Tuesday, July 23, 2013

RENTAL ALAT BERAT DI PELABUHAN TANJUNGPRIOK




S
etelah berbakti kepada bangsa dan Negara melalui jalur dunia perbankan selama 21 tahun, mulailah bergumul dan berdoa bahkan sampai retreat di vila kami di Green Hill Cipanas, memohon Tuhan menunjukkan jalan kegiatan apa yang berkenan bila nanti memasuki purna bakti.

Semula dicoba bisnis franchise California Fried Chicken (CFC) bahkan sudah merencanakan jadwal opening ceremony di outlet Bekasi Timur di lokasi prima, strategis,di lampu merah pertigaan menuju Tambun, tetapi batal karena timbul masalah antara CFC dengan pemilik bangunan oleh sebab itu  deposit Rp 125 juta kembali kepada kami dengan mudah dan utuh.

Perhatian beralih ke usaha lain yang disodorkan oleh Sdr. Simamora yang diperkenalkan Sdr.Sibarani, suami Jojor Pasaribu, adik istri yaitu usaha rental alat-alat berat, bongkar muat kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok dengan prospek menjajikan.

Informasi ini kemudian kami  survei, terutama kepada calon-calon pelanggan, dengan mengadakan dialog yang intens  dengan Direksi PT. Dharma Loka dan PT. Tirta Bahari, yang bersedia menandatangani proforma kontrak untuk memperkuat proposal kredit ke perusahaan Leasing. 
        
Bersamaan dengan itu, semua izin izin yang diperlukan kami urus sendiri , seperti Izin operasi dari Administrator Pelabuhan, SIUP, NPWP dan terutama izin Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), karena  izin ini sangat diperlukan untuk memperoleh fasilitas bebas bea masuk untuk impor alat-alat berat.

Untuk itu saya menggandeng Abang Junias Situmeang, Mira Elok menemui Sekjen BKPM Bapak Laksamana Pertama  TDV Situmeang (Alm) yang dalam pertemuan kemudian dia bergumam : “Sudah lama saya merindukan ada Situmeang yang mendapatkan fasilitas PMDN” dengan menambahkan, “Kalian datang tepat waktu,” katanya sehubungan  dia sebagai Sekjen akan diganti dalam waktu dekat.

 

Secara formal saya mengajukan nilai proposal investasi ke BKPM tidak tanggung-tanggung yaitu sebesar US$ 47.000.150 setara dengan Rp 117 miliar, tetapi  pada tahap pertama, hanya untuk import dua unit Stacker hampir US$.1 juta, tepatnya sebesar US$ 968.000 yang disetujui oleh Menteri, Ketua BKPM Sanyoto Sastrowardoyo tanggal 8 Juni 1995 untuk  PT. Monang Brothers Container yang baru berdiri dua bulan sebelumnya, yaitu tanggal 10 April 1995.
Aplikasi Pinjaman 
Setelah semua dokumen legalitas dan perizinan sudah cukup lengkap, maka langkah berikutnya adalah mengajukan aplikasi pinjaman ke Bank atau Leasing company. Mulailah saya dan istri door to door mengetuk pintu kantor Bank dan perusahaan leasing.

Kantor pertama adalah Bank Dagang Negara Cabang Kebon Sirih, Jakarta Pusat pimpinan Bapak Sutopo, rekan saya training Sespi Bank selama tiga bulan di LPPI Kemang, Jakarta Selatan. Sayang tidak ketemu karena sedang dinas keluar.

Sebelum menyambangi kantor lain, saya menelepon direktur leasing milik BRI, SANWA BRI Leasing, Bapak Wibowo MBA. Dengan nada meyakinkan di ujung telepon dia mengatakan, “Tidak mungkin Pak Situmeang dapat pinjaman, wong perusahaan Bapak kan baru,” dan dengan logat Jawa medoknya dia menambahkan, “Bapak juga tahu aturannya memang begitu,” katanya.

Tidak patah arang atas komentar rekan dekat saya itu, dengan tetap semangat kami datangi Leasing kedua yang berkantor di Bangkok Bank, lantai tiga, sayang mereka sedang slow down.

Esok harinya perburuan  tetap dilanjutkan, kali ini  ke PT.EXIM SB Leasing, joint venture antara Bank Exim Indonesia dengan Bank Sumitomo, Jepang, di Summitmas Tower, Jl. Jend. Sudirman, Jakarta Selatan, yang direkomendasikan oleh Bapak Sumarno, Direktur Leasing PT.Bringin Indotama Finance, milik BRI juga.


Summitmas Tower, Jl. Sudirman, Jakarta

Di Summitmas Tower ini kami diterima dengan tangan terbuka dan hangat oleh Bapak Sugihardjo, Vice President dari pihak Bank EXIM. Setelah memperkenalkan diri sebagai eksekutif BRI, teman dekat Pak Alit, Kepala Cabang Bank EXIM Kebayoran Baru dan kami mendapat rekomendasi dari Bapak Sumarno, menambah kepercayaan atas nama baik kami.

Hanya dalam hitungan menit, seorang stafnya, Sdr. Simon Halim dipanggil dan diperkenalkan kepada kami yang untuk selanjutnya memproses aplikasi. Siang itu kami pulang dengan penuh harapan berbunga-bunga.

Tidak menunggu lama, hanya dalam waktu satu bulan, tepatnya tanggal 8 Mei 1995 kami menerima telpon dari Sdr.Simon Halimk : “Pak Situmeang, Direksi setuju pinjaman sebesar  US$ 968.000 selama tiga tahun,” katanya dengan nada senang.


1 dari 2 Stacker milik PT.Monang brother

Ternyata pernyataan Sdr.Wibowo keliru, PT. Monang yang baru berdiri tanggal 10 April 1995, ternyata menerima kredit hampir USS.1 juta satu bulan kemudian.

Untuk realisasi pencairan kredit semua anggota manajemen harus tanda tangan kontrak, yaitu saya Dirut, istri dan Vera sebagai Direktur serta Monang, komisaris, yang sengaja dipanggil pulang dari AS.


Notaris, saya dan isteri

Dengan muka berseri seri kami berempat sign kontrak yang dihadapan Notaris, disaksikan Management Leasing Company yaitu Mr. Tsueno Yamanaka, Presdir, Sugihardjo, Vice President, Kosasih Prawiradinata, Direktur dan Sdr. Simon Halim, dengan pakaian lengkap, sedang istri tampil dengan setelan merah darah tangan panjang dan Vera dengan setelan krem tangan panjang dengan rambut terurai.


Vera dan Monang

Pada weekend berikutnya, kunci sedan BMW hitam solid seri 318 keluaran tahun 1990 dengan suka rela tanpa diminta  beralih ketangan Pak Simon  beserta sebuah tongkat komando dari tanduk warna krem sepanjang
± 30 cm, yang kami bawa dari NTT.

Meninjau Pabrik di Finlandia
Setelah pinjaman disetujui kami langsung buka Letter of Credit di Bank EXIM Kebayoran Baru sekaligus   negosiasi harga dengan Mr. Dieter Cremer, agen Sisu di Indonesia, dan warga Jerman ini setuju memberikan dua tiket pesawat Jakarta-Helsinki, pulang-pergi, termasuk akomodasi empat hari di Finlandia untuk meninjau fabrik agar dapat mempercepat deliverynya.

Dengan pesawat KLM kami mendarat di Airport Helsinki setelah stop over di Scippol, Amsterdam, dan setelah membeli cinderamata khas di airport, bulu binatang halus warna krem, kami terbang lagi ke arah utara dengan pesawat local dan mendarat di Airport kecil, Suomi airport di Tampere, lokasi pabrik Sisu.

TAMPERE AIRPORT - Tampere
Bandara Tampere, Suomi, Finland utara

Di pabrik Sisu ternyata ada beberapa unit yang sedang dirakit, dua diantaranya adalah order kami. Ternyata warga Finlandia tidak hanya piawai sebagai produsen handphone Nokia dan pembalap Formula 1 terkenal, tetapi juga ahli dalam merakit alat berat stacker merk Valmet dan Sisu. Spareparts utama berasal dari beberapa negara Eropa seperti mesin merek Cummins 200 KW buatan Jerman, transmisi merek Clark seri 3400 buatan Italia, dinamo produksi Finlandia dan lain-lain.

Sebagai penghormatan, contact person saya di Sisu, Mr.Timo Matikainen, Marketting manager menjamu kami makan malam di restoran tower berputar sambil memandang kota Tampere diwaktu malam. Sayang udara bulan Augustus sangat dingin, sehingga istri saya memilih tinggal dihotel.

Semua ini bisa terjadi karena pendidikan warga Finlandia 100% dibiayai oleh negara sampai tingkat manapun. Bahkan staf yang mengantar kami dengan mobil dari Tampere – Helsinki, Jakko Heinamaki, bergelar Doktor.

Kembali dari Tampere ke Helsinki pada tanggal 16 Augustus 1995, kami sengaja tidak naik pesawat, tetapi naik mobil perusahaan bertiga dengan Dr. Jakko, ingin melihat panorama alam sekaligus membuktikan kebenaran bahwa Finlandia bisa hidup dari hasil hutan dan mampu memberikan kesejahteraan terhadap rakyatnya. Bagaimana dengan Indonesia?

Sepanjang sisi kiri-kanan jalan yang mulus nampak hutan menghijau dengan pucuk pohon tertata rapi, tanpa hutan yang botak gersang, sebagai bahan baku pabrik kertas. Dalam bulan Desember 1995, beberapa peserta dari pabrik RPP, Riau Pulp & Paper menghadiri seminar tentang kayu di Helsinki.


Kota Helsinki, ibukota Finlandia

Keesokan paginya,tanggal 17 Agustus 1995, Dr. Jakko mengajak saya menjadi tamu pada acara perayaan HUT RI ke-50 di Kedubes RI di Helsinki, dengan antri bersama diplomat lainnya menyalami Dubes  dan Staf di pintu masuk sambil mendengar sayup-sayup suara gending, gamelan dari sound system, mirip gamelan jawa. Ternyata rekaman gending Bali milik Dubes, asli Bali. Saya diperkenalkan dengan Pak Dubes dan Pak Anwar Nasution, sebelum dia menjadi Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia.
Pak Anwar mengajukan pertanyaan yang agak aneh,mengatakan : “Apa Bapak bekerjasama dengan Cendana?” Dengan tegas saya sahuti di depan Pak Dubes, “Saya usaha sendiri Pak, tidak kerjasama dengan siapa-siapa.” Di kala itu,memang siapa saja boleh menjalin kerjasama dengan keluarga Cendana.

Setelah standing party usai, saya dan istri tidak langsung terbang ke Jakarta melainkan menghabiskan hak cuti tahunan take-off dari Helsinki dan stop-over di Airport Arlanda Stockholm, Swedia dan Airport Schipol, Amsterdam sebelum terbang ke Los Angeles, berkumpul dengan anak-anak yang sedang kuliah.
Network di Pelabuhan

Banyak teman yang penasaran dan bertanya, bagaimana saya bisa masuk dan berusaha di Pelabuhan Tanjung Priok, karena ada anggapan bahwa yang bisa masuk itu harus bisa menggandeng jenderal atau anak pejabat.
Dengan santai saya menjawab, “Backing kami hanya yang di atas!”, maksudnya bahwa  PT. Monang bisa masuk ke wilayah pelabuhan dan sekitarnya, memang betul-betul bisnis murni dengan memasarkan jasa door to door pada perusahaan EMKL, pelayaran, angkutan, container yard, jasa penumpukan kontainer sepanjang Jl. Cakung-Cilincing, dan dari mulut ke mulut.

Tidak selang lama beroperasi, network dan pelanggan terus bertambah dari semua kalangan, tentara, pengusaha, para alumni Akademi Pelayaran (yang sering dipanggil Kapten), perusahaan-perusahaan swasta antara lain PT. Pulau Laut, PT. Meratus, PT. Samudera Indonesia, PT. Senawangi, PT. Panca Nusa, PT. Dharma Loka, PT. LSP, PT. Camar Baruna dan masih banyak lagi.



Sambil beroperasi dan melayani pengusaha dengan mengandalkan order harian, mulai pula ditelusuri lobang-lobang kesempatan mencari order tetap, kontrak ke perusahaan besar yang memiliki Harbour Crane besar yaitu PT. Pelindo II, PT. Humpus dan PT. Senawangi. Kami mengajak Pak Gurning dan abangnya Capt. Gurning sampai ke rumah Pak Amin Lihu di Semper dan pejabat tinggi di Kantor Pusat dan Kantor Cabang PT. Pelindo II Tanjungpriok.

Banyak informasi dan rekomendasi agar mendekati ke Bapak Nainggolan, Kepala Bagian pada tahun1995, kepercayaan atasannya. Setelah saya dan Pak Nainggolan latihan pukul golf di Ancol, kami diarahkan menjadi Sub-Kontraktor PT. Pulau Laut untuk kontrak di Unit Terminal Peti Kemas (UPTK) selama 2 tahun. Jabatan Pak Nainggolan ini cepat sekali bersinar dan meroket menjadi Direktur PT. Pelindo III Surabaya sebelum menjadi Deputi Menteri BUMN di masa Laksamana Sukardi dari PDIP, di zaman Megawati.
Perbaikan dan Pemeliharaan
Mengingat sifatnya, alat berat memang pekerjaannya mengangkat beban yang berat dengan kapasitas angkat 40-50 ton kontainer  ukuran 40 feet dengan bobot Stacker 60 ton. Oleh sebab itu, pemeliharaan rutin dan perbaikan segera, menjadi prioritas dan salah satu kunci keberhasilan usaha rental ini.

Untuk mempermudah teknisi  dan operator lapangan, saya sengaja menyusun buku manual teknis sederhana dalam bahasa Indonesia sebagai trouble shooting, mengingat dalam kontrak kerja ada pasal “denda”  yang harus dibayar per jam kerusakan.

Jadi, perbaikan harus segera diselesaikan, bahkan sebaiknya preventive maintenance dilakukan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan dalam Buku Manual  pabrik, termasuk di sini penggantian oli mesin, oli gardan, filter oli, sensor dan masih banyak aspek teknis lainnya.

Bagaimana repotnya tugas perbaikan dan besar biayanya dapat digambarkan satu contoh kejadian berikut. Jika ban bocor, maka diperlukan waktu 3-4 jam untuk menambalnya mulai dari bongkar dan pasang kembali karena  bengkel manual, sejauh 6 km di Bypass Jakarta Timur, diangkut dengan truk. Membuka pelak dan ban  setinggi badan manusia itu perlu 3-4 orang, karena hingga saat ini belum ada bengkel  otomatis untuk ukuran ban sebesar itu..

Kejadian kedua, stacker dengan berat 60 ton dan dengan spreader, lengan panjang 40 kaki, bisa terbalik. Yang membuat pusing adalah satu crane yang disewa untuk mengangkatnya tegak kembali tidak kuat. Belum lagi biaya spareparts dan ongkos perbaikan yang mahal jika menggantungkan diri pada spareparts dan teknisi Singapura.

Beruntung, parts dan bengkel lokal mampu memperbaiki dengan biaya
± 25% dari biaya Singapura.

Penagihan dan Cashflow
Operasi dalam tiga bulan pertama menghadapi kesulitan cashflow karena pembayaran tagihan cenderung lambat dan sulit seperti kebiasaan dilingkungan Pelabuhan Tanjung Priok, dimana bargain position penagih seperti kami, lebih lemah yang berdampak negatif pada cashflow dan turn-over modal kerja yang semakin panjang, sedang kewajiban angsuran bulanan ke Leasing tidak boleh terlambat.

Agar kondite terjaga baik jangan sampai menunggak, kami berhasil mendapatkan kredit bersifat bridging-loan dari BRI Cabang Tanjung Priok sebesar Rp 250 juta, sehingga angsuran  untuk tiga bulan pertama @ Rp 75 juta dapat ditepati sesuai jadwal.

Untuk memperlancar penagihan, dan untuk lebih mengenal karakter masing-masing penyewa, penagihan kami lakukan sendiri terutama pada perusahaan  perusahaan besar termasuk anak-anak perusahaan PT. Pelindo II, PT. Humpus dan perusahaan besar lainnya. Untuk menagih suatu jumlah yang relatif kecil, kadang-kadang harus datang bolak-balik dengan mendapatkan janji-janji, apalagi menagih lewat telepon tidak akan efektif, lagi pula  jarak pelabuhan dengan rumah cukup dekat.
        
Pernah terjadi, penagihan terhadap seorang pengusaha asal Bandung, Ibu Yati, sangat sulit bahkan  membayar dengan  Bilyet Giro kosong. Untuk mempercepatnya, copy BG tsb kami serahkan kepada Bapak Agustomo, Kepala UTPK I, karena kami disewa untuk bekerja di lapangan UTPK I. Betapa kagetnya Ibu Yati melihat copy BG – yang  nilainya cukup besar – ada di tangan penguasa pelabuhan itu.
Tidak lama kemudian tagihan  dilunasi. Bapak Agustomo adalah alumni Fakultas Ekonomi UKI Cawang, Jakarta, yang sering main di rumah Agus Situmeang Garuda, famili dekat kami. Sudah dua kali Agus bersama saya menemui Pak Agustomo untuk memberi informasi bahwa stacker  PT. Monang adalah usaha keluarganya.
Persaingan Bisnis
Masuknya PT. Monang dalam bisnis rental stacker ini sebenarnya sangat prospektif karena perusahaan  kami merupakan usaha kedua setelah CV. Republik milik Pak Lubis dengan dua unit stacker juga. Namun karena pasar yang kami masuki adalah pasar bebas, maka kami tidak bisa membuat “barrier”, memasang pagar agar pesaing jangan masuk.Sementara Perusahaan Leasing sedang menggebu gebu expansi pinjaman.

Maka masa bulan madu itupun tidak berlangsung lama, hanya pada tahun kedua setelah kami masuk, satu per satu stacker baru muncul diseputar Tanjungpriok, ada merk Kalmar buatan Jerman, merk Fantuzzy buatan Italia, merk Valmet dan Sisu buatan Finlandia yang diimport perusahaan perusahaan EMKL, perusahaan pelayaran dan container yard, untuk
maksud digunakan sendiri dan tidak untuk disewakan.

Bahkan PT. Monang sendiri sudah mendapat persetujuan tambahan pinjaman senilai $ 250.000 untuk pengadaan satu unit stacker lagi merk Fantuzzy dari PT. United Tractor. Beruntung, pinjaman ini belum sempat kami realisir sambil menunggu negosiasi 2 tiket gratis ke Roma PP, tiba-tiba terjadi krisis ekonomi medio 1997.



Setelah munculnya stacker baru tersebut, otomatis lahan/pasar penyewaan kami berkurang, karena sebagian besar perusahaan tidak memerlukan jasa kami lagi sehingga  harus mencoba strategi lain, mencari sewa secara kontrak tahunan. Tidak mudah memang, tetapi dengan segala usaha dan jalan panjang berliku, dan berdoa minta pertolonanNya, akhirnya kontrak kerja diperoleh selama dua tahun.

Pengawasan Operasi
Dengan semakin ketatnya persaingan, maka produktivitas, pemasukan dan kebocoran harus diawasi secara ketat. Memang salah satu fungsi manajemen adalah kontrol yang kami lakukan baik sebagai pemilik maupun pengelola, selalu terjun ke lapangan, di terik panas kering udara laut, angin, hujan atau udara dingin dini hari, pengawasan tanpa mengenal  waktu.

Berbagai cara dilakukan mulai pasang empat unit radio, dua unit di stacker, satu unit di rumah/kantor dan satu di mobil komando plus dua unit walkie-talkie di tangan dua orang pengawas lapangan.

Di suatu Jum’at siang, usai shalat, di belakang stir mobil komando saya mengudara: “Monang 1, Monang 1, di sini pusat, posisi ada di mana?” Radio baru disahut setelah panggilan kedua. “Pusat, pusat, di sini Monang 1, posisi di gudang 005, 005, ganti,” jawab Sdr. Safaat, operator, dengan logat Sundanya yang medok, dengan menambahkan: “Monang 1 sedang istirahat di 005, ganti.”
Tanpa dia sadar, kami menyaksikan dibalik kontainer,  Safaat sedang sibuk bekerja menaikkan kontainer 20 feet ke atas  truck trailer.

Sebenarnya pada saat order ke pabrik, kami meminta dipasang alat tambahan “counter”, alat pencatat otomatis setiap box yang diangkat. Tetapi alat ini tidak disukai oleh operator, tidak mau menggunakan bahkan merusaknya, karena akan ketahuan.  Sebagai penggantinya, direkrutlah dua tenaga khusus sebagai pengawas. Tetapi fungsi pengawas ini kurang efektif, karena pengawas mendapat bagian dari tips-tips dan penghasilan tidak resmi lainnya. Sering terjadi datang dan naik ke Stacker dan  memberikan tips agar dilayani lebih dahulu dan namanya saja tips, tentu tidak masuk kedalam kas perusahaan dan menjadi penghasilan tambahan karyawan.

Penghasilan tambahan karyawan rupanya tidak melulu dari konsumen, tetapi malah menggerogoti perusahaan. Pada jam 02.00 dinihari, kami melakukan SIDAK, inspeksi mendadak ke UTPK I dan menemukan Monang 2 sedang dempet di sebelah truk trailer, akan menyedot solar dari tangki Stacker untuk dijual. Tanpa memperhatikan kehadiran kami, terdengar si kernet trailer dengan nada perintah meminta: “Lae, tolong isikan tangki mobil kami,” katanya. Seperti disambar geledek, karyawan telli Monang 2 tidak kalah garangnya menjawab: “Kurang ajar, kau bilang apa?” bentaknya dalam logat Tapanuli yang keras.Tanpa kompromi, tanpa surat tegoran dia langsung diberhentikan besok paginya.
Klaim kerusakan US$ 41,650
Pengawas lapangan belum datang di pagi pagi benar, persis hari raya Lebaran, dimana setengah karyawan sedang mudik, sedang  yang non-muslim tetap bekerja seperti biasa melayani kapal-kapal yang kejar tayang ingin segera berlayar. Tiba tiba radio di rumah memanggil-manggil terus: “Pusat, pusat, di sini Monang 2, Monang 2 ada kecelakaan, ganti” , terdengar berulang ulang. Setelah dijelaskan singkat jenis kecelakaannya, tanpa sarapan dan mandi kami meluncur ke pelabuhan.

Pagi itu, Fristo Gurning, teknisi muda lulusan STM  mengoperasikan Stacker Monang 2, walau dia tidak diberi otorisasi untuk itu. Empat locker yang ada didua spreader (lengan panjang) belum terkunci sempurna pada saat  mau mengambil satu kontainer di puncak tumpukan di tier 5.




Tumpukan teratas kontainer 40 feet itu mulai tergeser dan ........ braaak langsung jatuh menimpa kontainer di tier 4,3 sampai ke tumpukan diatas tanah, kontainer terbawah robek menganga, peot menampakkan isinya, tekstil. Akibatnya kesembilan kontainer rusak tersebut tidak jadi dimuat dan batal berangkat ke Hongkong hari itu dengan kapal “Leixoes”.

Urusanpun beralih dari lapangan ke  red tape birokrasi, dimulailah proses panjang  korespondensi bolak-balik, mulai dari perusahaan pelayaran PT. Tresna Muda Sejati yang ditujukan kepada autoritas pelabuhan, PT. Pelindo II, diteruskan ke PT. Pulau Laut dan berakhir di PT. Monang, pelaku kecelakaan dan arus sebaliknya. Nilai klaim yang diajukan perusahaan pelayaran (bukan pemilik barang) tidak tanggung-tanggung US$ 41.650 atau
 sekitar Rp 374.850.000,- (kurs Rp 9.000,-).

Betul juga indikasi bahwa dipelabuhan banyak buaya darat yang siap menelan mangsanya. Dalam situasi stress berat kami terpaksa mencari bantuan hukum dari seorang keluarga, pengacara di Kampung Melayu, Bonaran Situmeang, SH, (pengacara Ali Mazi, Gubernur Sulteng dan Kepala Bulog). Setelah membaca dokumen klaim, setengah berteriak dia berkata: “Ompung jangan kuatir, pemilik barang PT. Sankyong Keris Indonesia ini klien saya”, katanya dengan senyumnya yang menyejukkan hati, dan melihat kami terdiam, dia melanjutkan : “Besok saya ke pabriknya di Tangerang,” katanya meyakinkan. Kami dipanggil Ompung, karena dia generasi Situmeang  no.15, saya no.13 dari kakek Ompu Rawar.

Besoknya, Bonaran ke pabrik tekstil itu di Tangerang dan pulang membawa good news sekaligus membingungkan. Mengapa tidak?. Diujung telpon dia memberitakan : “Pemilik barang tidak mengklaim ke perusahaan pelayaran PT. Tresna Muda Sejati, karena mereka sudah mendapat ganti rugi dari asuransi” katanya dengan meyakinkan. Begitulah kejamnya dunia pelabuhan, lebih kejam dari ibu tiri dan jika tidak hati-hati dan teliti, uangnya bisa masuk ke kas perusahaan yang tidak berhak.

Dengan ucapan syukur kepadaNya, esok hari saya menghubungi via telepon perusahaan asuransi yang meng-cover tekstil tersebut, PT. Alexander Lippo Indonesia. Staf asuransi yang belum kami kenal, dengan santun menjelaskan bahwa mereka sudah membayar ganti rugi kepada pemilik barang. Bahkan langsung mengirim fax bukti ganti rugi sebesar US$ 33.960 melalui Bank BDNI dan US$ 19.356,26 melalui Korean Exchange Bank Danamon.

Kasus ini meninggalkan pembelajaran yang sangat berharga dan berakhir happy ending, setelah kami menolak membayar klaim ke PT. Pelindo II, dengan mengirimkan copy bukti transfer asuransi tersebut di atas. Dari claim US$. 41.650, kami hanya membayar Rp 5 juta untuk mengganti satu  unit kontainer 40 feet yang robek berat, tumpukan terbawah, dan kalau mau boleh dibawa.
Impor Lesu
Sebelum krisis terjadi,tiap hari  harus ke Bank BII Boulevard Barat, karena mutasi transaksi masuk-keluar rekening koran PT. Monang  relatif cukup aktif dan volumenya relatif cukup besar mencapai masing-masing Rp 500.752.674,- dan  Rp 335.197.975,- untuk triwulan I dan II tahun1996. Sedang pemakaian/penarikan mencapai Rp 463.087.212,- di triwulan I dan Rp 319.154.814,- dalam triwulan II.

Suatu siang, Vera bertugas antri di loket sedang tantenya, Cherly Pangaribuan, staf Bank AMEX, juga sedang antri dan bertanya: “Lagi ngapain Ver?” katanya. Vera dengan muka ceria menjawab: “Lagi setor untuk kliring, Tan,”katanya dengan senyum khasnya, lalu tantenya menimpali: “Memang, mamimu itu rezekinya baik terus,” katanya dengan senyum.

Apabila saldo rekening di BII sudah mencapai Rp 100 juta atau lebih, tanpa menunggu awal bulan, kami langsung transfer Rp 75 juta sebagai angsuran bulanan ke PT. EXIM SB Leasing, ditambah transfer beberapa dollar untuk biaya sekolah anak-anak di Amerika, karena memang biaya anak sekolah sumbernya dari usaha ini.



Tetapi sejak krisis ekonomi terjadi, kurs dollar melecit, maka impor barang dari luar negeri langsung drop karena harga jual barang di Indonesia tidak cocok lagi. Akibat rentetannya, jumlah kontainer impor yang akan dibongkar dari kapal laut drop drastis dan penyewaan stacker menjadi lesu. Sedang sebaliknya, pihak leasing tetap tidak mau mengerti situasi dan tetap melakukan penagihan-penagihan angsuran bulanan.

Untuk menjelaskan perkembangan situasi di Pelabuhan, suatu hari kami menemui jajaran Direksi perusahaan leasing, dimana saya mempresentasikan situasi terakhir kegiatan bongkar-muat impor-ekspor di Pelabuhan Tanjung Priok yang rentetannya angsuran menjadi menunggak, bukan karena on will (tidak mau), tetapi karena on macht (tidak mampu), meminjam istilah dunia perbankan. 

Di akhir pertemuan disepakatilah, bahwa satu unit stacker akan ditarik oleh leasing sedang yang satu lagi boleh kami operasikan. Nampaknya Direksi dari pihak Jepang, Sumitomo Bank, nampak lebih tenang dan penuh pengertian, sedang staf Indonesia kelihatan garang, tidak membantu, mungkin mengambil hati pihak Jepang.

Setelah berpikir dan bergumul beberapa hari, istri saya sebagai salah satu Direktur PT. Monang, mempertimbangkan ingin menyerahkan kembali, tanpa diminta, stacker yang kedua. tetapi mulanya saya tidak sependapat dan ingin mengulur-ulur waktu sambil menunggu perkembangan situasi ekonomi. Tetapi setelah merenung dalam, sikap istri saya betul juga, untuk apa menahan satu unit, padahal tidak ada barang yang mau dibongkar dan harus membayar biaya upah dan biaya tetap lainnya.

Akhirnya kami putuskan untuk menyerahkan kedua-duanya. Setelah menandatangani Berita Acara, yang intinya dengan penarikan tersebut, sisa hutang atau pinjaman kami dinyatakan LUNAS 100%.

Setelah menandatangani Berita Acara serah terima di pelabuhan pada suatu siang yang terik, disaksikan para operator PT. Monang, stacker dengan merek MONANG 1 dan MONANG 2 berwarna merah darah itu, pelan-pelan meninggalkan gudang 005 ke tempat penyimpanan yang baru disamping pintu keluar pelabuhan. Dengan rasa haru kami merelakan kepergian kedua alat yang telah mengisi sejarah hidup keluarga kami.

Berperkara
Mata rantai panjang dampak dari krisis ekonomi berbuntut kepada pemutusan hubungan kontrak kerja sama. Disuatu hari siang yang terik, tanpa angin tanpa hujan tiba-tiba bak petir di siang bolong, kami menerima surat dari PT.Pulau Laut bahwa kontrak dua tahun itu  akan diakhiri, hanya setahun saja.
Dengan segala kerendahan hati kami memohon agar kontrak ditinjau ulang dengan meminta agar volume kontrak dikurangi. semula menyewa 2 unit stacker menjadi 1 unit. Tetapi Pak Tomy, Direktur keuangan bergeming dengan alasan main contract dengan pelabuhan juga dikurangi dari tiga menjadi satu unit saja.Secara logika memang benar, tetapi logika dan bahasa hukum tidak begitu.

Kami mengingatkan pihak penyewa bahwa surat perjanjian, sama kuatnya dengan Undang Undang bahwa isi kontrak menyebutkan kontrak tidak bisa diputus kecuali kami tidak mampu mengoperasikan alat dan mendapat peringatan tertulis tiga kali berturut-turut. Namun Pak Tomy bergeming, walau kami dengan jelas mengisyaratkan kemungkinan berperkara. 


Sebenarnya hubungan kerjasama secara umum berjalan dengan baik, pembayaran sewa cukup lancar, sedang masalah operasional lapangan hanya masalah tehnis biasa.

Dengan rasa terpaksa hubungan baik diakhiri dengan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Di tingkat Pengadilan Negeri kami kalah, walau menggunakan pengacara terkenal Yan Apul, SH yang berkantor di Jl. Sabang, Jakarta Pusat.

Tidak puas, kami naik banding, kali ini tanpa pengacara. Kami berperkara dengan bendera PT. Monang, hanya dibantu advice hukum dari Ucok Pasaribu, SH, famili istri. Ketua Majelis Hakim yang kami temui sebelum sidang menjamin kami pasti menang dengan mengatakan: “Jika kalah nama saya akan tercoreng di Mahkamah Agung,” dengan menambahkan: “Perkaranya sederhana, pihak Tergugat memutus kontrak secara sepihak,” tuturnya.

Benar saja, kami diputus menang, di tingkat Pengadilan Tinggi tanpa menjanjikan memberikan sesuatu. Setelah menang kami memberi sesuatu sebagai ucapan terima kasih, itu persoalan lain. Ternyata masih banyak hakim yang jujur di Indonesia.

Sebaliknya, kali ini pihak Tergugat langsung kasasi ke Mahkamah Agung. Di tingkat MA, majelis hakim yang belum pernah kami temui memperkuat putusan Pengadilan Tinggi, kami menang lagi, walau kami hadapi tanpa bantuan pengacara dan tanpa menyogok.

Kemenangan formal akan ganti rugi Rp 1,2 miliar yaitu 12 bulan @ Rp 100 juta itu tidak segera dapat direalisir menjadi kenyataan. Diperlukan kesabaran, negosiasi dan strategi menghadapi MA dan Tergugat itu sendiri. Copy surat keputusan MA dapat kami peroleh melalui Satpam MA dan copy-nya diserahkan kepada pihak Tergugat. Negosiasi pun dilakukan baik pertemuan langsung maupun melalui telepon yang cukup hangat dan menekan dari pengacara Tergugat. Negosiasi pertama di Restoran Padang di area pelabuhan dengan tambahan dua pengacara baru, sedang dari kami hanya didampingi lawyer muda, seorang pemuda.



Dilanjutkan negosiasi kedua dan ketiga di Restoran Hotel Danau Sunter dan Gandys Kelapa Gading, Jakarta Utara. Saya membawa surat pengaduan siap kirim ke Kapolres P3 Tanjung Priok bahwa Tergugat telah melakukan tindak pidana, mengekspor stacker ke Vietnam stacker Kalmar yang sudah diletakkan sita oleh Pengadilan Negeri. Informasi ini saya dapatkan sebelumnya dari network saya, mantan langganan di pelabuhan.

Mereka juga kami informasikan bahwa tindak pidana penjualan barang sitaan bisa dipenjara. Maka tidak lama setelah pertemuan ketiga ini diperoleh kesepakatan angka ganti rugi Rp 1 miliar dari Rp 1,2 miliar sesuai putusan Pengadilan Tinggi/MA.

Setelah penandatangan Akte Notaris di Bekasi Timur, penyelesaian tuntutan selesai, transfer Rp 1 miliar pun dilakukan. Praise the Lord, case closed.

No comments: