Monday, July 29, 2013

WISATA ROHANI KE ISRAEL VIA EROPA



KE TANAH PERJANJIAN VIA EROPA 
                                                       Menangkap ikan di Danau Galilea


Tanah Perjanjian memang bukan merupakan tanah suci yang wajib dikunjungi umat Kristen, tetapi napak tilas ke tempat-tempat yang dilalui Yesus Kristus memberi nilai tambah dan kesaksian kesahihan Alkitab. Bahkan mendengar khotbah, akan bisa membayangkan lokasi yang pernah kita saksikan dengan mata kepala sendiri dan pada akhirnya meningkatkan kadar iman.

Berkat yang diperoleh memberi kesempatan kepada kami bertiga (saya, istri, Peggy) menjejakkan kaki di bumi Israel tanpa mengkalkulasi betapa mahalnya biaya – turis bebas – tidak dipikirkan waktu itu. Sekali Tuhan bilang pergi .... kami berangkat.

Seusai mengantar Monang ke kota Olympia, Ibukota  Washington State, kami berencana wisata rohani ke Israel dengan mengurus visa  di Den Haag, Belanda bukan di Konsulat Israel di Los Angeles.


Dari Los Angeles kami naik pesawat KLM menuju Amsterdam dan menginap di Holiday Inn bertarif US$ 150.00/malam. Esok paginya memilih naik taksi dari Amsterdam ke Kedutaan Israel di Den Haag dan  tanpa disadari tiba-tiba muncul rasa Nasionalisme kembali pada saat naik taksi Mercy hitam yang disopiri warga negara Belanda yang ramah, yang dulu menjajah Tanah air. Perasaan seperti ini pernah terbetik tatkala naik taksi dari Bandara Narita ke Tokyo, Jepang. 

Mencari Kedubes Israel di Den Haag tidaklah mudah, walau alamatnya cukup jelas, harus bertanya kepada polisi barulah diketahui bahwa lokasi kantornya tersembunyi di Bangunan tinggi, hanya beberapa meter dari pos polisi.

 Ke Paris dan London
Untuk memperoleh visa, ternyata prosesnya perlu waktu seminggu, menunggu persetujuan dari Tel Aviv, mengingat Indonesia tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel. 

Waktu menunggu itu kami manfaatkan untuk wisata di negeri Belanda, terbang ke London dan Paris. Seperti wisatawan lainnya, kami ikut City Tour termasuk naik ke Menara Eiffel, naik kapal wisata melalui sungai di kota Paris, melewati deretan bangunan-bangunan bergaya klasik Eropa, berjejer sepanjang sungai.

Di London kami memilih hotel di pusat kota agar mudah mencari makanan Chinese Food atau Mc Donald yang sesuai dengan perut Melayu dan gampang ikut wisata yang memang mengasyikkan, bisa mengunjungi beberapa istana, melihat museum yang berisi perhiasan mahal dan kebesaran Kerajaan Inggris.

                                                      
 Dalam rute yang dilewati bus City Tour, pemandu menjelaskan icon kota London seperti Jembatan Thames, Tower Big Ben dan menyaksikan menit menit pertukaran serdadu berkuda penjaga istana pada jam-jam tertentu.

Sepulang menikmati wisata di Paris dan London, kami terbang kembali ke negeri Belanda untuk mengambil visa di Kedubes Israel. Kali ini kami tidak menggunakan taxi, tetapi mencoba naik moda angkutan kereta api sambil mengagumi kebun-kebun bunga (perkebunan bunga), berhektar hektar tiap kebun dengan warna kembang yang sama, sepanjang perjalanan Amsterdam – Den Haag. Karena The Nederlands, merupakan eksportir bunga nomor satu di dunia.

Setiba di Den Haag, kami dengan mudah langsung menemui staf Kedubes yang hanya menanyakan satu pertanyaan : “Apa tujuan Saudara ke Israel?” katanya, “Ingin menyaksikan apa yang tersurat dalam Alkitab”, jawab saya, sambil menerima tiga paspor dan visa khusus, berupa selembar kertas putih kecil,  sehingga dalam paspor tidak ada stempel Israel, seperti lazimnya visa dari Negara lain.       

Pulang kembali ke Amsterdam, kami terkejut karena  tidak bisa naik kereta api hari itu, karena pegawai kereta api sedang aksi mogok. Kali ini kami tidak naik taksi, tetapi memilih naik bus melalui jalan-jalan biasa, dan kami malah beruntung, bisa menyaksikan sebuah pemandangan khas, dimana setiap jendela rumah selalu dihiasi oleh pot-pot dengan bunga warna-warni produk Negara ini.

Menuju Tel Aviv


Dengan membayar tiket US$2.794,50 bertiga kami berangkat tanggal 7 April 1992 jam 19.10 dengan pakaian di badan dan barang tentengan kecil agar langkah kami lebih praktis dalam perjalanan kali ini, karena koper-koper kami ditinggalkan dipenitipan  Hotel Holiday Inn Amsterdam.

Sesampainya di kounter KLM, kami merasa asing dan aneh melihat banyak tentara berjaga-jaga hingga ke lantai dua mengawasi penumpang pesawat tujuan Tel Aviv.  Akhirnya pesawat KL 525 landing  di promise land dengan selamat di Airport Ben Gurion pukul 00.35 dinihari setelah terbang selama 5 1/2 jam, tepatnya tanggal  8 April 1992.

Dengan hati deg-degan, kami melewati loket imigrasi dan menerima  passport kembali tanpa bertanya, sedang kertas visa ditahan oleh petugas.

Dengan lega kami melangkah keluar Airport mencari taksi resmi dan menolak tawaran taksi gelap, seperti dipesankan oleh travel di Amsterdam. Naik taksi ke kota yang asing di pagi buta itu, juga diliputi hati was-was. Tetapi kekhawatiran kami sirna setelah sopir dengan bahasa Inggris sederhana meyakinkan kami agar tidak perlu cemas selama berada di Israel.

Kurang lebih 30 menit tiba di hotel di pantai barat Mediteranean sea yang telah kami booking sebelumnya sewaktu beli ticket dari Pantravel di Jakarta. Sayang, pengalaman hari pertama yang negatif, petugas hotelnya curang, kami dicharge biaya tambahan satu malam, karena tiba satu hari sebelum waktunya, sedang  pagi buta itu sebenarnya sudah masuk tgl.8 April, tanggal booking hotel. Tetapi karena badan sudah capek dan membawa istri dan anak gadis, maka kami membayar dengan rasa terpaksa.

Tur Bebas
Perjalanan kami ke Promise land tidak bergabung dengan grup atau packet tour tetapi sebagai turis biasa, turis bebas dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

Kelebihannya adalah waktunya sangat fleksibel, pergi tamasya tidak terlalu capek atau bangun tidak terlalu pagi, sedang. Sebaliknya, dengan tur grup, waktunya sangat ketat, mulai dari bangun pagi, sarapan, naik bus, shopping dan tidak diperkenankan mengambil rute lain di luar yang telah ditetapkan sejak dari Tanah air.

Namun pergi dengan grup pasti lebih menyenangkan dengan biaya lebih murah, didampingi Pendeta yang mampu menjelaskan tentang lokasi dan pengertian teologisnya. Sedang tur bebas yang kami ikuti baru kami cari dari leaflet hotel dengan hanya didampingi oleh pemandu wisata warga Yahudi, lulusan perguruan tinggi wisata.
Dia sempat heran mengetahui kami orang Indonesia, negara muslim, dan orang Indonesia yang pertama ikut City Tour bersama dia.

Yang mengagumkan dan mengherankan adalah warga Israel beragama Yahudi itu menguasai sejarah dan riwayat hidup Yesus, tetapi tidak mengakui Yesus Kristus sebagai mesias karena mereka masih menunggu kedatangan mesias yang dijanjikan dalam Tauratnya.

Hari pertama di ibukota lama Tel Aviv kami habiskan keliling kota dengan carter taksi yang membawa kami masuk jalan sempit, pasar tradisional dan bukit sekitar sekolah, yang belum lama terjadi pembunuhan. Dari bukit ini dapat dipandang kota Tel Aviv yang modern dengan pencakar langitnya di pantai barat Medditeriania, Yudea lama.

Pulang ke hotel, si sopir sangat berterima kasih karena punya kesempatan bisa kursus bahasa Inggris gratis hari itu melalui coversation berulang ulang dan sulit dimengerti karena bahasa Inggris yang sangat minim.

Menuju Nazareth

Bangun pagi keesokan harinya memulai wisata rohani yang mengesankan ini. Dengan  Bus wisata besar penuh wisatawan berbagai bangsa, dari Tel Aviv mengarah ke utara sepanjang pantai barat Laut Tengah dan sebelum sampai kota pelabuhan Haifa, berbelok ke arah timur, ke pedalaman.

Kota pertama yang kami tuju adalah kampung Yesus, kota kecil bernama Nazareth, 1.230 kaki di atas permukaan laut dimana kami menapaki rumah Yoseph dan juga rumah Maria, dua rumah yang berbeda, di kampung yang sama. Di sanalah masa kanak-kanak Yesus dihabiskan membantu Yoseph sebagai tukang kayu. Untuk mengenang sejarah, di jalan kecil kampung ini berdirilah Gereja Maria yang dikenal dengan :The Church of the Annunciation.

Dengan rasa bahagia, saya dan istri menyempatkan duduk di kamar yang dulu adalah kamar Maria dengan jendelanya, disanalah  malaikat Jibril menyampaikan kabar baik bahwa Maria akan mengandung dan anaknya akan dinamai Yesus. Di rumah ini kami masih melihat sumur yang digunakan Maria 2000 tahun silam.


Di kota kecil Nazareth ini berkembang saat ini menjadi hunian terbesar warga Arab muslim di Israel yang mengelola toko-toko souvenir, aksesoris agama Kristen seperti salib, patung dan lain-lain.

Tidak jauh dari kampung Maria,
± 6 km ke arah Tiberias kami melewati daerah Kana, ditandai oleh dua Gereja yang sangat jelas nampak dari dalam bus, ditempat mana Yesus melakukan mukjizat pertama, yang seharusnya belum waktunya, menjadikan “air menjadi anggur” di pesta perkawinan di Kana, karena tuan rumah kehabisan anggur, seperti tertulis dalam Johannes 2:3.

Ikan Petrus

Perjalanan dilanjutkan ke arah timur lagi,
± 4 km sebelum sampai ke Danau Galilea, kami parkir di suatu kompleks Sinagoge di bekas kota Kapernaum dengan tulisan “City of Jesus” di pintu gerbangnya. Di kota ini, Yesus menghabiskan 20 bulan mengajar di Sinagoge dan banyak menyembuhkan orang-orang sakit, namun penduduk Kapernaum termasuk orang orang bebal tetap tidak percaya, persis seperti penduduk Nazareth.



Oleh sebab itu, daerah ini dikutuk oleh Yesus, makanya tidak ada rumah penduduk dan pertanian di sana sampai sekarang kecuali bekas rumah murid Yesus, Simon Petrus, yang di atasnya didirikan Gereja dan di kolong Gereja, masih dipelihara bekas bangunan yang lama (Matius 2, 23-24)

 
Bangunan di sebelah rumah Simon Petrus adalah Sinagoge tempat Yesus mengajar dan merupakan bangunan bersejarah yang nampaknya dilindungi dan dipelihara oleh pemerintah. Sekarang tinggal puing-puing, tiang-tiang bulat besar, bangku-bangku duduk dari semen, tetapi dipelihara dengan baik. Di luar bangunan masih bisa disaksikan alat batu giling minyak dan batu bergambar tabut perjanjian.

Pemandu menjelaskan bahwa kota Kapernaum lama sebelumnya adalah kota persimpangan jalan menuju Damaskus di mana pedagang mengangkut sutra dan rempah-rempah.

Kapernaum kami tinggalkan menuju pinggir Danau Galilea atau Danau Tiberias, seperti nama Kaisar Roma, persis waktu makan siang dan penumpang dipersilahkan turun dan seperti digiring masuk restoran, yang nampaknya menjadi langganan travel itu kecuali kami bertiga yang ngacir memilih Chinese Restaurant di sekitar pantai itu.

Di menu tertulis “Ikan Petrus”, nama Simon Petrus mantan nelayan, menu wajib di semua restoran. Karena penasaran seperti apa rasanya, kami pesan dan makan juga yang ternyata Ikan Petrus itu  tidak ada bedanya dengan ikan tawar lainnya, tergantung bumbu dan cara memasaknya. Dijamin pasti enak karena sudah lama rindu menu Chinese food.

Danau yang terkenal banyak ikannya ini disebut Galilea dari bahasa Yahudi yang artinya “harpa”, karena bentuk danau ini persis  seperti alat musik harpa yang letaknya 686 kaki di lembah, yang airnya disedot dengan pompa-pompa kapasitas besar (yang kami saksikan di pinggir jalan) dan airnya dialirkan ratusan kilometer jauhnya ke bukit-bukit dan padang pasir sehingga  tidak heran negara ini menjadi eksportir bunga nomor dua di dunia setelah The Nederlands.

Sayang sekali, sebelumnya kami tidak tahu kalau di sekitar danau yang indah ini banyak hotel, seperti halnya di Betlehem dan Yerusalem. Kalau kami tahu, pasti kami tidak akan menginap jauh di Tel Aviv, karena tempat bersejarah pada umumnya berada di sekitar Yerusalem, ibukota Israel yang baru.

Setelah perut kenyang makan nasi dengan lauk Ikan Petrus, wisata rohani diteruskan ke lokasi Yesus dibaptis oleh Yohanes di Sungai Jordan dimana pada saat Yesus dibaptis, ada suara berkata: “This is my beloved Son in whom I am well pleased”.

Kami tidak tergoda untuk dibaptis lagi, seperti banyak yang datang lengkap berbaju putih putih, siap dibaptis di Sungai Yordan. Baptis atas nama Bapa, Anak dan Roh Kudus cukup sekali seumur hidup, dengan cara dipercik, diselam atau cara lainnya.

Sesampainya di pinggir Sungai Yordan, tanpa sadar saya langsung minum air memakai tangan, tanpa berpikir air itu bersih atau tidak. Sedang istri saya dan Peggy hanya cuci muka, tidak minum. Yang di luar rencana semula adalah kami tergoda ikut membeli botol Aqua untuk diisi air Sungai Yordan dan sampai dibawa pulang ke Jakarta, bak air Zam-zam, walau kami sendiri tidak percaya khasiatnya, karena air itu adalah air biasa saja.


Menuju Golgota
Hari keempat kami ikut napak tilas, trap-trap  tangga via Dolorosa, yang dilalui Yesus sambil memikul salib yang begitu berat – melukiskan beban dosa manusia – sambil jatuh bangun, haus, dicambuk berdarah sampai mencapai bukit Kalvari, bukit tengkorak di mana Yesus disalibkan.

 
Di Kalvari atau bukit Golgota
Kalvari atau dikenal juga dengan bukit Golgota itu sendiri berada di dalam bangunan Gereja yang dinamai Church of All Nation. Disebut demikian karena didirikan kembali tahun 1919-1924 oleh 16 negara dan merupakan Gereja paling indah di Jerusalem karena materialnya menggunakan mosaik dan kayu alabaster.  Kami merasa berbahagia akhirnya bisa menjejakkan kaki di tempat Yesus dipaku, disalibkan dan menghembuskan napas terakhir sambil berkata: “Eli, Eli, lama sabaktani”, Bapa kepadamu kuserahkan nyawaku.

Melangkah hati-hati kembali menuruni tangga ke lantai bawah dan ikut antrian menuju lubang kubur, dulu milik orang kaya Yoseph Arimatea, di mana Yesus dibaringkan di hari Sabat sebelum bangkit di hari ketiga, hari Paskah. 




 Antri masuk makam Yesus

 Antrian cukup panjang, tetapi dengan tertib dan sabar kami mendapat giliran masuk lubang kubur yang pintunya rendah, sekali masuk 3-4 orang karena di dalam ada dua petugas Gereja Ortodox Rusia yang melayani dan kami menyumbang beberapa dollar secara sukarela. Dengan menunduk masuk sambil mengingat suara malaikat: “Why do you seek the living among the dead?”, mengapa kamu mencari yang hidup diantara orang mati ?. (Luke 24: 5),

Pertokoan Tel Aviv
Dalam perjalanan kembali menuruni trap trap tangga Via Dolorosa, tidak jauh dari Golgota kami melewati Bukit Moriah atau The Temple Mount, lokasi persembahan kurban oleh Nabi Ibrahim atau Abraham, yang dikenal sebagai Masjid Al-Aqsha. Toko-toko souvenir milik warga Arab sedang tutup, karena hari itu ada demonstrasi warga Palestina.

Dan sayang pula, hari itu bukan hari Jumat karena setiap hari Jumat pukul 15.00 selalu dilaksanakan prosesi Jalan Salib, orang memikul salib diikuti oleh turis segala bangsa. Kemudian lebih kebawah lagi  kami sampai ke wailing wall, tembok ratapan, dimana kami menyaksikan warga Yahudi sedang meratap dan berdoa.

Pulang ke Hotel di Tel Aviv sudah gelap dan capek seharian, esoknya kami bangun kesiangan tidak bisa ikut tur lagi lalu hari itu digunakan untuk mencari souvenir dan sebuah koper di pertokoan di pusat kota Tel Aviv, karena koper-koper kami tinggal di Negeri Belanda.

Di tahun 1990-an, rupanya di toko-toko masih sulit menemukan orang yang bisa bahasa Inggris, bahkan toko-toko kecil menyapa kami dengan bahasa Yahudi  “syalom”, bukan good morning.

Koper yang baru kami beli kami dorong dengan dua rodanya melewati trotoar menuju Chinese Restaurant di seberang jalan, berpapasan dengan prajurit muda usia laki-laki perempuan menyandang senapan laras panjang yang merupakan pemandangan biasa di antara turis-turis asing, antara situasi perang dan damai. 

Kami juga melewati pemain biola dengan pakaian rapi di trotoar itu dengan case biola terbuka, sebagai wadah pemberian pejalan kaki, persis seperti di negara Barat.

Makan siang di Chinese Food hari itu lezat sekali, dilayani pula oleh seorang pemuda berbahasa Melayu, yaitu  warga Thailand Selatan, yang berbatasan dengan Malaysia bagian utara yang sering bergaul dengan warga Malaysia.

Ketinggalan Pesawat

Seminggu di Tanah perjanjian (waktu minimum untuk memperoleh visa) habis sudah dan waktunya untuk pulang dari Airport Ben Gurion menuju Cengkareng via Airport Schippol, Amsterdam. Dengan santainya kami melenggang tiba di Airport Ben Gurion, nama pahlawan Israel, satu jam sebelum waktu take off, yang di Tanah airku itu biasa.

Staf kounter KLM heran, dengan enteng ia berkata: “You are late, check in closed already,” katanya acuh sambil mengembalikan tiket dan paspor. Padahal dari kaca tembus pandang, dengan mata telanjang kami bisa melihat pesawat KLM belum take off.

Rupanya lain lubuk lain ikannya, lain di Israel, lain di Indonesia yang boleh datang satu jam sebelum take off, tetapi di Israel minimum tiga jam, bukan pula dua jam sesuai standar internasional yaitu untuk tujuan security, mengingat banyaknya musuh Negara ini. 


Di Airport security ketat sekali, mengingat perang besar Irak-Iran baru usai setahun sebelumnya, yang berimbas juga ke Israel, dimana rudal Scud juga jatuh di Tel Aviv. Bahkan Airport Ben Gurion sendiri pernah dibom oleh teroris. Saking telitinya, selang beberapa menit security mondar-mandir lewat di ruang tunggu, melakukan check dan recheck asbak besar, pot-pot bunga dan barang mencurigakan sampai koper koper kami yang terletak agak jauh dari kursi kami duduk, ditanya siapa pemiliknya, dan diminta agar menariknya ke dekat kami duduk.

Karena hari itu pesawat KLM dari Amsterdam – Jakarta sudah di-booking, maka kami minta kounter KLM Ben Gurion mentransfer kami ke pesawat lain Beruntung ada pesawat segera berangkat yaitu El Al, pesawat nasionalnya Israel seperti Garudanya Indonesia.

Lalu kami lalui area security, baterai tustel dikeluarkan, isi dompet diperiksa, bahkan kaos kaki dibuka. Dengan basa-basi security wanita mengantar kami ke ruang tunggu di lantai dua dengan berkata: “Sorry for the inconvenience”, sambil berlalu tanpa good bye.

Dengan berdoa kami boarding, semoga teroris tidak meledakkan pesawat ini, yang sebagian besar penumpangnya adalah warga Yahudi. Dalam pembagian makanan dalam penerbangan, kami kaget karena bangku kami dilewati stewardess dan mendahulukan melayani Rabbi, guru orang Israel dengan jenggot yang dipilin dan topi bundar khas Yahudi, duduk di bangku deretan belakang kami.

Tidak lama pesawat landing di Brussel jam 14.45, karena tidak ada pesawat yang langsung Tel Aviv – Amsterdam dan kami dioper lagi ke pesawat kecil, hanya lima orang penumpang, termasuk kami bertiga. Beruntung kami ada visa Negara Benelux (Belgia, Netherland,Luxemburg).
Dengan hati dagdigdug pesawat ringan ini melayang-layang dihembus angin, naik, turun, miring kiri miring kanan, baru habis berdoa, belum sempat mencicipi snack dan anggur yang disuguhkan dan ditarik kembali, tidak terasa sudah landing dengan selamat di Schippol. Puji Tuhan.

Dengan baggage-tag, kami mencari dan tidak menemukan koper hitam yang kami beli di Israel,  terbawa pesawat El Al atau KLM tidak tahu. Dengan agak kesal dan nada ketus saya berkata kepada pegawai baggage claim KLM : “I don’t believe you can locate my bag”, mengingat pengalaman yang sama terjadi dua minggu sebelumnya, penerbangan dari Olympiaatle, Se ke Los Angeles.

Praise the Lord
, pada hari yang sama tanggal 14 April 1992 dari Tel Aviv kami tiba di Cengkareng bersama dengan koper-koper yang kami titipkan di Holiday Inn Amsterdam, tapi kurang satu koper, yang tertinggal di Israel.


Dengan rasa tidak percaya, keesokan harinya telpon berdering: “Pak koper Bapak yang tertinggal di Tel Aviv bisa diambil”, kata  petugas baggage claim Cengkareng. Segera meluncur ke Bandara melihat  koper baru warna hitam sudah menunggu pemiliknya, setelah dibuka isinya utuh. 

Jika Tuhan berkenan dan diberi kesehatan, suatu waktu kelak saya rindu ingin merayakan hari Natal di Betlehem. Amin.




No comments: