Saturday, July 27, 2013

ANTARA TUGAS DAN CINTA







 C
inta tidak mutlak harus diucapkan secara verbal setiap hari atau setiap event tertentu, tetapi dapat pula diungkapkan secara non-verbal, satu dan lain hal sesuai dengan sifat atau karakter seseorang, seperti cara saya  mengungkapkan bentuk cinta dengan menggandeng istri dan anak anak, setiap ada kesempatan ke mancanegara. 

                                                    Welcome to Hong Kong

Ada teory yang mengatakan cinta itu harus diucapkan langsung sesering mungkin, itu tidak salah, tetapi kalau bentuk lain rasanya tidak salah juga, mungkin kurang sempurna saja.

Dalam periode 15 tahun,  perjalanan ke luar negeri kami lakukan 13 kali, hanya sekali saja saya pergi sendiri, yaitu perjalanan singkat ke Hongkong tanggal 24-29 September 1990, selebihnya keluarga selalu saya ajak. Dan frekuensi bepergian ke luar negeri puncaknya berlangsung sekitar empat tahun, pada tahun 1989-1992 sebanyak tujuh kali. 

Sedang dari 12 negara yang telah saya kunjungi, yang paling sering adalah ke Amerika Serikat, satu dan lain hal untuk mengunjungi anak-anak yang sekolah di sana, disamping banyak daerah tujuan wisata terkenal dan menarik untuk didatangi. Jumlah negara bagian yang sempat kami kunjungi baru 10, mulai dari Washington DC, Washington State, New York, Philadelpia, Virginia, California, Nevada, Arizona, Niagara dan Florida, sedang Hawaii tidak dihitung karena  hanya stop over beberapa kali.

Muhibah ke mancanegara bersama keluarga sebenarnya bukan karena berkecukupan, melainkan karena biaya perjalanan yang disediakan oleh Dinas cukup besar, lumpsum US$ 650-750 per hari di luar tiket pesawat. 

Belum lagi ditambah fasilitas pakaian dingin, yang tidak perlu dibeli tiap tahun. Dengan demikian, dana yang tersedia cukup meng-cover biaya 2-3 orang dalam satu kamar, apalagi jika kursus berlangsung cukup

Jika hotel tidak disediakan oleh Tuan rumah, kami menginap di hotel berbintang dengan tarif maximum US$ 125 per malam, sudah cukup memadai. Bahkan kalau agak lama kami menyewa kamar motel/hotel bertarif  ± US$ 250 per minggu.

Kami beruntung, Direktur atasan kami, Bapak Sugianto (Alm) dan Bapak Supari, Dirut BCA sekarang, sangat mendukung staf yang ingin maju, termasuk pendidikan ke luar negeri. Bahkan sejak tahun 1980-an, BRI banyak mengirim staf untuk Program Master ke Amerika Serikat, yang belakangan  ini sudah menduduki posisi puncak, menjadi Direktur di BRI, BCA, EXIM, Cabang luar negeri dan lembaga keuangan lainnya.

Branch Manager Training in Manila


                                     

Bagaimana senangnya bisa membawa istri ke luar negeri sambil tugas, merupakan kebahagiaan tersendiri dan akan menjadi kenangan indah. Kesempatan perdana kami peroleh tahun 1982, sewaktu 25 orang Kepala Cabang BRI pilihan dari seluruh Indonesia dikirim ke Filipina dan Thailand selama sebulan. Dan hanya saya, Kepala Cabang yang beruntung mendapat kesempatan menggandeng istri mendampingi Ibu Martono, istri Kepala Kanwil BRI Kupang sebagai ketua rombongan.

Selama training yang dibiayai oleh APPRACA, BRI dan DTZ Lembaga Kerjasama Teknik Jerman, rasa percaya diri mulai tumbuh, bahkan berani tampil di depan kelas dengan vocabulary yang pas-pasan, walau sudah mengikuti kelas khusus Bahasa Inggris di LPPI Kemang sebelum berangkat.

                                                                            

Training di Filipina yang berlangsung dari tanggal 16 Mei - 4 Juni 1982 ini berlangsung di tiga lokasi, yaitu Central Bank, Multi Storey Building, Manila; di University of The Philippines Los Banyos dan di Development Academy di kota Tagaytay.

Dalam perjalanan pulang ke Indonesia, masih ada training di Bangkok dari tanggal 4-9 Juni 1982. Di sela-sela training, para peserta berkesempatan shopping barang-barang khas Thailand seperti tas, sepatu dan emas, gelang ukir halus dan indah. Ada beberapa peserta yang bertanya terlebih dahulu ke istri saya sebelum membeli, termasuk Bapak Hutasoit, Kepala BRI Cabang Tarutung.

Setelah training di Bangkok selesai, di luar rencana semula dan atas biaya sendiri, rombongan mampir semalam di Hongkong, kecuali Kepala Cabang Sibolga langsung pulang ke Jakarta. Saking asyiknya belanja, saya dan istri ketinggalan rombongan untuk acara  makan bersama diatas perahu di perairan Hongkong.

Keikutsertaan istri saya menemani Ibu Martono merupakan indikasi kedekatan hubungan dinas maupun kekeluargaan selama di NTT dan berlangsung hingga ke Jawa Tengah, setelah Bapak Martono dipromosikan menjadi Kepala Kanwil di Semarang dan kami juga menyusul menjadi Kepala Cabang di Kudus. Di banyak kesempatan, Bapak Martono sering menjadikan BRI Kudus menjadi model untuk cabang-cabang lain di Jawa Tengah.

Studi Banding Komputerisasi
Perjalanan dengan Monang, anak kedua siswa SMA PSKD Jakarta, juga mempunyai kenangan tersendiri, saya ajak dalam perjalanan mengadakan studi banding sistem komputerisasi ke Filipina dan Thailand dari tanggal 15-23 Juli 1989. Disela sela tugas, Monang jalan sendiri baik belanja maupun nonton untuk memompa  keberanian dan percaya diri, yang berguna tiga tahun kemudian untuk pendidikannya di Amerika.

Pada hari Minggu pagi, kami tidak lupa kebaktian di Gereja di Manila, di mana kami diberi kesempatan memperkenalkan diri. Malam harinya makan berdua di pusat kota (bukan di Makati) berbaur dengan turis lain dengan menu besar dan Monang bisa menghabisinya.

Di tahun 1992, saya ke Manila lagi dalam program SESPIBANK Angkatan VIII bersama Pejabat-pejabat bank dari Indonesia, melakukan studi banding ke berbagai lembaga keuangan yaitu Central Bank, Philippine National Bank, Land Bank, Asian Institute of Management dan Bank of The Philippines Islands.
Diantara peserta, saya salah satu yang paling banyak mengajukan pertanyaan kepada Tuan rumah dan menjadi bahan penilaian sebagai penerima sertifikat peserta terbaik kursus ini.
 
Hotel jangkung di Bangkok

Sore terakhir Mr.Warren Niles, saya dan Monang meninggalkan Filipina menuju ibukota Gajah Putih, Bangkok. Disana kami menginap di hotel sangat jangkung di pusat kota sehingga malam itu saya tidak bisa tidur nyenyak, rasanya bergoyang-goyang terus ditiup angin, dan kontan besok paginya kami pindah ke hotel lain yang hanya beberapa lantai.

Selama di Bangkok, tidak lupa membawa anak saya ke restoran dengan pelayan sepatu roda, yang pernah kami kunjungi tujuh tahun sebelumnya, yaitu Restoran Sanam Luang, sebuah restoran yang kelak menjadi langganan kami di Los Angeles dan Jakarta.

Tidak lupa pula wisata di dalam kota dan belanja souvenir kecil kereta kencana dalam bingkai kaca, yang saat ini masih terpajang di rumah. Satu souvenir lain yang dipesan anak anak tidak ketemu, yaitu banner dengan tulisan GUN N ROSES, yang tenar di zaman itu.

Pameran dan Seminar Komputer di Hongkong
Perjalanan singkat berikutnya selama 5 hari dari tanggal 24-29 September 1990, saya menghadiri pameran komputer dan seminar-Cenit Asia 1990. Sebagian besar topic seminar yang saya ikuti menyangkut sistem pengawasan, karena aspek teknis, software dan hardware buat saya relatif sulit, mengingat background saya bukan dari teknik, tetapi keuangan.

Kali ini saya tidak membawa keluarga, tetapi bersama Konsultan IT, Mr. Niles dan beberapa orang dari vendor, perusahaan pemasok hardware untuk bank-bank di Jakarta. Namun demikian, saya tetap ingat keluarga dan disela-sela pameran menyempatkan diri membeli sebuah cincin berlian mungil, yang mempunyai arti tersendiri karena merupakan cincin pertama yang saya beli sendiri untuk istri.  

Seminar Komputer di Washington DC

 
Suwignyo Budiman, Direktur BCA

Kunjungan ini menjadi perjalanan perdana ke Amerika Serikat dan kota pertama yang diinjak adalah ibukota Washington DC dari tanggal 24 Mei – 20 Juni 1991, yang merupakan masa kebersamaan yang cukup lama dengan istri dan dua anak siswa SMA Monang dan Pahala.

Tanggal 24 Mei 1991 jam 20.00 pesawat United Airlines yang membawa kami dari Singapura landing di Dulles Airport, Washinton DC. Sampai di Hotel sudah menjelang tengah malam, tepatnya pukul 23.30 perut terasa lapar, kami makan di Mc Donald karena Chinese Food dan Restoran Steak sudah tutup.

Tiga orang peserta seminar dari  BRI dengan level jabatan yang sama, Wakil Kepala Urusan (IT, Smart Card, Bisnis BRI Unit). Wakil Kepala Urusan IT dengan Master lulusan AS itu, kemudian bintangnya bersinar terus dipromosikan menjadi Kepala Divisi IT, Kepala Kanwil Palembang dan sekarang (2007) salah satu dari 3 Direktur BCA yang berasal dari BRI.

Seusai pameran ada jeda, break seminggu sebelum dilanjutkan dengan training lain lagi, sedang dua rekan peserta lain kembali ke Jakarta, dan selama break seminggu, status saya adalah cuti tahunan, tetapi semua biaya menjadi tanggungan full dinas.Terima kasih BRI.
 
                                                   Washington DC
 

Kenangan pertama terjadi di Restoran Korea di pinggiran Washington DC. Seusai makan, saya membayar dengan cash – bukan dengan card – dan bergegas keluar dan dibelakang seorang pelayan menghampiri dan dengan sopan berkata: “Do you forget something?” katanya. Rupanya pelayan mengharapkan tips sebagai penghasilan tambahan. Buat kami, memberi tips belum merupakan kebiasaan di Jakarta. Dengan rasa geli kami memberi tips juga, dan menjadi bahan lelucon buat kami berempat, saya lupa jumlah tipsnya.
 Kami kembali ke hotel kecil yang dibooking oleh mahasiswa Indonesia, anak karyawan BRI, yang studi sambil bekerja di sana. Dengan sangat berhati hati menyeberangi jalan padat menuju hotel kuatir ketabrak seperti di Jakarta. Mobil berhenti memberi kesempatan kami untuk menyeberang dengan santai.

Sesampai di kamar, saya mencari Yellow Page dan menelepon seorang mantan  Konsultan BRI keturunan Bolivia yang kurang lebih tiga tahun bekerjasama dengan saya. Setelah berbicara ditelpon, saya mendapat kesan bahwa dia tidak berniat bertemu kami, padahal selama di Jakarta, disamping bertemu setiap hari, dia pernah ke rumah kami di Kelapa Gading dan Jl. Proklamasi, Jakarta. Dan sebaliknya, kami pernah bertamu ke kediaman mereka di Apartemen Hilton Jakarta.
Rupanya buat mereka, hubungan kami sepenuhnya hubungan profesi. Ada sedikit perasaan kecewa. Tapi itulah perbedaan budaya, lain lubuk lain ikannya.


Kejadian yang tidak bisa dilupakan adalah berangkat kursus dengan naik kereta api bawah tanah untuk pertama sekali di AS, dari Fall Church di Virginia menuju Washington DC, sekitar 25 km. Saya merasa repot berjalan kaki dengan sepatu kulit yang menggigit dengan berjalan kaki dengan pakaian lengkap.

Beli karcis di mesin otomatis, tidak bisa karena  tidak punya uang kertas pecahan $1, yang ada $20, lalu meminta tolong kepada beberapa orang untuk menukar uang, tidak berhasil, sampai beberapa menit menunggu, sebelum seseorang kulit putih bersedia membantu menukar uang saya.
 Dengan senang hati naik turun dari Kereta dan naik taksi menuju alamat yang ada di tangan. Ternyata  alamat kursus pindah ke lokasi lain yang relatif jauh, yang  sopir taksi (kulit putih) tidak tahu lokasinya, maklum baru hari pertama bawa taxi.
Dengan beberapa kali bertanya, akhirnya terlambat sampai  di alamat yang dituju dengan argo membengkak. Setelah nego, dengan menyadari kesalahan nya, saya membayar jauh di bawah argometer.

Course for Manager in Technical Environments selama empat hari saja ini relatif mahal, sebesar US$ 1.745, yang diikuti oleh semua warga AS, kecuali saya.
Ada dua tantangan besar yang saya hadapi selama kursus ini, pertama  diskusi yang relatif cepat baik instruktur maupun pesertanya dan kedua diskusi kelompok (empat orang), di mana saya harus memutar otak untuk mengerti istilah-istilah teknis di bidang IT dan cepat cepat ikut masuk dalam diskusi.

Beruntung seorang warga AS keturunan Birma memberi keleluasaan bagi saya untuk berpartisipasi. Dengan lugas saya ceritakan reward system di BRI yang mengirim 16 orang Manager BRI Unit terbaik (juara) se-Indonesia studi banding ke Malaysia dan Singapura tanggal 15-22 Juli 1990 yang saya pimpin.Dan ternyata para manager di perusahaan besar di AS menginginkan reward system juga, seperti yang sudah dipraktekkan di BRI, atas rekomendasi konsultan Harvard.

Di waktu break makan siang, anak mantan Jenderal Birma ini mengajak saya makan di Restoran Wendys di luar kompleks dengan mobilnya, tentu dengan membayar sendiri-sendiri. Itu memang kebudayaan mereka.

Kursus hari terakhir saya pulang dengan taxi yang disopiri  African American, yang sengaja saya minta menjemput saya jumat sore itu, karena sepanjang perjalanan pagi dari stasiun kereta, dia terus menyetel lagu-lagu rohani melalui radio.

Sepulang kursus empat hari Jumat sore itu, Thanks God Its Friday (TGIF), sebagai turis kami berempat menuju mal di Virginia. Yang pertama dilakukan adalah berfoto di atas piringan, yang hingga saat ini masih terpajang dilemari hias dirumah.  Esok harinya, kami mengikuti Tour, antara lain ke Capitol Hill, Makam Kennedy di Arlington, Museum Smith-Sonian, masuk White House, berfoto didepan Kedubes Indonesia dan masih banyak lagi.

 


Bank Advance Management Training.
Tahun 1994 ada kesempatan lagi mengikuti kursus Overseas Bankers di Philadelphia,  yang diikuti empat peserta dari Indonesia, diselenggarakan di kampus terkenal, Wharton School of Business, University of Pensylvania, Philadelpia. Rupanya pada tahun 1994 sekolah bisnis ranking I di AS bukan Harvard Business School, tetapi justru Wharton School of Business ini.

Perjalanan dari Jakarta ke Philadelpia mampir dulu di Los Angeles, untuk mendrop anak pertama saya, Vera, mahasiswa Kedokteran UKI Jakarta, yang jarang ikut ke Luar Negeri. Beberapa hari kemudian saya terbang lagi ke timur menuju Philadelpia dan tinggal sendirian di kamar  Suites, Hotel Korman bertarif $130 semalam selama kursus 20 hari, lengkap dengan kamar tamu, kamar makan, dapur, mesin cuci dan dryer. 
http://www.aaroads.com/northeast/pennsylvania075/i-095_nb_exit_012_03.jpg
Menuju Philadelphia airport

Istri Bpk.Alit, peserta dari Bank EXIM menyusul datang ke Philadelphia, demikian juga istri saya datang sendirian dari Los Angeles.
Di ruang tunggu, dengan sabar saya menunggu semua penumpang keluar, langsung dekat pintu keluar belalai, sampai penumpang terakhir istri saya tidak muncul-muncul juga. Saya lari ke telepon umum, tetapi tidak punya koin, lalu dengan kartu AMEX Bank, saya berhasil menghubungi istri saya di California. Di ujung telepon, dengan nada geli istri saya bilang: “Kami baru saja pulang dari Los Angeles, terlambat tiba di Airport, walau sudah ngebut,” katanya, sambil menambahkan: “Besok saya pasti datang!,” sambil menutup telepon.

Kasus keluar paling akhir dari pesawat pernah terjadi di Don Muang airport, Bangkok, ketika saya sedang training istri datang menyusul sendirian. Dengan rasa khawatir saya menunggu penumpang di pintu keluar. Ternyata dia keluar paling belakangan, karena harus mengisi formulir di ruang imigrasi, lupa mengisi sebelum landing.

Training yang betul-betul advance ini memang untuk Overseas Bankers, di mana diajarkan instruments of money market menganalisa proposal pinjaman dari negara-negara Amerika Latin. Bukan lagi kepada perusahaan multinasional atau perusahaan besar, yang sudah biasa kami lakukan. Jadi diskusinya memang complicated, namun demikian memberikan nilai tambah agar kami tidak canggung melayani proyek sindikasi atau go international.

Peserta training memang ada yang dari Filipina, Indonesia, Arab dan Eropa, tetapi sebagian besar berasal dari Amerika Latin bergelar Master, seperti halnya dua peserta dari BRI, Sdr. Wibowo dan Sdr. Hendrawan adalah Master dari AS. Sedangkan saya dan Sdr. Alit adalah lulusan perguruan tinggi di Indonesia plus lulusan Sespi bank, Sekolah Staf Pendidikan Tertinggi ilmu perbankan yang diselenggarakan oleh LPPI, lembaga pendidikan milik Bank Indonesia, di kampus Kemang, Jakarta Selatan.

Dua rekan dari BRI tersebut di atas memang diproyeksikan menjadi Pemimpinan masa depan dimana jabatan terakhir Sdr. Wibowo menjadi Kepala Cabang BRI New York dan Sdr. Hendrawan menjadi Direktur BRI. Itulah manfaatnya mempunyai pendidikan tinggi dan dari universitas ternama di luar negeri pula.

Kebersamaan dengan Keluarga

 


Seusai training tanggal 17 November 1994, kami tidak buru-buru pulang ke Jakarta, tetapi memanfaatkan cuti tahunan 14 hari bersama-sama semua anak-anak tercinta, priceless, suatu kenangan indah dalam hidup. Selama di Colton, kami sering belanja bahan makanan dan bumbu di Oriental market karena istri saya rajin dan jago masak, karena masakannya memang enak dan ditunggu-tunggu anak-anak dan juga teman-teman mereka.
Menu yang paling disukai anak-anak adalah sop dari tulang/daging empuk.  Setelah istri saya pulang, barulah mereka merasa kehilangan orang tua dan kehilangan masakan lezatnya.

Untunglah tetangga di apartemen tidak pernah komplain atas bau yang sangat menyengat hidung mereka. Karena ada kasus, tetangga menelepon 911 (polisi) karena merasa terganggu bau masakan oriental, atau justru mereka senang bau harumnya.

Tidak bisa dilupakan dan masih segar dalam ingatan, mengikuti kebaktian Minggu di Gereja anak-anak, Gereja Jemaat Kristen Indonesia, JKI di Upland, Orange Country yang dipimpin Pdt. Sutanto Adi. JKI ini ada di dalam Sinode JKI Kudus, Jawa Tengah, ditempat mana kami sering ikut kebaktian yang di kala itu diketuai oleh Dr. Lukas, nasabah BRI dan sahabat keluarga.

Di Gereja ini Monang tetap setia menjadi drummer selama bertahun-tahun.
Setelah kebaktian, saat yang ditunggu-tunggu pun tiba, yaitu menikmati jamuan kasih, masakan Indonesia yang mereka rindukan setelah secara rutin makan masakan AS. Menu Indonesia ini merupakan sumbangan sukarela keluarga Indonesia secara bergantian. Pada saat itulah Pdt. Adi guyon dan berkata:  “Pak Situmeang mencari menantu jangan jauh-jauh, anggota jemaat sini saja,” katanya tanpa menyebut siapa yang dimaksud, dan kami pun tidak bertanya.

Rupanya Pendeta ini sudah mencium hubungan anak saya dengan seseorang. Beberapa tahun kemudian, tepatnya di tahun 1999, apa yang diungkapkannya menjadi kenyataan, Monang kawin dengan Sarah Halim, lulusan Senior High di jemaat itu, yang pindah ke AS sejak usia SD, kelahiran Jakarta, anak sulung dari Bapak Arief Halim dan ibunya Ida Sianturi.

Di sela-sela cuti, kami menyempatkan mengunjungi beberapa keluarga Situmeang, yang sebagian besar memiliki rumah sendiri di kota Lomalinda, yang umumnya adalah jemaat Advent. “Sekarang di sekitar LA jumlah Situmeang ada 26 orang,” kata John Situmeang, bahkan jika dihitung anak anak bisa mencapai 50 orang, seperti yang saya saksikan pada family gathering tanggal 1 Januari 2008 yang lalu.

Waktu cuti pun berakhir, kami diantar ke Airport LAX hingga menit-menit terakhir sebelum masuk ruang tunggu, seperti biasa, kami minum dan makan snack dengan perasaan sendu menunggu detik-detik perpisahan.

 
LAX airport, Los Angeles
 
Pengeras suara meminta penumpang untuk boarding.  Dengan peluk dan cium satu persatu, kami melangkahkan kaki dengan berat, melewati penjaga pintu dan untuk terakhir kali menoleh ke belakang dengan lambaian tangan. Good bye anak anak, We miss you and God bless you all.
Vera tidak ikut pulang bersama kami, dia menyusul kemudian, pulang bersama Moseley Simatupang, yang kelak  menjadi suaminya.

No comments: