebih jauh keluarga Pasaribu, Mami tergoda juga untuk mengenal keluarga ayah kandungnya, lalu Mami dibawa ke Medan dan tinggal beberapa bulan di rumah adik ayahnya Jarudin di Sidikkalang, Kabupaten Dairi, dan di rumah namboru-nya di Medan.

Keluarga ayahnya juga tergolong keluarga besar, 10 bersaudara, 4 orang laki-laki dan 6 perempuan. Ayah Mami adalah anak tertua, oleh sebab itu, panggilan kakek/neneknya adalah “Ompung Marisi”, yaitu nama asli Mami. Tiga adik ayah tinggal di Sumatera Utara yaitu Bapak Uda Jarudin, mantan Wakil Ketua DPRD Tk. II Kab. Dairi, dari ABRI. Semua keturunannya tinggal di Jakarta, kecuali Robert, kerja di Bank Mandiri Lampung. Anak tertuanya Rosita, menikah dengan marga Simanjuntak, pegawai Depnaker, tinggal di Tangerang. Anak lain Ratna menikah dengan pariban-nya Tumpal Siagian, tinggal di Jl. Anggrek, Villa Nusa Indah Blok L1/12A, Pondok Gede, Bekasi.

Anak ketiga Bapak Uda Gaja Soalan, tinggal di Pematang Siantar, dimana anaknya Lince kawin dengan marga Doloksaribu, tinggal di BSD Tangerang. Beberapa kali kami dijamu makan di Restoran Chine se Food milik mereka di BSD dan terakhir menjalankan usaha
pemeliharaan AC. Anak berikutnya adalah Bapak Uda Binsar tinggal di kampung asal, Haunatas, mengelola harta warisan. Seorang anaknya bekerja sebagai staf IT di Bank BII Jakarta.

Nama anak anak perempuan dan beberapa nama yang dapat kami ingat dicatat dalam Daftar singat keturunan Ompung Marisi Pasaribu. 

Tapi bagaimanapun sejarahnya, panggilan darah tetap berbicara, dimana antara Saudara wajib saling bantu membantu tanpa pamrih, seperti anak Bapak Uda Soalon, Patuan, saya terima menjadi Staf Pembukuan di PT. Panatraco Rubber di Rantauprapat. Adiknya Nelson pada tahun 1995 pernah kami tugaskan menjadi Pengawas operasi PT. Monang Brothers  di Tanjung Priok Jakarta. Demikian juga menantu Bapak Uda Sidikkalang, suami Rebekka, pada tahun 1995 mendapat komisi yang cukup besar dengan rekannya Simamora dari transaksi pembelian  alat berat Stacker senilai US$ 1, yang baru kami ketahui kemudian.


 SILSILAH OMPUNG MARISI PASARIBU
HAUNATAS, LAGUBOTI, SUMATERA UTARA

Ompung Marisi, St. Julius/Boru Naibaho mempunyai 10 orang anak, 4 laki-laki dan 6 perempuan dan keturunannya adalah:
Anak laki laki :

1.   Maruli Saribornang/Pasti Simanjuntak
Marisi Rauli Pasaribu/P. Situmeang
2.    Jarudin/Budi Silaen


Rosita/Simanjuntak
Robert
Ratna/Tumpal Siagian
Rebekka
Budi
Jojor
Asto Costrawan
Sri Sayang


      Reni
3.    Gaja Soalon/Margareta Hutajulu


Patuan
Nelson
Ombel
Haposan
Lince/Doloksaribu
Linda
Anita
Julianna
Delima
Rawati



4.    Binsar Junjungan/Boru Hutahayan


Datarbulan                                                                                                   
Genes
Parlindungan
Talena
Ucok
Butet




Anak perempuan :
1.     Barita/Sibarani
2.     Tiomas Amintas/Sibarani, Jl. Batanggadis, Medan
3.     Hilda/Pangaribuan, Jl. Binjai, Medan
4.     Sinta Mulia/Siagian, Aek Kanopan, Sumatera Utara
5.     Baharia/Napitupulu, Kp. Anggrung, Medan
6.     Gusta/Tambunan, Jl. Muara Baru, Jakarta


Marga Pangaribuan
Panggilan darah ayah membawa Mami mengenal keluarga besar ayahnya di kampung Haunatas, Pematang Siantar, Sidikkalang, Medan dan Jakarta. Sedang panggilan darah Ibu membawa Mami ke lingkungan Pasaribu dan Pangaribuan.

Seperti diceritakan sebelumnya, sejak masih dalam kandungan, Ibunya Mami menjanda sampai sekitar 5 tahun dan kemudian kawin lagi dengan H.P. Pangaribuan dan dari perkawinan kedua ini lahir 2 orang anak laki laki dan 4 perempuan,  yang tertua adalah Hary Pangaribuan (Alm), disusul dr. Mary, dokter RS POLRI Kramat Jati, Jakarta Timur yang kawin dengan Ir.E.Hutajulu atau Bapak Erik; disusul Cherly, pegawai Bank AMEX Jakarta yang kawin dengan J.Sitorus; Relly kawin dengan E.Simbolon dan dua saudara lainnya kawin dengan warga Betawi, Juli dan Donny.

Kebersamaan dan panggilan darah Ibu tetap mempersatukan sesama saudara, terutama jika menghadiri acara yang terkait dengan marga Ibunya. Sebaliknya, akan timbul perasaan canggung dan terasing  jika ada acara Pangari buan, posisi saya dan Mami tidak terkait secara langsung, apalagi dengan acara Pasaribu, adik adik tidak mungkin hadir karena memang sudah berbeda marga.

I MET YOU

 
       
 Pada tahun  1960-an, Rauli Marisi Pasaribu meneruskan sekolah di Stella Duce Yogyakarta, tentu seizin orang tua karena pamannya, Gibson Simanjuntak, juga kuliah di Fakultas Geologi, Universitas Gajah Mada Yogyakarta, yang kos di Jl.Pringgokusuman No.8 Yogjakarta bersama saya, tetapi saya tidak pernah tahu dan tidak pernah diceritakan kalau seorang ponakannya sekolah dan tinggal di Asrama Puteri Stella Duce di Yogjakarta, yang setiap hari saya lewati bahkan langsung menghadap ruang kuliah saya di utara, gedung Fakultas Ekonomi UGM di Bulaksumur, saya tidak pernah bertemu sampai akhirnya dia  pindah ke SMA St. Angela di Bandung. 
       
Suatu ketika, pamannya , saya dan teman-teman dari Yogyakarta liburan ke Bandung sengaja ingin bertemu Rauli di asrama puteri di St.Agela, suster asrama tidak mengizinkan, termasuk paman kandungnya sendiri. Artinya, walau kami tinggal di kota yang sama dan berusaha menemuinya di Bandung, rupanya Tuhan belum mengizinkan.

 
Kota Jambi

Pertemuan baru terjadi delapan tahun kemudian, bukan di Jawa tetapi di Sumatera bagian Selatan, tepatnya dikota Jambi,
ketika saya diterima menjadi pegawai di PT.Panatraco Jakarta dan  ditugaskan mengurus tanah membangun Fabrik karet diseberang kota  Jambi bersama seorang staf warga Aceh. Pada senja hari  dalam latihan koor didaerah Talangbanjar saya sering lewat dengan meminjam Jip Willis milik seorang Jaksa untuk   melewati depan  Bengkel besar dengan bermerek  Bengkel Trio di Talangbanjar juga, milik HP.Pangaribuan /Ny.Simanjuntak dan kemudian menjadi langganan perusahaan untuk servis sebuah Landrover pendek warna biru muda.

Dibengkel itulah saya baru mengetahui  bahwa Ir.Gibson Simanjuntak, teman kos saya di Jogjakarta adalah adik kandung Ny.HP.Pangaribuan, seperti yang pernah diceritakan oleh Gibson kepada kami sewaktu tinggal satu rumah di Yogjakarta.Kakaknya kemudian memberitahukan, bahwa bulan Desember 1969, dia akan  tugas  ke Jambi dari perusahaan minyak Perancis Total, dan bersamaan waktunya,  putrinya juga akan datang dari Medan, dalam rangka liburan Natal, sehingga disitulah kesempatan bertemu dia dan pamannya di bengkel Trio.

Jika ditelusuri dari awal, rangkaian benang merah pertemuan kami, bisa dimulai dari awal sekali, semenjak terbit tekad keberanian saya merantau bersama rekan sekelas saya, Parlaungan Hasibuan, sesama anak Saudagar getah, pada minggu pertama menginjakkan kaki dikota pelajar, berkenalan dengan Gibson Simanjuntak, yang kos didepan sebuah Losmen, tempat kami menginap sementara, kemudian berdasarkan pengalaman masa muda dibidang karet diterima bekerja di fabrik karet  di Jambi. Jadi ada dua faktor penentu yang menyebakan kami bisa bertemu yaitu lingkungan karet yang menghantarkan saya ke  sentra karet di Jambi dan lingkungan kota pendidikan Yogjakarta tempat saya bertemu dengan paman Rauli, tetapi yang utama dan terutama adalah kehendak Tuhan yang maha kuasa. 

Natal di bulan Desember 1969 menjadi moment bersejarah, untuk pertama sekali kami bersua, mengenalnya , walau pernah sama sama dikota Yogjakarta 8 tahun sebelumnya,tetapi tidak saling mengenal, justru saya  mengenal pamannya dan Ibunya terlebih dahulu. Untuk mengenang event  itu, dibawah ini saya salin sebuah sajak yang saya dapat dari Thailand :
                              I MET YOU
1.If ever a day should go by                
   If I am out of time and
   I don’t say I love you                           2. It is not that I am
   May never a moment go by                   Afraid to die
   Without knowing that I do                   Who will love you,
                                                                    As I do


3.  I could pick one day
One moment and keep it knew
All of the days I have lived
I will pick the day I met you

Masa PDKT
Dalam masa pendekatan, pdkt, ada saja alasan saya untuk datang ke Bengkel, pertama untuk meminjam piringan hitam, tidak untuk diputar karena tidak mempunyai alat untuk itu dan kadang-kadang  membawa mobil untuk dicek, padahal mobil sebenarnya tidak rusak. Seperti pada umumnya kawula muda lain yang sedang naksir, saya sering mondar mandir lewat depan Bengkel/ rumahnya. Dia juga sering mengendarainya Landrover panjang Ayahnya lewat didepan mess/kantor tempat kami tinggal, sekedar untuk melihat rumahnya pun sudah senang atau syukur syukur bisa melihat orangnya.


Sungai Batanghari, Jambi

Selama liburan, sebelum pulang ke Medan, kami sempatkan pula wisata ramai ramai keluar  kota Jambi, daerah Bajubang, lokasi pengeboran minyak dan compleks perumahan Pertamina bersama empat orang duduk dikursi depan, dua disisi kiri saya dan dia duduk dempet disebelah kanan, sedang saya yang pegang kemudi Landrover pendek. Sedang wisata air kearah hulu sungai Batanghari kami cuma berdua, dimusim hujan dan air besar dimana banyak kayu kayu hanyut dan sedikit berbahaya, tapi tidak menyurutkan niat kami untuk sampai ke kota baru Tenau, kerumah seorang Dokter kenalan kami dan kembali dengan selamat ke “seberang” lokasi pabrik tempat saya bekerja.
Dalam perjalanan wisata ini, dia biasa pakai celana-baju terusan  favouritnya yang modis, beberapa pasang warna warni yang dipadu padan dengan ikat pinggang besar dan anting anting jepit besar pula. Memang dia senang mode, keindahan, menata rumah, design dan memelihara taman dimanapun kami tinggal dan yang tetap dilakukannya hingga sekarang.


                                                               Tari Liuk berpilin, Jambi






No comments: