Saturday, April 9, 2016

PERJALANAN KARIR DAN BISNIS




                                                              Training di Manila



P
ada awal era Orde baru keadaan ekonomi bangsa relatif sangat sulit, oleh karena itu Pemerintah baru sedang melakukan deregulasi, perombakan besar besaran. Rekrutmen pegawai Pemerintah juga distop untuk sementara waktu. Oleh karena itu terpaksa bekerja di sektor swasta. Untuk sementara waktu saya bekerja dibidang penerbitan.
Professi berikutnya masih di sektor swasta di pabrik karet sebelum berakhir di professi tetap di bidang Industri Perbankan, seperti kisah berikut.

Penerbit Majallah
Syukur, saya mendapat job menggantikan seorang teman di usaha keluarga, percetakan majalah bulanan bernama Tjakalsari, sejenis Intisari, milik Pak Komar, Kolonel AD yang masih aktif di Humas Departemen Hankam.

Beruntung, jenis pekerjaan ini cocok dengan talenta saya, yang gemar membaca dan menulis sejak masa kuliah. Waktu itu bacaan favorit saya adalah majallah Intisari dan novel roman berbahasa Jawa karangan Ani Asmoro, sambil belajar bahasa Jawa.
Sayang, yang menjadi goal pak Komar, ingin mendapatkan lisensi pencetakan Readers Digest edisi Indonesia kandas. Baru 30 tahun kemudian, tepatnya tahun 2005, Readers Digest edisi Indonesia terbit oleh penerbit lain.

Di majallah Tjakalsari, saya benar benar mendapat tantangan besar dan harus bekerja full time. Dalam prakteknya sayalah yang mengelola majalah ini. Mulai dari mengumpulkan bahan tulisan, mencari translator, mencari cover, edit/koreksi langsung di Percetakan Negara, Rawasari, distribusi ke toko toko buku seluruh Indonesia, sampai pencairan Wessel pos hasil penjualan dari luar kota.

Pekerjaan di media ini yang sempat terputus 5 tahun, bersambung kembali tahun 1973 ketika diterima menjadi wartawan ekonomi di harian Suara Karya, yang berkantor di Jl. Tanah Abang II, Jakarta, milik Partai Golkar. Professi wartawan ini hanya bersifat sementara, beberapa bulan setelah meninggalkan fabrik karet sambil melamar pekerjaan dibeberapa Bank di Ibukota.

Karena pengalaman dibidang bisnis karet, suatu ketika, dalam rapat Redaksi Suara Karya, saya  memperoleh predikat “Best News” untuk minggu itu dari Pimpinan Redaksi Bapak Assegaf, karena tulisan saya tanggal 4 Oktober 1973  menjadi Headline  dengan judul “Para Eksportir karet Keberatan tentang Harga Patokan Ekspor”, untuk periode 1 Okotber – 31 Desember 1973.

Esok harinya, tanggal  5 Oktober 1973, Presiden Soeharto kontan memerintahkan Menteri Perdagangan, Radius Prawiro mencabut harga patokan yang telah ditetapkan Pemerintah tersebut.
Pengalaman berikutnya  adalah peliputan peristiwa Malari 1974,  demonstrasi mahasiswa anti produk Jepang yang mengepung Istana, sewaktu Perdana Menteri Tanaka berkunjung ke Indonesia.
U
ntuk mencapai Istana, PM Jepang itu terpaksa naik helikopter. Dengan penuh rasa khawatir, saya ikut meliput demonstrasi itu dengan memakai produk Jepang juga yaitu sepeda motor merk Honda milik harian Suara Karya.
                                                      S.K  sebagai Factory manager
Industri Karet
Professi kedua yang saya masuki sejak tanggal 1 Desember 1970 juga sesuai dengan pengalaman saya sejak masa kecil dibidang karet. Saya diterima bekerja di industri karet Crumb Rubber, PT. Panatraco milik Bapak Hutabarat yang berkantor di Jl. Menteng Raya, Jakarta, Kantor Departemen Perdagangan sekarang.

Sebelum pabrik berdiri di kota Jambi dan Rantauprapat, saya dan beberapa orang dari beberapa perusahaan sejenis di Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan dan dari Birma mengikuti training langsung di pabrik Crumb Rubber di sekitar Port Dickson, Malaka, Malaysia, milik Guthrie Sdn. Bhd.

Masa training dilaksanakan tidak lama setelah kerusuhan rasial dan bulan puasa awal tahun 1971 sehingga untuk masuk restoran dipinggir laut Port Dickson harus menunjukkan paspor dulu membuktikan bahwa saya bukan muslim. Sambil makan, dikerubungi para pemuda keturunan  Jawa, karena senang mendengar “aksen” saya, persis seperti kita senang mendengar logat Melayu yang lucu. 

Perjalanan ke Malaysia awal tahun 1971 dengan stop over di Singapura ini merupakan perjalanan perdana ke luar negeri, dilepas di Bandara Kemayoran oleh Sdr. Meiman Situmeang. Sampai diairport Changi Singapura saya gelagapan ditanya dalam bahasa Inggris oleh petugas loket Singapore Airlines. Demikian juga ketika bertamu ke Kantor Guthrie Sdn Bhd di Kuala Lumpur, masih tetp kaku dan malu berbahasa Inggris.

Berselang 20 tahun kemudian, saya mengunjungi Port Dickson lagi, tetapi kali ini sebagai Bankir, menjadi tamu Bank Pertanian Malaysia bersama 21 orang Kepala Bank BRI Unit yang berprestasi dari seluruh Indonesia yang saya pimpin.
Hasil training dari fabrik karet Malaysia ini kemudian saya praktekkan selama lebih dari dua tahun di Rantauprapat, Sumatera Utara, di mana saya, sebagai executive muda berusia 27 tahun dipercaya menjadi orang nomor satu, Factory Manager, membawahi 5(lima) Kepala bagian yang jauh lebih senior (40 – 50 thn) yaitu kepala bagian Pembelian, Produksi, Teknik, SDM dan Laboratorium.

Sebagai ekonom jurusan Perbankan, memimpin sebuah pabrik yang tergantung pada bahan baku karet rakyat tidaklah mudah. Mengapa ? Karena kualitas bahan baku hasil rakyat bermutu buruk harus memenuhi kontrak/LC yg ditanda tangani membutuhkan kualitas ekspor SIR (Standard Indonesia Rubber) antara lain untuk membuat ban pesawat terbang atau ban mobil balap.

Oleh sebab itu, saya bekerja extra keras, mulai dari pembelian, pemilihan bahan baku, pengawasan proses produksi dan memonitor menit permenit alat pengering (dryer) otomatis sampai ke quality control di laboratorium pabrik, milik sendiri.
Untuk mendapatkan kualitas eksport  (SIR) 5, bahan baku karet rakyat perlu di blending, dicampur dengan sheets atau getah angin kwalitas kelas I juga. Untuk maksud tersebut, kami terpaksa membeli sheets dari Sibolga, sejauh 200 km lebih.

Y
ang sangat berkesan adalah penjualnya, tidak lain adalah ayah kandung saya sendiri, anak membeli karet dari ayah sendiri.
Kejadian seperti ini cukup langka dan  tidak mungkin dilupakan selama hayat dikandung badan. Secara jujur, tidak ada KKN, semua harga pasar dan pembelian dilakukan oleh Bagian Pembelian.
 
Demikianlah kisah dan memory berkarir di industri karet, walau sudah menduduki posisi bagus, income relatif tinggi, fasilitas rumah, mobil dan makan gratis 3 x sehari, tetap tidak cukup kuat menahan saya tetap bekerja di pabrik jauh dari kota besar.

Karena hasrat ingin maju dan usia relatif masih muda, dibawah 30 tahun dan demi hari depan dua anak yang masih balita, kami bulat tekad dan nekad berangkat ke Ibukota, dan menganggur.
 
Sebelum berangkat, kami pamit dulu kepada Bpk. Pasaribu, Kepala Staf Kodim Kabupaten Labuhan Batu, Rantau Prapat. Dengan rasa bingung tidak percaya, dia bertanya  : “Apakah kalian sudah gila, meninggalkan pekerjaan bagus dan pergi tanpa tujuan?. Dengan geleng kepala dia menjulurkan tangan dengan mengucapkan “Selamat jalan”.

Kami bersama dua Balita berangkat dari pelabuhan Belawan membawa kasur dari kapuk, dengan kapal barang kecil diombang ambingkan gelombang dengan harapan Tuhan akan menunjukkan padang rumput nan hijau.
Tibalah kami dirumah paman istri, Edy Simanjuntak di Jl. Raden Saleh II, depan RS.Cikini dengan menumpang bemo dari Tanjung Priok dan…..menganggur.

Sambil mencari pekerjaan, teman teman ex lulusan Universitas GAMA Yogjakarta mengajak bergabung menjadi wartawan di Harian Suara Karya untuk beberapa bulan lamanya.
Good bye kepada fasilitas rumah dan mobil perusahaan di Rantau Prapat dan welcome Sepeda motor Honda dan tinggal di rumah kontrakan kecil di gang sempit di Jalan Saleh II, depan rumah Sakit Cikini, Jakarta Pusat.

Inilah perjalanan awal karir dimasa muda sebelum akhirnya memasuki dunia yang baru, Industri  Perbankan.

BRI Cabang Kupang


Industri Perbankan
Niat dan nekad serta doa, akhirnya berbuah manis ketika lulus test thn 1974, masuk menjadi karyawan Bank BRI, sesuai dengan bidang pendidikan, Fakultas ekonomi jurusan Uang dan Bank.
Salah satu program Bank BRI tahun 1970an adalah rekruitmen calon calon pemimpin BRI masa depan yang diberi nama “Calon Wakakanca”, (Wakil Kepala Kantor Cabang), suatu program yang sangat menggiurkan yaitu untu mengisi lowongan di Kantor Cabang yang tersebar dipelosok Tanah Air.

Step berikutnya jika berhasil lolos masa job training, diharapkan pada waktunya akan menduduki kursi empuk Kepala Cabang atau Kepala Bank, istilah orang awam.
Saya masuk angkatan kedua/terakhir tanggal 1 February 1974  dengan upah bulanan  - bukan gaji - sebesar Rp 31.960,- ,tanpa tunjangan lain lain walau sudah punya dua anak. Suatu jumlah yang sangat kecil dibandingkan dengan gaji sebagai factory manager.

Masa job training berlangsung relatif singkat, hanya dua tahun lebih, dimulai beberapa bulan di Biro Kredit Tani dan Nelayan, Kantor Pusat Bank BRI di Jakarta, sebelum ditempatkan di dua kantor cabang di Jawa Barat, yaitu Kantor Cabang Subang dan Bekasi.
Job training di Cabang Subang yang sejuk itu sangat berkesan karena saya belajar mengerjakan tugas karyawan biasa sebagai kasir, pembukuan mesin  non komputer, transfer uang sampai penagihan kredit.
Selain itu, Kepala Cabang, Bapak Yoyo Kurdia menugaskan saya cukup lama, mengikuti rombongan Bupati, keliling dan menginap di Desa Desa di Kabupaten Subang dalam rangka penyuluhan program kredit pertanian, Bimbingan Masyarakat (BIMAS).

Setiap pagi, semua Kepala Desa dikumpulkan di kantor Kecamatan dan Bupati langsung menugaskan saya berdiri didepan papan tulis hitam, mencatat data data kredit per desa sekaligus memperkenalkan  nama saya, yang agak lucu ditelinga warga Subang, Jawa Barat..
 
D
engan berseloroh Bupati menyebut nama saya Si Kucing air” yang  dalam bahasa Sunda, Situ artinya air atau danau dan Meong artinya kucing.  Semua Kepala Desa kala itu tertawa tawa.
 
Job training kedua di Cabang Bekasi tidak begitu beda, dimana Kepala Cabang, Bapak Suratno menunjuk saya menjadi anggota Tim penagihan tunggakan kredit BIMAS bersama anggota lainnya, perwakilan dari Pemda, Kejaksaan, Pengadilan, Polisi. Hampir semua desa di Kabupaten Bekasi (termasuk Cilincing) sudah saya kunjungi tahun 1976 sampai ke pelosok-pelosok melalui jalan tanah, becek, berdebu dan sering membawa pulang rambutan dari perangkat Desa.

Sementara job berlangsung, anak ketiga, Peggy lahir 21 Januari 1976 di RSU Bekasi, hanya ± 100 m dari paviliun kontrakan kami yang kecil, 1 kamar tidur dan ruang tamu kecil di alun alun yang asri, tenang dan damai.
Setelah kontrak paviliun di Bekasi habis, kami pindah ke perumahan kecil complex  P.N. Garam, di Jl. Percetakan Negara XI Blok E No. 15, Jakarta Pusat, persis bertetangga dengan Komplek Perumahan mewah pejabat Bank BRI di Rawasari, Jakarta Pusat.

S
etiap hari ke Bekasi saya harus dua kali naik Bus kota bergelantungan dan berdesakan,  dengan berganti bus di Pulogadung. Begitu juga sebaliknya waktu pulang kantor. Suatu kali hampir kecopetan, persis hari gajian tgl 25, karena  kantong celana agak tebal menonjol mencurigakan, dua orang coba mencopet, tetapi urung karena saya bicara pakai bahasa mereka, mereka malu kabur melocat turun.

Perkenalan di Kanwil BRI Surabaya


Wakil Kepala Cabang
Tanpa terasa job training selama 2 tahun lebih berlalu begitu cepat, setelah Direksi menempatkan saya langsung sebagai Wakil Kepala Cabang di kota Kebumen, Jawa Tengah mendampingi Kepala Cabang, Bapak Ukar, sebelum digantikan oleh Bapak Soepardi, sejak tanggal 1 Januari 1977 dengan gaji pokok sebesar Rp 2.140,- ditambah tunjangan tunjangan dan fasilitas lain yang memadai. Upah bulanan berganti gaji dengan fasilitas kendaraan, rumah, pengobatan dll. 

Malam itu pluit Kereta api menyalak di stasiun Gambir, Jakarta yang membawa kami berlima (bersama Vera, Monang dan Peggy) berangkat dari stasiun Gambir dan tiba di pagi  subuh yang dingin di stasiun Kebumen, tanpa membawa barang yang berarti, kecuali perabotan dapur didalam keranjang rotan dan pakaian seadanya.  

Kaki kuda berdetak detak menarik A
ndong yang kami naiki sampai di rumah dinas, didepan kediaman Kapolres. Dengan rasa syukur dan terima kasih kepadaNya, kami tidak lagi mengontrak rumah.
Pagi pagi sekali
jam 6.30 sebuah mobil berhenti di depan rumah yaitu Toyota Canvas, lengkap dengan sopir, Sdr. Kiyamuddin. Mobil dinas pertama untuk Wakil Kepala Cabang.


                                                 Peta Prop NTT

Di samping 
bertugas sebagai Wakil Kepala Cabang yang baru, Kanwil BRI Semarang juga menugaskan saya setiap minggu mengajar ilmu Pembukuan (Akunting) kepada para pegawai BRI Unit Desa se Karesidenan Kedu di Magelang. Saya dibantu seorang pegawai BRI Unit yang mengerti Akuntansi, yang kelak kemudian menjadi Kepala Cabang juga. Dia mengaku kemudian di Facebook, karena motivasi saya, katanya.

Disini pulalah, pada tanggal 9 April 1978, lahir anak bungsu, Pahala, di RSU Kebumen sebagai anak BRI. Sedang Peggy lahir sebagai anak swasta karena status saya sebagai pegawai sementara tahun 1976.
Di Kebumen pula, Vera dan Monang masuk sekolah TK Katolik dan sempat dibaptis di Gereja GKI Kebumen. Thanks God sejak saat itu anak anak saya tidak putus putusnya Tuhan beri fasilitas mobil hingga saat ini. Mereka tidak merasakan bagaimana rasanya panas dan bau, berdesak desakan naik Bus Umum.

Selama dua tahun di Kebumen, kami berkesempatan mengunjungi tempat tujuan wisata Bendungan Sempor yang indah dan goa stalaktit Karangbolong. Kesempatan itu pula kami manfaatkan bernostalgia mengunjungi almamater Universitas Gajah Mada Yogyakarta di Bulaksumur.
Demikian juga dengan orang tua dan mertua dan adik adik istri sempat mengunjungi kami di Kebumen, tentu dibawa ke Sempor dan Karangbolong, keduanya di sekitar kota Gombong.
                                                   Mobil dinas pertama di Kebumen

Pjs. Kepala Cabang 6 kali
Di suatu pagi, rekan seangkatan, I Gde Sukarna  menelepon dari Cabang Semarang berkata :”Bapak dipindah menjadi Wakil Kepala Cabang di Kupang, katanya. “Terima kasih’, jawab saya singkat karena memikirkan jauhnya. Terbesit sedikit senyuman, promosi dari kota Kabupaten ke Ibukota Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Keberangkatan kami persis Hari Ulangtahun Pahala yang pertama, tgl. 9 April 1979. Ada sedikit kenangan yang lucu sekaligus kampungan, karena kami membawa kulkas, seolah olah di Kupang tidak ada toko yang menjualnya.

Satu bus karyawan Bank BRI Kebumen melepas kami sampai ke Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta. Setelah stop over di  Bandara  Ngurah Rai Denpasar, selanjutnya terbang diatas laut nan biru nun jauh di bawah sana.

W
alau udara cukup cerah, hati berdebar kencang karena membawa seluruh keluarga. Akhirnya landing dengan selamat di Airport El Tari Kupang, yang dikelilingi batu batu karang hitam dan rumput ilalang kekeringan berwarna cokelat.

Di Bandara seorang pegawai Bank BRI Cabang Kupang, gagah dan berpostur tinggi besar, hitam dan rambut keriting menjemput kami, memperkenalkan diri bernama Petrus Pello, disapa Peu Pello. Dialah warga NTT pertama yang kami kenal di Pulau Timor.
Pada hari yang sama
dipertemukan dengan Kepala Cabang Bp. H. Masri Pulubuhu, sebelum serah terima beberapa hari kemudian dengan Bp. Soeharto, Kepala Cabang yang baru.

Kursi Wakil Kepala Cabang Kupang secara formal saya duduki selama 1,5 tahun, tetapi secara defacto saya jalani tidak sampai 1 tahun, karena  saya difungsikan menjadi “Ban serep” di enam kota di NTT, menggantikan sementara Kepala Cabang definitif yang mengambil hak cutinya selama 14 hari kerja dalam setahun. Jika ada Kepala Cabang yang cuti tahunan 2 minggu, pasti saya yang menggantikan sebagai Pejabat sementara karena saya satu satunya Wakil Kepala Cabang di NTT.

Cabang 1,  saya menggantikan Bp. Untung Yaddy di SoE, ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan yang dingin, mulai tanggal 20 Juli 1979. Di kota berudara dingin ini saya  berkeringat karena mencoba membuka kunci kombinasi brandkast, berulang kali baru berhasil. Untung karyawan tidak ada yang melihat dan nasabah belum pada datang.

Cabang ke 2, tepat di HUT saya yang ke 36 tanggal 15 Agustus 1979 saya terbang untuk pertama sekali ke Pulau Sumba menggantikan mantan marinir Bp. Benyamin Wiraatmadja, SE di cabang Waikabubak, Kabupaten Sumba Timur.

Waktu itu, Airport Tambolaka belum dibangun, sehingga pesawat landing di Bandara Waingapu, Sumba Barat. Selanjutnya dari sana menelusuri Pulau Sumba menuju kota Waikabubak dengan guncangan keras diatas Jeep Toyota melewati jalan berbatu. Sengaja saya berhenti di malam gelap memandang keindahan bintang, di daerah antah berantah, hanya berdua dengan seorang supir, sambil memeluk bedil berburu pinjaman dari Bp. Saragih, Kepala Cabang Waingapu.

Cabang ke 3, dua setengah bulan bertugas kembali di Cabang Kupang, terbang lagi lagi, tanggal 2 November 1979, ke kota Maumere, di pulau Flores Kabupaten Sikka, menggantikan Sdr. J.G. Purba, yang dulu adalah rekan  mahasiswa di Fakultas Ekonomi UGM di Yogyakarta.


                                                   Kantor Wilayah I di Kupang

Cabang ke 4, di semester I/1980 Bp. Kunarto, Kepala Kantor Wilayah BRI Denpasar,  mempercayai saya sebagai penggganti di Cabang  Waingapu, Sumba Barat pada tanggal 8 Maret 1980, menggantikan Bp Berlin Saragih. Beliau dipindah ke Kantor Pusat karena sakit dan meninggal diusia muda.

Cabang ke 5,
dua bulan kemudian bertugas di kota Kupang, terbang ke pulau Flores lagi yaitu ke kota Ruteng, Kabupaten Manggarai Barat, menggantikan Bp. I Made Sudjendra.
Waktu itu saya mempunyai kesempatan melihat binatang  Komodo di Pulau Komodo, tapi saya urungkan pergi karena rasa tanggung jawab.

Cabang ke 6,
terakhir, yaitu menggantikan Bapak Soeharto Kepala Cabang Kupang sendiri. Beliau cuti ke Jawa tanggal 9 Juli 1980.

Hubungan saya sangat dekat dengan bapak Soeharto yang baik dan murah senyum sehingga waktu istri saya menabrakkan mobil dinas Kepala Cabang, Corolla merah, beliau tertawa saja melihat bekas tabrakan yang sudah kami cat buru buru sebelum serah terima.
Kantor Wilayah BRI Kupang.
Walau saya sudah menjadi Wakil Kepala Cabang di Kebumen dan Kupang plus menjadi care taker di 6 Kantor di NTT Cabang, saya belum juga dipromosi menjadi Kepala Cabang malah ditugaskan sebagai Kepala bagian Umum di
Kantor Wilayah BRI baru di Kupang. Kanwil baru ini terpisah dari Kanwil BRI lama di Denpasar. Saya ditugaskan beberapa bulan bersama dengan Bp. F.B. Soerendro, Kabag Kredit dan Bp. Siaji, Kabag Pembinaan. Status saya resmi tetap sebagai Wakil Kepala Cabang Kupang.

Selama bertugas di Kanwil BRI Kupang ada beberapa pengalaman unik dan menarik, yaitu dua kali mencarter pesawat.
Pertama,
seorang diri mengantar uang logam ke BRI Cabang Maumere, pulau Flores pulang pergi dengan pesawat Merpati. Kedua kalinya dengan pesawat kecil berpenumpang empat orang mendampingi Kakanwil Bp. Martono dan Gubernur Mben Boy dan istrinya Dr Nafsiah,  dalam rangka peresmian Kantor Cabang  Inpres, BRI Cabang Kalabahi, di Pulau Alor.

Tidak lama kemudian saya mendampingi Pak Martono berangkat ke Dilli untuk menemui Sekwilda Provinsi Timor Timur dan Panglima Kodam Dili, untuk mengurus izin pembukaan Kantor Cabang BRI di kota Dili, menambah jumlah dua bank yang sudah ada terlebih dahulu, yaitu Bank Indonesia dan Bank Dagang Negara. 

Kantor Cabang BRI Dili beroperasi pertama sekali dipimpin oleh Sdr. Saroji dan diresmikan oleh Gubernur Timtim dan dihadiri juga oleh Kepala Staf Kodam Dili, Kol. Sudjasmin. yang terakhir sebagai WAKASAD. Istrinya Kol Sudjasmin adalah marga Situmeang yang cukup kenal dekat dengan keluarga saya di Sibolga. Malam hari setelah peresmian, mereka datang menemui saya di Hotel Turismo, tidak jauh dari Pantai Dili.
Tidak hanya dikota Dilli yang dibuka Kantor Cabang. Di kota Maliana, Kabupaten tetangga  dibuka juga Kantor BRI Unit dibawah supervise saya sebagai Kepala Cabang di Atambua, disebelah Barat.

Dalam opening ceremony pembukaan BRI Unit Maliana, yang dicover juga oleh wartawan Kompas dari Kupang, muncul gambar kami bersama Kakanwil BRI Kupang, Muspida Kabupaten Bobonaro dan 3 Kepala Cabang BRI di daratan Timor. Pada saat yang sama dilakukan serah terima dua unit truk baru, fasilitas Kredit Investasi Kecil yang saya berikan kepada dua nasabah baru warga asli Timtim. 

Sebenarnya situasi ekonomi, taraf hidup dan aspek hukum warga Maliana, Timor Timur itu belum layak mendapat fasilitas kredit. Akan tetapi, saya tetap memberikannya dengan dokumen selengkapnya, dengan pengamanan Asuransi. Jika kelak pinjaman tersebut menunggak, kami bisa mengclaimnya ganti rugi ke Asuransi milik Pemerintah, PT.Askrindo.

Untuk pertama sekali saya menunjuk dan menempatkan 4 orang pegawai dipimpin Sdr. Cornelis Bria dan untuk mengawasinya, saya harus meninjaunya paling sedikit sebulan sekali, sekalian membawa uang tunai. melewati perbatasan, kota Balibo dengan kondisi jalan berbatu, berdebu, menyeberangi sungai tanpa jembatan.

Kepala Cabang
Setelah melewati 2 tahun 6 bulan masa job training di 2 Kantor Cabang disambung menjadi Pejabat sementara Pimpinan Cabang  di 6 Kantor Cabang di wilayah NTT, maka setelah 8 tahun baru diangkat menjadi Pimpinan Cabang di kota kecil di kota Atambua, pulau Timor, kemudian dipromosikan ke kota Industri di Kudus, Jawa Tengah sebelum dipromosi lagi ke kota besar, Kantor Cabang Pasarturi, Surabaya, sekarang menjadi Cabang Pahlawan.

Saat menjadi Piminan Cabang mulai menetapkan strategy menghadapi persaingan dilingkungan Industri Perbankan seperti akan dikisahkan pada topik berikut.

                                                                              






                                                                             
 






No comments: