Sunday, April 10, 2016

MELAYANI SESAMA UMMAT/JEMAAT




                                             Pendeta basuh kaki jemaat

Anak SM baca puisi saya pd Natal


Sebagai mantan Bankir, maka talenta saya melayani Ummat/Jemaat tidak lepas dari pengalaman saya di Bank melakukan Perencanaan, Pengorganisasian, Pelaksanaan dan Pengawasan.
Perencanaan program dan Anggaran ketika saya menjadi Kepala Bidang Perbendaharaan. Pengorganisasian, ketika saya menjadi Ketua bidang Kesaksian dan Pelayanan. Pelaksanaan ketika menjadi anggota Majelis Jemaat selama 7 tahun. Terakhir melakukan Pengawasan ketika saya menjadi anggota dan Ketua BPK, Badan Pengawas Keuangan di tingkat Klasis Jakarta 1, wilayah Jakarta – Bandung.

Pelayanan.
Saya akan mulai pelayanan saya sebagai anggota Majelis Jemaat baik di Gereja GKI Kwitang, Jakarta Pusat, di Lingkungan II, di Pos Tegal Alur, Jakarta Barat dan Pos Kapuk Muara di Jakarta Utara.

Se
cara kasat mata, setiap hari Minggu kebaktian di gereja GKI, Jl. Kwitang No. 28 Jakarta Pusat selalu ramai pengunjung. Kebaktian berlangsung 4 kali, jam 6.30 dan 08.00 pagi, 17.00 sore dan 19.00 malam.
Khusus kebaktian kedua, jam 09.00 pagi, selalu full house, sekitar 700 pengunjung, memenuhi bangku bangku panjang, termasuk dibalkon menghadap mimbar dan dikursi kursi warna merah darah  di Gedung pertemuan tanpa AC, yang mengikuti kebaktian melalui layar multi media, dengan tiga kipas angin diplafond setinggi 12 meter itu. 

Jemaat Tegal Alur @Natal bersama

Mereka datang dengan wajah senyum dengan pergumulan masing masing, duduk dengan khusuk mengangkat kidung dengan penuh penghayatan. Ketika khotbah, mereka tenang meyimak inti khotbah dan pulang dengan suka cita membawa berkat  yang memberi harapan pertolonganNya dalam kehidupan nyata.   

Kebaktian sekitar 90 menit itu diakhiri dengan amin…amin…amin….. dan pengunjung berbondong bondong pulang membawa berkat memasuki kehidupan sehari hari.
Sebagian bergegas memilih keluar dari sembilan pintu samping kiri, kanan dan pintu utama, tidak sabar mengantri memberi salam “Selamat hari minggu” kepada dua orang Majelis (Pendeta dan Penatua) yang menanti uluran tangan pengunjung di pintu utama.

Mereka menuju parkir mobil yang berjejer dikedua sisi jalan, mulai dari Toko Buku BPK sampai ke Toko Buku Gunung Agung. Sebagian menghentikan taxi, Bajaj, Bus Umum atas Busway, persis didepan Gereja. Pada saat keluar jalanan umum itu agak macet untuk sementara.
Tidak demikian halnya, kami puluhan para Penatua atau Majelis Jemaat, masih melanjutkan pelayanan lain seperti menghitung uang kollekte persembahan jemaat, yang diedarkan pada saat kebaktian berlangsung. Uang tersebut dituangkan dari kantong hitam/merah kedalam dua ember plastik besar berwarna hijau.

Ada juga Majelis  yang
melayani “percakapan” dengan pasangan calon pengantin, percakapan dengan jemaat yang aktestasi, akan pindah ke Gereja lain atau calon jemaat baru, latihan Paduan suara, dan berbagai pelayanan lainnya.
Sebagai konsekwensinya,
sebagian Majelis baru bisa pulang jam 11.00 – 11.30. Saya sendiri biasanya baru bisa meninggalkan Gereja setelah serahterima kas dengan pegawai Kantor Gereja sekitar jam 11.30.

Diskusi lagu2 @Pos Kapuk Muara

Kegiatan di belakang layar sebenarnya cukup kompleks dan khas, versi GKI Kwitang, berbeda dengan aktivitas Gereja-gereja lain. Jika Gereja lain hanya membuka Gereja Gereja kecil yaitu 1-2 Pos Pelayanan atau Bakal Jemaat, maka GKI Kwitang lain lagi.

Gereja GKI Kwitang sendiri
sampai melayani 8 Pos dan 1 Bakal Jemaat yang tersebar di Jabotabek yaitu: 1.Cabang Cendrawasih di Tanah Abang, Jakarta Pusat, 2. Pos Cililitan, di belakang Gedung BAKN, Jakarta Timur, 3. Pos Kapuk Muara, Jakarta Barat, 4. Pos Tegal Alur, Cengkareng, Jakarta Barat, 5. Pos STIP Marunda, khusus taruna/i pelayaran di Jakarta Utara, 6.Pos Sindangkarsa, Kabupaten Bogor, 7. BAJEM, Bakal Jemaat Pos Jatimurni, Pondok Gede, Bekasi,  8. Pos Wisma Jaya, Bekasi Barat, dan terakhir, 9. Pos Karawaci di Perumahan LIPPO Karawaci, Tangerang.
Dalam organisasi Gereja kami terdapat dua kutub yang berbeda, disatu sisi, pihak Majelis Jemaat  berargumen sulitnya mencari SDM, Calon Penatua/Majelis ataupun aktivis untuk mengisi formasi di Komisi, Panitia, Tim dan Badan Pelayanan lainnya. Sedang difihak lain, potensi jemaat cukup melimpah, sekitar 6600 orang.

S
ebenarnya banyak diantara jemaat/simpatisan yang rindu, ingin berpartisipasi baik tenaga, waktu, pikiran, doa dan dana. Hanya saja belum tahu jalan atau prosedur, atau ada rasa segan. Bahkan beberapa simpatisan ingin ikut aktif melayani walaupun belum menjadi anggota. Informasi ini saya peroleh dari dua kali acara pertemuan khusus antara Majelis Jemaat dengan para Simpatisan.
Sebagai contoh, saya sendiri mengalaminya. Sebagai jemaat, saya tidak pernah diundang dan didekati oleh para Majelis lingkungan sewaktu kami tinggal di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat. 

Gereja GKI Kwitang

Baru 12 tahun kemudian, dua orang Majelis Lingkungan II, Pnt.Haryono Sukarto dan Pnt.Untari Takain, datang di rumah kami untuk meminta kesediaan saya menjadi anggota Majelis. Mereka baru mengenal saya setelah saya aktif dalam Paduan Suara pria.

Dalam percakapan tsb., semula saya masih ragu, karena belum paham fungsi sebagai Majelis. Tetapi keragu-raguan saya kemudian didorong oleh istri saya dengan berkata berterus terang : “Agar suami saya lebih mengerti firman Tuhan”, katanya. Memang saat itu, saya akui istri saya lebih setia  membaca Alkitab dari saya, sampai-sampai halaman-halaman Alkitabnya lebih indah dari aslinya, full color.

                                         Paduan suara Lingkungan II

Akhirnya tepat pada hari paskah 2002 pada kebaktian jam 09.00, saya dan puluhan Majelis lain ditasbihkan dan berjanji dihadapan Tuhan dan disaksikan oleh Jemaat menerima tugas sebagai pelayan jemaat selama tiga tahun, sampai dengan Maret 2006. Pelayan sesame ini volunteer, tanpa mendapatkan imbalan apapun.

Pada tahap tahap awal saya melakukan beberapa kali kesalahan dalam pelayanan seperti kejadian kejadian berikut ini.
Pertama,
salah berputar dalam membagi anggur dalam perjamuan kudus.
Kedua,
lupa mengundang jemaat untuk berdiri pada waktu mengawali kebaktian. Ketiga, grogi memimpin doa persembahan dan doa awal sebelum kebaktian diruang konsistori,
Keempat,
merasa canggung waktu memimpin rapat untuk pertama sekali sebagai Ketua Panitia HUT.GKI ke 75 dan sebagai Ketua Bidang Perbendaharaan. Pada akhirnya learning by doing dengan sungguh sungguh, setelah menguasai medan, percaya diripun muncul kemudian.

                                        Pelayanan ke Desa Sampetan, Salatiga

Seiring dengan berjalannya waktu disertai dengan siraman ayat firman Tuhan yang terus-menerus, bak titik titik air yang mengukir batu karang, akhirnya baru terkuak, bahwa ladang memang sangat luas dan sudah menguning siap untuk dituai, tetapi sayang penuainya sedikit (Lukas 10: 2).

Akhirnya, saya mengambil sikap mengikut suaraNya,  melayani di komisi manapun saya akan rela untuk mencobanya, who knows talenta saya ada di situ. Seperti nasehat rasul Paulus dalam Galatian 6: 4b “Make a careful exploration of who you are and the work you have been given, and then sink yourself into that.”

Konferensi Pekabaran Injil GKI Jateng

Kehidupan bergereja
Refleksi jauh ke masa silam, semasa kanak-kanak hingga usia remaja, saya termasuk jarang ke gereja, sama dengan anak sebaya di kampung. Alasannya, jarak rumah ke Gereja cukup jauh, dengan berjalan kaki ke HKBP Rampa, Kecamatan Sitahuis, yang jaraknya ± 4 km. Di samping itu, peran para orang tua dikampung kami kurang mendorong dan tidak menjadi teladan. 
Baru di usia 14 tahun, ketika kami pindah ke kota Sibolga. Jarak rumah ke Gereja hanya sekitar 500 m, lonceng Gereja terdengar nyaring, sehingga frekuensi  ke Gereja meningkat. Kegiatan Gerejawi di luar hari Minggu, belum saya kenal di kala itu. Nuansa hari Minggu menjadi hari istimewa di Sibolga, persis seperti suasana hari Minggu di kota-kota di NTT, jalanan didepan rumah kami akan ramai sebelum dan sesudah kebaktian.

Latihan koor sebelum pelayanan


Pagi menjelang siang, jemaat sudah diingatkan sampai tiga kali melalui lonceng yang berdentang di menara, ditarik dengan tali-tali besar dari bawah. Dentangan lonceng
ini sangat nyaring berbunyi teng…..tang…..teng…..tang, karena jaraknya yang begitu dekat. Jika tidak terhalang pohon dan Sekolah Teknik Ambak Schoel, Gereja HKBP Sibolga julu bisa kelihatan dari rumah kami.
Di pagi Minggu dengan sinar mentari cerah menyinari,  saya dan tetangga, tua muda dengan pakaian rapi, disetrika, sepatu disemir, rame rame berdampingan melangkah bersama ke hulu mengapit Buku Nyanyian rohani bahasa Batak tanpa membawa Alkitab, karena di masa itu, tahun 1950an belum zamannya ke Gereja membawa Alkitab.
Kebiasaan rutin ke Gereja kemudian terbawa juga ke kota muslim di selatan, kota Padang Sidempuan. Bahkan, malam Minggu pun tidak memilih nonton bioskop, tetapi ikut kebaktian di HKBP Angkola berbahasa Batak Mandailing yang halus, jauh berbeda dengan bahasa Batak Toba yang logatnya keras.

Kebaktian di GKI Kapuk, Jakbar

Firman Allah yang disemaikan di usia remaja, kemudian dari masa ke masa semakin bertumbuh disirami kegiatan pemuda HKBP Kotabaru, Yogyakarta, Paduan Suara (PS) pemuda HKBP Grogol, Jakarta Barat pimpinan ahli bedah dr. Sidabutar. 
Kegiatan memuji Dia tidak menjadi putus waktu saya bekerja di Jambi. Hanya saja tidak lagi latihan koor pemuda tetapi bersama PS Ama, grup bapak bapak di Gereja HKBP Jambi, walau saya masih jomblo ditahun 1969.
Di lingkungan Paduan Suara Ama di Jambi ini saya merasa welcome dan at home. Situasi, suasana dan nuansa latihan di rumah warga HKBP dengan kebudayaan Batak banget, yang belum pernah saya alami di masa kecil, karena sejak remaja/SLTP saya sudah merantau meninggalkan kampung kelahiran.



 Vocal group Pemuda Kapuk

Dengan demikian dari kecil hingga usia 30 tahun, ajaran Gereja HKBP yang reform, sudah menjadi bagian dari kehidupan saya. Ajaran ini kemudian tetap saya anut walau sering berpindah kota, gonta
ganti nama Gereja, tetapi tetap dalam satu asas, Gereja reform.
Di Kebumen, Jateng, kami ikut di Gereja GKI di mana dua anak sulung dan nomor dua, murid TK Katholik dibaptis. Sedang selama di pulau Timor, NTT hampir 5 tahun, kami bergereja di Gereja yang seazas juga yaitu GMIT, Gereja Masehi Injili di Timor yaitu di Gereja Oeba, Kupang, yang  hanya berjarak 100 meter dari rumah kami di straat A. Di kota Atambua ikut GMIT Polycarpus, disana anak ketiga dan yang bontot dibaptis di usia balita. 

Retreat di Gadog, Bogor
 
Selama di Kebumen maupun di Timor, kami memang tidak ikut menjadi aktivis Gereja, tetapi kami jarang absen kalau hari Minggu.
Baru setelah kami kembali lagi ke Jawa, sedikit demi sedikit mulai ikut aktif berdiakonia, mendampingi penginjil ke kota-kota kecil seperti Juwana di Pati, Sampetan di Boyolali, Salatiga, Kopeng dan lain-lain di Jawa Tengah.

Khusus ke Sampetan, Boyolali, saya bersama Dr. Lukas dan istrinya Penginjil, Ibu Lukas bersama-sama nasabah inti BRI Kudus, pengusaha besar percetakan PT. PURA, Bapak Jacobus Busono bersama 5-6 orang staf inner circle-nya membantu membangun Gereja yang roboh karena angin puting-beliung, memberi pengobatan cuma-cuma dan memutar film. 

Paskah di GKI Kwitang

Sedang di kota
Kudus, kami mengikuti Gereja Muria Kudus, Gereja seajaran dengan GKI. Di Surabaya, rumah dinas kami terletak di Jl. Diponegoro No. 73, oleh sebab itu, kami memilih bergabung dengan GKI Diponegoro.

Sejak station menetap di Ibukota sampai 20 tahun, saya memilih bergabung dengan GKI Kwitang, Jakarta. Jatuhnya pilihan di Gereja ini karena letaknya sangat strategis dan jaraknya relatif dekat dengan kediaman pertama kami, di mess BRI di Jl. Proklamasi, persis sebelah pagar Sekolah Tinggi Teologia Jakarta Pusat.
Tinggal di mess BRI hanya 1 tahun lebih, kami pindah jauh di Kelapa Gading di Jakarta Utara, sekitar 10 km jaraknya ke Kwitang, tetapi saya tetap setia menjadi anggota jemaat GKI Kwitang sampai saat ini.
                                  Pdt.Agus M menyerahkan pohon mangga ke Walikota Jakpus

Semenjak tahun 1987 ke atas, setiap Minggu pagi, biasanya saya dan istri mengikuti kebaktian kedua jam 08.30 sambil menunggu dua anak SD, anak ketiga dan si bungsu mengikuti kebaktian Sekolah Minggu di Pos Jerusalem di Gedung PSKD seberang Gereja, sedangkan si sulung dan anak kedua ikut kebaktian remaja di lantai 3.
Tetapi semenjak anak mulai remaja, pemuda, tinggallah saya dan istri dengan setia ke Gereja, tetapi beralih  pada kebaktian ketiga, sore hari pukul 17.00.
Bangku baris ke-3-4 dari belakang tempat biasa duduk, menjadi saksi bisu kehadiran kami selama puluhan tahun. Tak pernah ada sapaan dari Majelis atau Pendeta, kecuali di suatu ketika saya terkejut, Pdt. Daud Palilu (Alm.)  dari mimbar meminta kepada Majelis yang sedang bertugas berkata : “Tolong tanyakan, siapa nama Bapak itu”, katanya sambil menunjuk ke arah saya. Rupanya dia sudah familiar dengan wajah saya dan istri. 
                                     Pelayanan di pos GKI Tegal Alur, Jakpus

Dengan kaget dan setengah berbisik saya menjawab, tetapi Majelis menyebut nama saya dengan lantangnya. Pak Daud langsung menyambar: “Situmeang dari Sipoholon ya?” katanya dengan mantap dan yakin.

Sipoholon, Tarutung, Tapanuli Utara  adalah daerah asal muasal nenek moyang marga Situmeang. Disana ada satu desa bernama Desa Situmeang, suatu wilayah pinggiran kota Tarutung. Kota bersuhu dingin ini menjadi terkenal di kalangan Gereja karena disana ada pusat pendidikan dan Kantor Pusat Gereja HKBP di Indonesia.
Kesetiaan kami mengikut DIA menjadi teladan bagi anak anak sejak usia BALITA dan menjadikan mereka dengar dengaran dan takut akan Tuhan.

                                                  Puisi di Gereja POUK Klp Gading, Jakut

No comments: