Sunday, April 10, 2016

INVESTASI PROPERTY



 

Villa Cipanas, Puncak

M
enyimpan dana pada masa awal Orde baru masih disekitar Tabungan atau Deposito yang bisa dicairkan dalam jangka pendek jika membutuhkannya. Bagi mereka yang jeli bisa menyimpan dalam sektor property seperti tanah dan bangunan. Tapi pencairannya relatif berjangka panjang. Sedang ikut dalam bisnis saham relatif belum terbiasa apa lagi jika kita sibuk dalam profesi kita dari pagi hingga sore - malam.

Saya memilih menyimpan dana di sector propensi. Lagi pula me
miliki  rumah yang dibeli dari hasil keringat sendiri merupakan impian setiap individu, apalagi kalau sudah berkeluarga, karena lebih bermakna dibanding dengan warisan dari orang tua.
Rumah bisa dibeli dari usaha menabung maupun berupa pinjaman Bank ataupun bisnis lainnya. Lokasi Investasi properti terutama di kota besar, dimana rumah, tanah, apartemen dan ruko tidak lagi hanya berfungsi sebagai hunian tetapi sudah bergeser menjadi produk investasi.
Nilai properti di kota kota besar (termasuk kota penyangga) di lokasi lokasi strategis dari waktu ke waktu terus bergerak naik, hampir tidak mengenal bergerak turun.
Pintu utama, Jl.Gading Elok, Jakarta

Rumah Pertama

Kesempatan berinvestasi timbul ketika masa pendidikan di Jakarta tahun 1982, di pagi Minggu cerah, Sdr. Gabriel Purba mengajak kami meninjau rumahnya di Kompleks Perumahan Kelapa Gading Permai, Jakarta Utara. Rumahnya sih, tipe mungil, 120 m2 dengan 3 kamar relatif kecil, 2 kamar mandi, garasi 1 mobil, air tanah sepat sepat asin, karena PAM belum masuk kala itu.

Dengan bangganya, Kepala Cabang BRI Maumere ini menyarankan saya dan Sdr. Hutasoit, Kepala BRI Tarutung, Sumatera Utara agar menjadi tetangganya dan membeli rumah di sana.
Pikir punya pikir, umur saya sudah 39 tahun, anak sulung kelas 1 SD, termasuk terlambat punya rumah sendiri. Akhirnya bulat tekad dan nekad, dua minggu kemudian kami ke bagian Pemasaran.
Saya memilih tipe yang sama di lokasi yang lain, tepatnya di Janur Hijau, hanya beberapa ratus meter dari lampu merah masuk, di belakang Bank BDN, sekarang Bank Mandiri, Jl. Boulevard Barat.
Saya membayar down payment, sedang pelunasannya nekad meminjam dari Bank NISP Cabang Gunung Sahari sebesar Rp 18 juta. Istri saya sampai mengadakan kebaktian syukur dengan mengundang keluarga Gibson Simanjuntak, paman istri dengan Pendeta HKBP Kernolong. Saya tidak di Jakarta waktu itu, tetapi istri saya menceritakan renungan Pendeta: “Masa kini jarang orang mengadakan kebaktian untuk memasuki rumah baru.”
Pembelian rumah dengan kredit ini cukup terasa berat juga karena seperti tabungan terpaksa. Artinya, besar juga gaji setiap bulan terpotong untuk mencicil angsuran. Sisanya baru untuk keperluan lainnya. Cicilan bulanan sengaja ditransfer tidak melalui Bank BRI, satu dan lain hal untuk menghindari salah pengertian karyawan BRI.
Sementara itu untuk sementara, rumah pertama ini dijaga oleh Donny Pangaribuan, adik bungsu istri saya dengan diberi fasilitas sepeda motor. Disamping itu, adik istri saya nomor 3, pasangan muda Cherly Pangaribuan dan suaminya Sitorus pernah tinggal di rumah itu sampai anak sulungnya lahir di sana.

Tahun 1985, rumah di Kelapa Gading, Jakarta dan satu mobil bekas Honda Hatchback kami jual. Rumah yang dibeli dengan kredit tahun 1982 sebesar Rp 18 juta dijual seharga Rp 33 juta empat tahun kemudian, artinya naik 94% atau rata rata meningkat ± 19% per tahun.
J.Situmeang, L.Pandiangan (Ortu)


Rumah di Surabaya

Ketika dipindah dua tahun kemudian ke Surabaya, kami mencari rumah pengganti, di perumahan elit di Manyar Kertajaya, bertetangga dengan atasan saya, Bapak Amam, Wakil Kepala Kanwil BRI Surabaya.

                                                           Menuju ke lantai 2

Rumah berlantai dua itu relatif cepat selesai, tetapi tidak sempat kami tempati, karena kami tinggal di rumah dinas di jalan raya
utama, Jl. Diponegoro No. 73 dengan sewa Rp 14.000.000,- per tahun.

Sejalan dengan kepindahan kami ke Jakarta dalam waktu relatif pendek, rumah asri itu dijual kepada pedagang rotan dari Sampit, Kalimantan Tengah. Transaksi berjalan sangat singkat, hanya sehari. Pagi berangkat ke Surabaya, malamnya sudah pulang ke Jakarta dengan membawa uang.
Depan Mal Kelapa Gading
Setelah pindah dari Surabaya ke Jakarta. selama tahun 1997-1998, kami merasakan juga kurang enaknya tinggal di Mess BRI. Pertama, di Lantai 3 Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran baru. Kedua, di lantai 3 mess BRI di Jl. Proklamasi. Keduanya tanpa lift.
Tahun kedua tinggal di mess, kami mencari rumah lagi dan incaran pertama tetap di complex Kelapa Gading, karena sudah ada gambaran jelas tentang daerah ini. Waktu itu, Jl. Boulevard Timur arah Jl. Yos Sudarso masih tanah kosong dan penampungan air di kedua sisi jalan. Saat ini, 2013 sudah penuh Mal, Apartemen dan Ruko Ruko mewah.
Dengan sengaja kami memilih lokasi di belakang Ruko, persis didepan Mal Kelapa Gading, tepatnya di Jl. Janur Indah IX Blok LB No.11.
Seperti rumah pertama, rumah kedua ini juga kami nekad membeli dengan pinjaman dari Citibank, Jakarta sebesar Rp 125 juta.

Para penghuni disini memiliki
mobil rata rata 2 unit atau lebih, satu diantaranya terpaksa diparkir di jalan di luar rumah. Oleh sebab itu, salah satu masalah di sini adalah rebutan parkir dengan tetangga.
Rumah ketiga ini betul betul kediaman tempat keluarga kami meniti puncak karir dengan berkat Tuhan karena dilengkapi dengan air mancur di sudut dinding memberi suasana nyaman dan sejuk.

W
alau rumah ini milik pribadi, tetapi BRI dengan resmi membayar kontraknya selama kami masih menjabat. Nilai kontraknya dibayar sama dengan harga pasar. Tahun terakhir dibayar sebesar Rp.40 juta per tahun.
Tinggal di rumah penuh kenangan ini bukan faktor tunggal untuk tetap bertahan di sini. Lagi pula apa  manfaat tinggal selangkah dari Mal yang ramai kalau tidak mempunyai toko, malah akan tergoda sering sering belanja.
Hoek, Janur Elok, Klp Gading

Saking strategisnya, tanpa diiklankan pun rumah ini menjadi rebutan
dari tetangga. Akhirnya kami lepas seharga Rp 525 juta. Dengan penjualan ini berarti terjadi penghasilan 320% dalam 6 tahun atau 53% per tahun. Tentu jauh di atas suku bunga tabungan atau deposito.
Rumah Hoek
Karena alasan parkir, kami mulai mencari lokasi lain. Dicarilah rumah Hoek dilokasi yang relative lebih jauh. Rumah ini dibeli secara tunai, hardcash, hasil penjualan rumah depan mal.

Semula istri saya keberatan pindah lagi karena membayangkan bagaimana repotnya dan juga harus menyediakan tambahan dana. Istri saya kemudian baru ketawa setelah tahu tidak perlu tambah dana, malah ada kelebihan dana Rp 50 juta dari penjualan rumah depan mal.

Rumah hoek Jl. Janur Elok XIII Blok QH.5 No. 12 A ini lebih luas dengan tanah 250 m2, garasi 4 mobil, nilainya hanya Rp 475 juta. Artinya lebih murah dibanding dengan penjualan rumah depan mal, Rp 525 juta. Hal ini bisa terjadi karena lokasinya lebih jauh, ± 1 km dari mal, tetapi tetap ramai karena bertetangga dengan Taipeh School, Sekolah Kristen Penabur dan NJIS, North Jakarta International School.

Rumah ini kami pertahankan keasliannya, kecuali tambahan kaca patri pada dinding sebelah timur. Di pagi hari, sinar mentari menembus kaca patri dan merefleksikan warna warni indah di ruang dalam. Garasi mobil dipasang pragola dari kayu dan genteng, bukan besi dan polikarbonat.

Taman didesain berbukit, ditanami pohon sawo, beringin putih, palem dan di lantai dua ditanami aneka kembang warna warni. Keasrian sekeliling rumah ditambah lagi oleh air mancur yang keluar dari batu gunung yang ditempel semen di tembok sebelah Timur. Air terjun jatuh kedalam kolam, tempat ikan warna warni berenang dengan damainya, tempat kami bersantai petang hari.
Rumah besar dengan 4 kamar ini sangat sepi, hanya tinggal kami bertiga bersama anak sulung, Vera, di tambah dua orang pembantu. Bahkan, setelah Vera nikah tinggallah kami berdua, karena 3 anak lainnya menuntut ilmu jauh di Los Angeles, Amerika.
Ada banyak kesan dan kenangan indah di rumah ini. Di tahun 1995, ibu saya beberapa lama tinggal bersama kami dan meninggal di rumah ini. Ibu diberangkatkan via Polonia Medan, setelah keluarga besar Situmeang dan Pasaribu melepaskannya dengan doa dan acara adat.
Tiga tahun kemudian, tahun 1998 diadakan acara adat peminangan dan pernikahan Vera dengan Moseley Simatupang dihadiri keluarga besar kedua belah pihak di suatu rumah yang cukup representatif.
Tidak lama sesudah Vera tinggal bersama suaminya di Reny Jaya, Pamulang, Tangerang, akhirnya kami sepakat rumah ini dijual, setelah ditinggali selama ± 6 tahun.

Hanya dengan iklan mini di harian Kompas, kami melepasnya tahun 1999 seharga Rp 2 miliar. Dengan harga itu, maka keuntungan selama 6 tahun cukup besar mencapai Rp 1,5 milyard atau sebesar 321%, ekuivalen dengan suku bunga tabungan 53% per tahun.

Dari hasil penjualan rumah ini saya dan istri sempat berbeda pendapat tentang perpuluhan yaitu 10% dari dana disumbangkan ke Gereja atau tempat lain. Akhirnya kami konsultasi dengan Pak Litos S. Pane, Pendeta GKI Kwitang. Beliau mengatakan: “Perpuluhan cukup diambil dari selisih harga penjualan dengan harga pembelian, tidak perlu 10% dari harga pernjualan”, seraya menekankan” Bapak/Ibu kan bukan usaha bisnis properti”, katanya.
Tidak ada lagi ungkapan yang lebih indah dari kata “Syukur dan terima kasih” kepadaNya atas berkat dan pemeliharaanNya terhadap keluarga kami, yang setahun sebelumnya diterpa tsunami krisis moneter dengan stopnya usaha kami di Tanjungpriok.
Pintu depan Jl.Putih salju


Rumah Cahaya
Setelah pensiun dari Bank BRI dan berhentinya operasi usaha, maka tibalah saatnya untuk mencari rumah yang fungsinya berbeda dengan hunian hunian sebelumnya. Kali ini kami ingin mencari lokasi yang tenang dalam masa pensiun. Anak kami Vera meminta agar tinggal tidak jauh dari rumah mereka. Kami dibawa ke Bali View di Pondok Cabe, berbatasan dengan Jakarta Selatan.

Setelah h
unting dilakukan lagi ke perumahan Cibubur, Kabupaten Bogor. Di perumahan model vila tanpa pagar ini kami tertarik satu kavling dan deposit Rp 1 juta. DP ini akhirnya hangus karena hati belum juga mau kompromi, dan order dibatalkan.
                                                   Rumah Putih Salju, Klp Gading

Kemudian muncul usul Pahala untuk memilih rumah second yang dijual di Kompleks Perumahan Walikota, Kelapa Gading. Setelah kami mempertimbangkan fasilitas perumahan Kelapa Gading yang begitu lengkap, rumah di Jl. Putih Salju ini menjadi pilihan terakhir..

Pilihan daerah Kelapa Gading ini sesuai ula pengalaman seorang teman
, GM PT Askomindo, pindah dari Kelapa Gading ke Rawamangun. Dia menyarankan:”Jangan pindah pak, sekali keluar dari Kelapa Gading sulit akan kembali  lagi”, katanya. Alasannya harga properti di Kelapa Gading meningkat lebih cepat dibanding lokasi lain.
Pintu utama Jl, Janur Elok, Klp Gading

Properti yang
kami pilih adalah dua unit rumah lama di atas tanah 400 m2. Rumah utama menghadap ke timur, jalan raya utama Jl. Biru Laut Timur. Satu unit lagi menghadap ke selatan, Jl. Putih Salju.
Bangunan ini terletak ditempat strategys, di hoek juga, dengan taman, pohon beringin putih di samping, pohon palem di halaman depan dan pohon rindang bulat di pojok halaman ditambah beberapa pohon pelindung berdaun hijau. Di halaman tengah dipasang air mancur beserta kolam ikan menambah keasrian.

Karena sifatnya rumah masa tua, maka semua kamar, ruang tamu, dapur dirancang penuh cahaya. Tiga kamar di lantai dua didesain dengan 4 daun jendela kaca, ditambah lagi dengan teras ditopang dua pilar bulat besar. Ruang tamu menghadap timur dua daun kaca dan menghadap selatan dua daun kaca lagi.
Rumah dengan kualitas real estate ini menghabiskan biaya ± Rp 1 miliar. Sedang sisa tanah 160 m2 kami jual lagi 6 bulan kemudian dengan keuntungan Rp 80 juta.

Sebagian besar dana pembangunan berasal dari penjualan rumah keempat
sebesar Rp 2 milyard. Tetapi beberapa kali saya dan Pahala mentransfer uang ke pemborong dari hasil pekerjaan kami sebagai konsultan IT di PT Taspen.
Yang cukup disayangkan adalah level fondasi bangunan, walau sudah ditinggikan 1,20 m dari jalan raya, masih dimasuki banjir di tahun 2002 setinggi 5 cm dan banjir bandang Februari 2007 setinggi 30 cm.
Begitulah kisah gonta ganti rumah rumah di Kelapa Gading yang dihuni berawal dari rumah tipe 120 m2 senilai Rp 18 juta di tahun 1982 menjadi Rp 2 miliar, 17 tahun kemudian. Banyak orang yang heran, kagum atas berkat atau rezeki yang Tuhan limpahkan kepada kami.
Hingga tahun 2013, rumah ini sudah kami huni selama 13 tahun.

Apartemen Semanggi
Investasi juga saya lakukan di Apartmen yang berada diseberang kantor saya, Gedung BRI II. Lokasinya berada di belakang RS Jakarta/Universitas Trisakti, sekarang menjadi Hotel Aston Semanggi. Tadinya saya fikir hanya dengan berjalan kaki bisa tiba di kantor melalui jembatan penyeberangan. Itu bayangan saya.

Rumah masa kecil hingga kini

Apartemen milik LIPPO Group ini dibeli dalam US$ dan sudah mengangsur sampai US$ 25,000.00. Dalam 2 tahun angsuran terhenti karena krisis moneter
thn 1997 dan tidak mampu lagi meneruskan pembayaran angsuran dalam dollar.
Cukup lama negosiasi dengan developer agar apartemen di lantai 10 itu dijual.  Setelah menanti waktu yang ditentukan oleh Tuhan, akhirnya saya menerima pembayaran kembali setoran US$ 25,000 tanpa potongan atau denda.

Lippo Karawaci
Pada periode yang sama, saya tertarik juga pada Investasi di perumahan Lippo Karawaci. Di sela-sela istirahat makan siang, saya ikut antri berdesak-desakan menyodorkan Bilyet giro untuk mendapatkan satu kavling di Bank Lippo Cabang Gatot Subroto.
Saya beruntung mendapat kavling di hoek, persis di sebelah SD Pelita Harapan, yang siswanya banyak orang asing.
Rumah dua lantai dan tiga kamar itu dibangun model vila tanpa pagar dan hanya beberapa rumah di satu blok, cukup tertib dan hening untuk ditinggali. Tetapi kami tidak berniat sama sekali untuk tinggal di sini. Rumah ini hanya untuk investasi dan bisnis.
Setelah diiklankan dalam waktu yang cukup lama, maka dan doa bersama beberapa orang Pendeta, akhirnya rumah ini terjual. Yang mengejutkan, pembelinya adalah Ibu Lili, petinggi Lippo, yang kelak menjadi atasan Pahala, manajemen Gajah Mada Plaza Jakarta.
Rumah masa kecil @Sibolga

Setelah transaksi selesai di Karawaci, saya, istri dan Vera langsung menuju Plaza Indomobil di Gatot Subroto untuk mengorder satu Jip Nissan two tone hitam-putih, yang memang sudah lama saya impikan.
Vila Cipanas
Tidak hanya Investasi rumah, tanah dan apartmen. Investasi juga pada Villa yang sedang boom dimasa itu. Di suatu weekend kami ke Puncak mengendarai dua mobil. Keempat anak dengan ceria mengendarai BMW 318 warna hitam disusul di belakang Honda Accord putih yang kami tumpangi berdua. Perasaan senang dan bangga melihat anak anak bercanda di mobil depan.
Besok paginya kami melihat lihat vila dan tertarik memesan vila Green Hill di Cipanas dengan dua kamar dibawah, satu kamar kecil diatas dan loteng. Di pinggir halaman ada kali kecil dengan air mengalir dengan suara gemericik. Kami beli vila ini dengan harga Rp 80 juta, senilai  harga BMW atau Honda Accord.
Harga vila ini tidak naik naik nilainya dalam belasan tahun dan sulit untuk dijual kembali, walau sudah ditawarkan dalam waktu yang cukup lama.

Vila ini memang bukan untuk tujuan komersial, tetapi cocok untuk istirahat sekaligus Investasi. Di udara dingin sejuk di pagi hari, masih nampak embun pagi yang menutupi vila vila itu. Jaraknya 1 km lebih dari Istana Presiden arah ke Cianjur. Di siang hari mata terasa ditarik tarik ingin tidur sambil diiringi musik gemericik aliran air di pinggir halaman.
                                                       Sekitar villa Cipanas, Puncak


Rumah/Tanah di Tangerang
Tidak hanya bangunan yang sesuai sebagai obyek Investasi. Tana juga cukup menguntungkan dan nilainya pasti meningkat puluhan tahun kedepan. Untuk mencari tanah kosong, saya  minta bantuan sahabat saya dari Yogjakarta, Bpk BF Gultom, Pejabat di Setjen DPR. Dibelilah tanah 1000 m2 yang dibeli Rp 10 ribu per m2 di Kp. Ceger, Desa Jurang Mangu, Tangerang.
 
Saya sendiri tidak tau dimana lokasinya.
Pembelian tanah tersebut, dulu karena banyak mahasiswa STAN yang memperoleh beasiswa tinggal kost di sekitarnya.
Sekarang istri saya membangun 20 kamar rumah kontrakan di sana dengan menjual sedan Corolla Altis untuk tambahan modal. Tanah di sini memang sulit berkembang karena lokasinya masih jauh di perkampungan melalui jalan sempit.
Depan rumah Jl..Putih salju, K.Gading

Tanah di Depok
Koperasi Karyawan BRI membeli tanah di Depok untuk kemudian dijual kepada karyawan. Saya membeli seluas 400 m2 sudah ada Sertifikat Hak Milik. Lokasinya kurang strategis sehingga belum ada karyawan yang membangun rumah.

Tanah di Bekasi
Tanah sawah 6000 m2 ini saya beli melalui Sdr. Gultom juga, tanpa melihat terlebih dahulu, sama seperti tanah di Tangerang. Karena lokasinya jauh di pedesaan, tanah yang dibeli Rp 60 juta ini tidak pernah menghasilkan apa-apa. Bahkan bertahun-tahun tidak pernah dikunjungi. Tanah ini relatif aman karena didukung oleh Sertifikat.

Pada tahun 2012 ada email masuk dari orang yang tidak saya kenal, berminat atas tanah tsb. Karena kebetulan kami sedang membutuhkan dana, maka tanah yang sudah lama kami lupakan ini, Tuhan mengirim orang. Kami membeli sebuah Honda Jaz dari hail penjualannya.
Beberapa unit properti tsb ada yang saya beli tanpa setahu istri dan anak anak. Tetapi tidak berselang lama atau pada saat menjual, istri dan keluarga dilibatkan dan hasilnya sepenuhnya buat keluarga. Tidak satu bidang pun yang saya jual sendiri dan uangnya untuk keperluanku sendiri. Semua untuk kesejahteraan keluarga.

 

No comments: