Sunday, April 10, 2016

MIMPI JADI SARJANA TAHUN 1960AN





S
ejak saya lulus Sekolah Dasar di kampung, ada rasa sedih dan senang bercampur jadi satu. Kenapa tidak sedih, karena sebagai anak laki laki tunggal harus meninggalkan Bapak/Ibu dan 5 orang Saudara untuk tinggal di kota melanjutkan sekolah, mulai mandiri mengurus diri sendiri, termasuk mencuci baju sendiri.

Dikatakan senang karena tinggal kost dirumah bagus, pertama di rumah perwira Polisi, Bapak Marbun. Disana telinga saya terbiasa mendengar  berita dan lagu lagu dari Radio Singapura berbahasa Inggris.
Rumah kost kedua, rumah Bapak Situmeang, pengusaha besar toko  sepatu Bata dipusat kota, dimana semua anak anaknya sekolah dan kerja di pulau Jawa. Salah satu adalah Sarjana ekonomi lulusan Universitas Indonesia, yang satu lagi pegawai maskapai penerbangan Garuda dengan seragamnya yang sangat menarik. Saya ingin seperti mereka, menjadi Sarjana.

Bapak saya yang saudagar getah, walau hanya duduk dibangku klas 5 SD, dia mengidolakan Wakil Presiden, Drs. Muh Hatta, kemudian memasukkan saya ke Sekolah ekonomi, SMEP  Negeri di kotamadya Sibolga.
Walau sebagai anak tunggal, merantau meninggalkan orang tua sudah saya lakoni sejak berusia remaja, 13 tahun, yaitu setelah lulus SD tanggal 17 Juli 1956. Pulang kampung hanya sekali atau dua minggu sekali di hari Sabtu dan esok harinya kembali lagi ke kota Sibolga, kota yang sangat indah dan damai ditepian teluk Tapian Nauli.
 

Kota dagang

Sebagai kota dagang diera tahun 1950an, pelabuhan Sibolga termasuk ramai disinggahi Kapal kapal untuk mengangkut barang kebutuhan pokok daerah Tapanuli dan keluar membawa hasil produk unggulan daerah ini, terutama karet. Oleh sebab itu tidak heran jika 3(tiga) Bank besar sudah ada sejak zaman doeloe yai
tu Escompto Bank yang kemudian berganti menjadi Bank Dagang Negara dan sekarang Bank Mandiri.

Dua Bank lainnya yang berlokasi di Jalan strategis yang sama adalah Bank Rakyat Indonesia disebelah Timur dan Bank BNI 1946 disebelah Barat, tidak jauh dari Pelabuhan. Bangunan Bank BNI 1946 ini sangat futuristik dizaman doeloe, seolah mengantisipasi perkembangan ekonomi jauh kedepan. Bahkan hingga saat ini, 6 dekade kemudian, Bangunan tsb tidak ketinggalan zaman.

Sebagai Kotamadya, Sibolga memililki fasilitas hiburan yang memadai, 3 Bioskop besar yaitu Haven Theatre dekat Pelabuhan, Bioskop Horas di tengah kota dan Bioskop Tagor dekat Lapangan Sepakbola. Polisi lalu lintas pun berdiri diperempatan jalan mengatur lalu lintas.

                                                  Sunset dan rumah masa kecil di Sibolga


Disenja hari warga ramai berdatangan ke tepi pantai dekat Pelabuhan mendengar hempasan ombak dan menyaksikan cahaya mentari jingga senja condong keufuk Barat sebelum tenggelam ditelan laut. Untuk mengenang keindahannya  saya menamai blog pribadi saya dengan nama www.jingga-senja.blogspot.com


Tekad dan nekad menuntut Ilmu.
Setelah lulus dari SMEP, kemudian dilanjutkan ke sekolah ekonomi lagi, SMEA Negeri di Padang Sidempuan, 88 km dari Sibolga.
Karena sudah biasa mandiri, tekad untuk pendiknan sangat berapi api, saya pergi sendiri mendaftar naik Bus tanpa diantar oleh orang tua ataupun kakak kakak. Waktu itu saya masih memakai seragam sekolah, celana pendek. Dan untuk pertama kalinya saya menginap di Losmen karena angkutan umum sudah tidak ada lagi disore hari.

Di kota Padang Sidempuan yang sejuk dingin ini, saya beradaptasi dilingkungan dan adat kebudayaan dan bahasa yang sedikit berbeda dengan kota asal saya sebelumnya. Tinggal dirumah Muslim yang taat, oleh sebab itu sudah terbiasa mendengar suara azan danmengaji. Jika saya ribut, teman kost lalu mengaji dan sayapun diam.
Sejak itu, hubungan dengan orangtua juga semakin jarang, karena situasi keamanan yang rawan oleh pemberontakan PRRI.

Setelah mendapat ijazah dengan nilai tinggi, rata rata diatas 7, maka saya dan sahabat satu kelas, Parlaungan Hasibuan bertekad bulat dan nekad ingin kuliah di pulau Jawa. Pilihannya hanya dua yaitu Universitas Gajah Mada, Yogjakarta dan Universitas Indonesia, Jakarta.
 
Berangkat, merantau jauh ke Pulau Jawa diera tahun 1960an adalah suatu keputusan yang sangat berani, karena tidak ada seorang kenalanpun yang akan dituju di Pulau Jawa. Memang begitulah kharakter saya yang suka menjadi risk taker, berani ambil risiko.
Karena bermimpi ingin jadi Sarjana, kami bertekat dan nekad merantau jauh, sekaligus ingin menjadi idola bagi keluarga besar kami dan warga sekampung, yang belum seorangpun yang memperoleh pendidikan Sarjana.

                                        Ijazah Sarjana Universitas Gajah Mada

Jiwa bisnis
Masa muda saya memang sedikit berbeda dari teman teman sebaya di kampung, yang suka bermain. Waktu bermain saya gunakan untuk membantu orang tua berdagang karet, kain, beras dan juga menjadi kernek mobil sendiri ke pasar pasar kampung.
Dari pasar pasar kampung kami beli karet rakyat yang baunya amis, untuk kemudian dijual kembali ke toke getah dikota Sibolga. Dan memang itulah sumber hidup keluarga kami dan biaya kuliah saya. Dari sinilah jiwa bisnis saya dimulai.
Di samping itu, untuk menunjang kelancaran usaha sendiri dan untuk mendapatkan tambahan penghasilan, kami mempunyai mobil tua  sejenis opelet film Si Doel Anak Betawi. Saking hobbynya saya ikut mobil ini, Guru agama, Pak Pandiangan memanggil saya kedepan kelas dengan marah besar, berkata: “Terus saja kau engkol mobil”, katanya sambil memutar mutar telunjuk jarinya di dahi saya. Mobil diengkol karena belum ada starter zaman itu.

Beberapa tahun kemudian, oplet ini diganti dengan Bus Antar Kabupaten sebelum bergabung dengan Bus berbadan besar dengan trayek panjang 365 km one way, Sibolga - Medan.
Jenis usaha tidak berhenti sampai disitu, tetapi juga merambah ke sektor produksi karet rakyat, memberi nilai tambah. Untuk itu kami menjalankan sebuah fabric sederhana yang dikenal sebagai “Rumah Asap” untuk memproses jenis karet rakyat menjadi karet kwalitas eksport.

Harga eksport kami dapatkan s
etiap jam 19.00 dari warta beritta RRI Stasiun Sibolga, termasuk Harga karet  dengan sebutan  Rubber Smoked Sheet (RSS I atau II) franco Pelabuhan Belawan, Medan. Harga tsb untuk menentukan harga pembelian karet rakyat.

Mimpi jadi Sarjana
S
ebagai saudagar karet, sebenarnya Bapak lebih senang saya tidak melanjutkan sekolah dan mempersiapkan saya, anak tunggalnya, menggantikannya kelak.
Gaji sebulan bisa kita dapat dalam sekali jualan” katanya suatu waktu mempengaruhi niat saya agar jangan melanjutkan sekolah lagi ke SMEAN di kota lain.
Ibu mendukung Bapak dengan berkata :”Kita akan rindu sama kau” katanya denan wajah sendu, karena saya anak laki laki tunggal, mengingat saat itu thn 1959 - 1962 adalah masa perang dengan PRRI, Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia.

Selama sekolah di SMEA saya dan teman sekelas, Parlaungan Hasibuan sepakat ingin melanjutkan kuliah ke Jawa. Untuk itu kami tiap hari belajar bersama dirumahnya yang sepi di kampung Marancar, karena rumah itu ditinggalinya sendirian.  Usaha kami tidak sia sia dengan memperoleh ijazah dengan nilai tinggi, rata-rata di atas 7.
 
Dengan berbekal nilai ijazah yang tinggi, memenuhi syarat minimal pendaftaran di Fakultas Ekonomi UGM, disamping lulus test masuk. Krena sudah diterima, maka kami memilih tidak pergi lagi ke Universitas Indonesia di Jakarta karena tahu Universitas Gajah Mada, termasuk Perguruan Tinggi bermutu juga.

Sejak saat itu hari hari kami isi dengan kuliah dengan naik sepeda ke bangunan yang megah, kampus Fakultas Ekonomi di Bulaksumur. Sekali
seminggu kuliah juga di Sitihinggil, Istana Sultan di Alun Alun Utara yaitu kuliah gabungan, mata kuliah Hukum dan Sosiology oleh mahasiswa dari tiga Fakultas (Hukum, Ekonomi dan Sosial Politik).


Pembentukan karakter.

Tinggal dan hidup selama 6 tahun di rumah kos di Yogyakarta termasuk dimasa-masa sulit  peristiwa G30S/PKI, membentuk karakter baru, bergaul dengan berbagai suku dan budaya serta masyarakat Yogjakarta menjadi modal utama dalam membina hubungan, networks dalam karir dan bisnis dikemudian hari.

Kost pertama adalah di rumah besar, keluarga ningrat yang tinggal dirumah utama. Saya selalu sekamar berdua dengan teman sekelas dari SMEA . Disana saya bertemu dengan trio sekawan mahasiswa Fakultas Geologi Univ GAMA, yaitu Conradin Siahaan, Bonar Situmorang dan Gibson Simanjuntak, ketiganya menjadi Ir. Nama yang disebut terakhir, adalah paman kandung istri saya. Di rumah kost yang sama, ada juga beberapa orang dari Palembang dan Sumatera Barat, dengan bau harum masakan yang menggoda selera.
Tempat kost kedua, ± 3 km ke utara Tugu, setelah gedung STM Negeri, yang dikenal dengan kampung Petinggen. Tinggal dirumah berteras terbuka dan angin semilir.  Sering saya disuguhi sarapan gudeg campur nangka warna cokelat, krecek kuning dan suwir suwiran ayam rebus, yang dijual oleh  si Mbok yang duduk di pinggir jalan berdebu. Sampai kini makanan tsb menjadi favorit saya.
Selama kost dirumah Pak Slamet, Ketua R.T ini saya banyak belajar bicara bahasa Jawa ditambah lagi dengan hobi saya membaca novel berbahasa Jawa, yang masih jelas dalam memori saya adalah novel karangan Ani Asmoro, disamping mengikuti sandiwara dari RRI stasiun Yogjakarta.
 
Tempat kost terakhir, tidak jauh di sebelah Barat Pasar Bringharjo. Disini kami tinggal dengan dua mahasiswa Semarang, satu jurusan Jurnalistik dan Sdr.Sudibyo, mahasiswa kedokteran dengan tengkoraknya yang menyeramkan diwaktu malam.
Saya satu kost dengan Sdr. Sofyan Efendy asal Pulau Bangka, yang kelak menjadi Rektor UGM dan Menteri Pemberdayaan Apparatur Negara.
Di lantai bawah ada tiga mahasiswi Universitas Islam Indonesia (UII) dari Surakarta.  Dua orang menikah dengan alumni Kadet Akademi Angkatan Udara Yogjakarta, AAU dengan seragam coklat bergaris dan tanda pangkat calon Letnan yang gagah-gagah. Kami sering pergi kuliah dengan naik sepeda beriringan, termasuk dengan  mahasiswa/i UII yang tinggal di Kauman, pemukiman khusus Muslim, dekat alun-alun Utara.

Gerakan Mahasiswa
Sejak masa pelonco sebelum tahun 1965, pada umumnya mahasiswa baru akan memilih masuk salah satu organisai mahasiswa. Saya masuk Gerakan Mahasiwa Kristen Indonesia, GKMI yang dikenal damai, tidak bergejolak.
Segera setelah pecah G.30.S/PKI saya pindah,bergabung dengan organisasi Mahasiswa Pancasila, MAPANCAS, onderbouw partai Ikatan Partai Kemerdekaan Indonesia, IPKI.

Setelah G30S,
saya ikut aktif berperan melawan komunis di Yogjakarta termasuk dalam  pawai besar besaran sepanjang jalan utama Malioboro menuju Alun alun Utara. Disana terlibat langsung lempar-lemparan batu dengan mahasiwa Komunis dan mahasiswa GMNI, yang dikala itu dalam posisi diragukan keberfihakannya karena posisi Presiden Soekarno yang diketahui dekat dengan PKI.
Di malam kelabu tanggal 30 September 1965 itu, saya buta, tidak tahu sedikitpun apa yang sebenarnya sedang terjadi. Sehabis nonton film di bioskop Ratih, Tugu dengan putri Pak Slamet, kami langsung pulang ke rumah. Pak RT berkata dengan emosi tinggi:” Cepat masuk rumah”, katanya. Rupanya pada hari itu sedang terjadi kudeta oleh PKI dengan membunuh beberapa orang Jenderal, yang menjadi berita hangat malam itu hingga pagi harinya  dari Radio RRI Jakarta.

Dimasa masa transisi itu kami bersama teman teman Mahasiswa sepakat menerbitkan Koran Mingguan “Mahasiswa Indonesia” edisi Yogjakarta dipimpin oleh Mahasiswa Fakultas Sosial politik UGM, Sdr Harefa dengan donator pengusaha dari Semarang.
Mingguan Mahasiswa Indonesia merupakan minguan yang paling berani dan bacaan wajib para Mahasiswa masa itu.
Talenta menulis saya  mulai sebagai Wartawan di mingguan ini yang kemudian mengantar saya menjadi wartawan di Harian Suara Karya, Jakarta.

Setelah menghabiskan hidup 6 tahun penuh di Yogjakarta, saya menjadi kharakter manusia Indonesia baru, bermodalkan Ijazah S1. Berakhirlah babak pendidikan dan dimulai pula  ajang perburuan lapangan kerja di Ibukota.





                                      Kampus Fak.Ekonomi, Bulaksumur, Yogjakarta

No comments: