Monday, April 11, 2016

BISNIS RENTAL ALAT BERAT DI PELABUHAN


Reach Stacker di Tanjungpriok




 
S ebelum memasuki masa pensiun, diusia 40 tahun adalah saat yang tepat untuk memulai usaha sendiri.Jangan menunggu terlalu lama, karena diusia produktif kita masih fresh banyak ide dan faktor kesehatan masih mendukung.
Usaha baru itu sebaiknya dimulai dari usaha skala kecil sebelum bertumbuh seiring berjalannya waktu. Jika dimulai dari skala besar, jika terjadi krisis ekonomi, usaha tersebut langsung tumbang.


Apa yang saya lakukan salah, memulai usaha dari skala besar dengan pinjaman pula. Datang krisis moneter 1998, usaha saya langsung terjerembab, tidak mampu bangkit lagi seperti kisah berikut ini. 

Setelah berbakti kepada bangsa dan Negara melalui dunia
Perbankan selama 21 tahun, saya pensiun dini diusia 48 tahun dan mulailah bergumul dan berdoa bahkan sampai retreat, berdoa di vila kami di Green Hill Cipanas, memohon Tuhan menunjukkan jalan kegiatan apa yang berkenan bila nanti memasuki purna bakti/pensiun. Semula dicoba bisnis franchise California Fried Chicken (CFC).

Bahkan
sudah merencanakan jadwal opening ceremony di outlet Tambun, Bekasi Timur di lokasi prima, di lampu merah pertigaan. Tetapi batal karena timbul masalah antara CFC dengan pemilik bangunan. Deposit senilai Rp 125 juta kembali kepada kami dengan mudah dan utuh.

Perhatian beralih ke usaha lain yang disodorkan oleh Sdr.Sibarani
(suami Jojor Pasaribu, adik istri) dan rekannya Sdr. Simamora yang menawarkan usaha rental alat berat, bongkar muat container dengan prospek yang menjanjikan. Sdr. Simamora punya pengalaman yang sama di perusahaan lain. Karena suami adik istri, ya kami percaya informasinya.

Informasi ini kemudian kami  survei dengan mengadakan dialog yang intens  dengan Direksi PT. Dharma Loka dan PT. Tirta Bahari. Mereka ternyata bersedia menandatangani proforma kontrak dengan usaha kami, sekaligus untuk memperkuat proposal kredit kepersahaan  Leasing.   Kontrakpun saya siapkan dan ditanda tangani kedua belah fihak.
Bersamaan dengan itu, izin yang diperlukan oleh otoritas Pelabuhan Tanjunpriok, kami urus sendiri, seperti Izin operasi dari Administrator Pelabuhan, SIUP, NPWP dan terutama izin Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).
I
zin dari BKBM ini diperlukan untuk memperoleh fasilitas bebas Bea masuk impor alat alat berat.

Untuk itu saya menggandeng Abang Junias Situmeang, menemui Sekjen BKPM Bapak Laksamana Pertama  TDV Situmeang. Dalam pertemuan pertama dia bergumam : “Sudah lama saya merindukan ada marga Situmeang yang mendapatkan fasilitas PMDN”, katanya sambil menambahkan, “Kalian datang tepat waktu,” katanya sehubungan  dia akan segera diganti sebagai Sekjen.
Secara formal saya mengajukan nilai proposal investasi ke BKPM tidak tanggung tanggung yaitu sebesar US$ 47.000.150 setara dengan Rp 117 miliar. Tetapi  pada tahap pertama, hanya untuk import dua unit Stacker hampir US$.1 juta, tepatnya sebesar US$ 968.000. Permohonan tsb disetujui oleh Menteri, Ketua BKPM Sanyoto Sastrowardoyo tanggal 8 Juni 1995 untuk  PT. Monang Brothers Container yang baru saja berdiri dua bulan sebelumnya, yaitu tanggal 10 April 1995.
Aplikasi Pinjaman 
Setelah semua dokumen legalitas lengkap, maka langkah berikutnya adalah mengajukan aplikasi pinjaman ke Bank atau Leasing company. Mulailah saya dan istri door to door mengetuk pintu kantor Bank dan perusahaan leasing.

Kantor pertama yang kami sambangi adalah Bank Mandiri d/h BDN Cabang Kebon Sirih, Jakarta Pusat pimpinan Bapak Sutopo, rekan saya training Sespi Bank agkatan VIII selama 3 bulan. Sayang tidak ketemu karena sedang dinas keluar.

Sebelum menyambangi kantor lain, saya menelepon seorang teman, direktur SANWA BRI Leasing, Sdr. Wibowo MBA. Dengan nada meyakinkan, di ujung telepon dia mengatakan, “Tidak mungkin toh Pak Situmeang dapat pinjaman, wong perusahaan Bapak kan baru,” katanya dengan logat Jawa medoknya. Lalu dia menambahkan, “Bapak juga tahu aturannya memang begitu,” katanya meyakinkan.
Tidak patah arang, dengan tetap semangat dan nekad, esoknya kami mendatangi Leasing kedua yang berkantor di gedung Bangkok Bank, depan Bank Indonesia. Sayang sekali perusahaan mereka sedang slow down, belum ada pinjaman baru.

Tanpa lelah dan bertekad bulat, e
sok harinya perburuan  tetap dilanjutkan, ke Jakarta Selatan, menuju kantor PT.EXIM SB Leasing, joint venture antara Bank Exim Indonesia dengan Bank Sumitomo, Jepang, di Summitmas Tower. Nama Leasing dan nama Direkturnya  direkomendasikan oleh Bapak Sumarno, teman saya, Direktur Leasing PT.Bringin Indotama Finance, anak perusahaan BRI juga.
Di Summitmas Tower ini kami diterima dengan hangat oleh Bapak Sugihardjo, Vice President. Setelah memperkenalkan diri sebagai eksekutif BRI, teman dekat Pak Alit, Kepala Cabang Bank EXIM Kebayoran Baru dan juga  rekomendasi dari Bapak Sumarno, mantan Pejabat tinggi BRI, menambah kepercayaan siapa kami sebenarnya. Proposal Leasing pun kami serahkan.

Hanya dalam hitungan menit, seorang staf Leasing, Sdr. Simon Halim diperkenalkan kepada kami, yang untuk selanjutnya menjadi contact person yang menangani aplikasi kami. Siang itu kami pulang dengan hati berbunga bunga.

H
anya dalam waktu satu bulan setelah proposal Leasing kami serahkan, tepatnya tanggal 8 Mei 1995 kami menerima telpon dari Sdr.Simon Halim dan berkata : “Pak Situmeang, Direksi setuju pinjaman sebesar  US$ 968.000 selama tiga tahun,” katanya dengan nada senang.

Ternyata pernyataan Sdr.Wibowo sebelumnya keliru, PT. Monang yang baru seumur jagung, yang baru berdiri tanggal 10 April 1995, ternyata menerima kredit hampir US$.1 juta satu bulan kemudian.
 
Untuk realisasi pencairan Leasing, semua anggota manajemen harus tanda tangan kontrak, yaitu saya Dirut, istri dan Vera sebagai Direktur. Monang yang jadi Komisaris Utama, terpaksa dipanggil pulang dari pendidikannya di AS.
Dengan muka berseri seri kami berempat teken kontrak dihadapan Notaris, disaksikan Mr. Tsueno Yamanaka, Presdir, Sugihardjo, Vice President, Kosasih Prawiradinata, Direktur dan Sdr. Simon Halim.

Pada saat penanda tanganan kontrak, kami datang
dengan pakaian lengkap, istri tampil dengan setelan merah darah tangan panjang dan Vera dengan setelan krem tangan panjang dengan rambut terurai.
Pada weekend berikutnya, kami mengundang staf Leasing kerumah dan satu set kunci sedan BMW hitam solid seri 318 keluaran tahun 1990 berpindah tangan kepada Sdr. Simon Halim dengan suka rela, tanpa diminta. Mobil itu adalah sebagai tanda terima kasih, tanpa menjanjikan sebelumnya, jadi tidak termasuk kategori gratifikasi. Lagi pula kami bukan pejabat publik.
Meninjau Pabrik di Finlandia
Setelah pinjaman disetujui, kami langsung buka Letter of Credit di Bank EXIM Kebayoran Baru, Jakarta, yang dipimpinoleh teman saya training di Pensylvania, USA.

Selanjutnya kami
bernegosiasi harga dengan Mr. Dieter Cremer, agen Alat berat Sisu itu di Indonesia. Warga Jerman ini setuju bahwa dalam harga alat sudah termasuk dua tiket pesawat Jakarta-Helsinki, p.p, termasuk akomodasi empat hari di Finlandia untuk meninjau fabrik pembuat alat tsb.
Beberapa minggu kemudian saya dan istri terbang dengan pesawat KLM kami selamat mendarat di Airport Helsinki, Ibukota Findlandia setelah stop over di Shcipol, Amsterdam.

S
etelah membeli satu buah bulu binatang halus warna krem di Airport, kami terbang lagi ke arah Utara Findlandia dengan pesawat lokal dan mendarat di Suomi airport dikota Tampere, lokasi pabrik Sisu.
Di pabrik Sisu itu ternyata ada beberapa unit yang sedang dirakit, dua diantaranya adalah order kami. Ternyata warga Finlandia tidak hanya piawai sebagai produsen Handphone Nokia dan pembalap Formula 1, tetapi juga ahli dalam merakit alat berat Stacker yang bermerk Valmet dan Sisu.

Asal s
pareparts utama alat itu berasal dari beberapa negara Eropa seperti mesin merek Cummins 200 KW buatan Jerman, transmisi merek Clark seri 3400 buatan Italia, dinamo produksi Finlandia dll.

Semua ini bisa terjadi karena pendidikan warga Finlandia 100% gratis, dibiayai oleh Negara sampai tingkat manapun. Bahkan staf yang mengantar kami jalan darat dari Tampere – Helsinki, Jakko Heinamaki, bergelar Doktor.
Sebagai penghormatan kepada kami, contact person saya di Sisu, Mr.Timo Matikainen, Marketting manager, menjamu kami makan malam di restoran tower berputar sambil memandang kota Tampere yang indah diwaktu malam. Sayang udara bulan Augustus sangat dingin, sehingga istri saya memilih tinggal dihotel.

Hanya 3 hari di
Tampere kembali lagi Helsinki pada tanggal 16 Augustus 1995, Kami sengaja tidak naik pesawat, tetapi naik mobil perusahaan bertiga dengan Dr. Jakko, ingin melihat panorama alam sekaligus membuktikan kebenaran bahwa Negeri kecil Finlandia bisa hidup dari hasil hutan dan mampu memberikan kesejahteraan terhadap rakyatnya. Bagaimana dengan Indonesia?

Sepanjang sisi kiri kanan jalan yang mulus nampak hutan menghijau, tidak ada hutan yang botak gersang, sebagai bahan baku pabrik kertas.
Pada
bulan Desember 1995, beberapa peserta dari pabrik RPP, Riau Pulp & Paper menghadiri seminar tentang kayu di Helsinki.

Keesokan paginya,
tanggal 17 Agustus 1995, Dr. Jakko mengajak saya menjadi tamu pada acara perayaan HUT RI ke-50 di Kedubes RI di Helsinki, dengan antri bersama para diplomat lainnya menyalami Dubes  dan Staf di pintu masuk.

Dari kejauhan angin semilir menghembuskan
sayup sayup suara gending, gamelan dari sound system. Ternyata rekaman gending Bali milik Dubes, asli Bali. Saya diperkenalkan dengan Pak Dubes dan Pak Anwar Nasution, sebelum dia menjadi Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia.

Pak Anwar mengajukan pertanyaan yang agak aneh : “Apa Bapak bekerjasama dengan Cendana?” Dengan tegas saya sahuti, “Saya usaha sendiri Pak, tidak kerjasama dengan siapa siapa.” Di kala itu, siapa saja boleh bekerjasama dengan keluarga Cendana.

Setelah standing party usai, saya dan istri tidak langsung terbang ke Jakarta melainkan menghabiskan cuti
12 hari, take-off dari Bandara Helsinki dan stop over di Bandara Stockholm, Swedia dan Bandara Schipol, Amsterdam sebelum landing di LAX airport, Los Angeles berkumpul dengan anak anak yang sedang kuliah.
Network di Pelabuhan
Setelah mulai operasi di pelabuhan Tanjungpriok, banyak teman yang penasaran dan bertanya :” Bagaimana pak caranya bisa masuk ke Pelabuhan Tanjung Priok, kata mereka. Karena ada anggapan bahwa yang masuk kesitu harus bisa menggandeng jenderal atau anak pejabat.

Dengan santai saya menjawab, “Backing kami hanya yang di atas!”, jawab saya serius. Maksudnya bahwa  PT. Monang bisa masuk ke wilayah pelabuhan dan sekitarnya, memang betul betul pertolonganNYA, sikap nekad dan bisnis murni. Kami memasarkan sendiri jasa door to door pada perusahaan EMKL, pelayaran, angkutan, container yard, jasa penumpukan kontainer sepanjang Jl. Cakung-Cilincing.

Tidak selang lama beroperasi, network dan pelanggan terus bertambah dari semua kalangan, tentara, pengusaha, para alumni Akademi Pelayaran (yang sering dipanggil Kapten)
. Mereka dari perusahaan-perusahaan swasta antara lain PT.Pulau Laut, PT.Meratus, PT. Samudera Indonesia, PT.Senawangi, PT.Panca Nusa, PT.Dharma Loka, PT. LSP, PT.Camar Baruna dll.

Sambil mengandalkan order harian
dari langganan yang fluktuatif, kami mulai pula menelusuri lobang lobang mencari order tetap ke perusahaan besar yang memiliki Harbour Crane besar seperti PT.Pelindo II, PT.Humpus (milik anak Presiden Soeharto) dan PT.Senawangi (milik anak Wk Presiden Tri Sutrisno).

Untuk maksud tsb k
ami mengajak dua bersaudara Pak Gurning dan abangnya Capt. Gurning sampai ke rumah Pak Amin Lihu, Kepala Pelabuhan UTPK1 di Semper dan pejabat tinggi di Kantor Pusat dan Kantor Cabang PT. Pelindo II di Tanjungpriok.
Kami mendapat banyak informasi dan rekomendasi agar mendekati Bapak Nainggolan, Kepala Bagian di PT.Pelindo II, kepercayaan atasannya. Setelah saya dan

Pak Nainggolan latihan pukul golf di Ancol, kami diarahkan
agar bersedia menjadi Sub Kontraktor Maskapai Pelayaran, PT. Pulau Laut,
Jabatan Pak Nainggolan ini cepat sekali bersinar dan menjadi Direktur PT. Pelindo III Surabaya sebelum menjadi Deputi Menteri BUMN Laksamana Sukardi dari PDIP, di zaman Presiden ke 5 RI, Ibu Megawati Sokarnoputri.
Perbaikan dan Pemeliharaan
Mengoperasikan Stacker itu relative sangat sulit, karena pengetahuan tehnis saya tidak banyak. Disamping itu, mengingat sifatnya, alat berat ini berkapasitas angkat 40-50 ton kontainer  ukuran 40 feet. Sedang bobot Stacker sendiri seberat 60 ton. Oleh sebab itu, pemeliharaan rutin, menjadi prioritas dan salah satu kunci keberhasilan usaha rental ini.

Untuk mempermudah pemeliharaan, saya berusaha keras menyusun Buku manual teknis sederhana dalam bahasa Indonesia untuk trouble shooting. Buku ini sangat penting, mengingat dalam kontrak kerja ada pasal tentang “denda”  yang harus dibayar per jam, jika terjadi kerusakan alat.

Jadi, perbaikan harus segera diselesaikan, bahkan sebaiknya preventive maintenance dilakukan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan dalam Buku Manual pabrik, termasuk penggantian oli mesin, oli gardan, filter oli, sensor dan aspek teknis lainnya.
Bagaimana repotnya perbaikan dan besar biayanya dapat digambarkan satu contoh berikut. Jika ban bocor, maka diperlukan waktu 3-4 jam menambalnya mulai dari mengangkut dengan truk, membuka pelak dan menambalnya. Bengkelnya sangat jauh, 6 km di jalan Bypass Jakarta Timur. Membuka pelak dan ban  setinggi badan manusia itu perlu 3-4 orang. Selama perbaikan sudah kena denda 3 – 4 jam
.
Pernah kejadian, Stacker dengan bobot 60 ton dan dengan lengan panjang spreader 40 kaki itu, bisa terbalik. Yang membuat pusing adalah sewa dua buah crane untuk mengangkatnya tegak kembali.
Belum lagi bicara biaya spareparts dan ongkos perbaikan yang mahal jika menggantungkan diri pada spareparts dan teknisi Singapura. Beruntung, parts dan bengkel lokal mampu memperbaiki dengan biaya ± 25% dari biaya Singapura.

Penagihan dan Cashflow
Ternyata tekad dan nekad tidak cukup sebagai modal dalam menjalankan usaha sendiri, apalagi yang berskala menengah seperti usaha ini.
D
alam tiga bulan pertama kami menghadapi kesulitan cashflow, karena pembayaran tagihan cenderung lambat, seperti kebiasaan dilingkungan Pelabuhan Tanjung Priok. Difihak lain angsuran bulanan ke perusahaan Leasing tidak boleh terlambat. Mereka tidak bosan menelpon terus, menagih.

Oleh karena itu, agar kondite, nama baik tetap terjaga, kami terpaksa meminjam kredit dari BRI Cabang Tanjung Priok sebesar Rp 250 juta, sehingga angsuran  ke Leasing untuk tiga bulan pertama @ Rp 75 juta dapat ditepati sesuai jadwal. Beruntung, Kepala Cabangnya adalah mantan Staf saya dulu di BRI Cabang Kudus, Jawa Tengah.

Sedang untuk memperlancar penagihan, saya lakukan sendiri terutama pada perusahaan besar. Untuk menagih jumlah yang relatif kecil, kadang harus bolak-balik dan sering hanya janji janji. Menagih lewat telepon ? Jangan harap, tidak akan efektif. Untung jarak pelabuhan dengan kantor/rumah kami cukup dekat. 

Pernah terjadi, penagihan terhadap seorang pengusaha asal Bandung, Ibu Yati, sangat sulit. Membayarpun pakai  Bilyet Giro kosong pula. Untuk mempercepatnya, copy Bilyet Giro tsb kami serahkan kepada Bapak Agustomo, Kepala Pelabuhan di UTPK I
.
Betapa kagetnya Ibu Yati melihat copy BG – yang  nilainya cukup besar – ada di tangan penguasa pelabuhan itu. Tidak lama kemudian tagihan  dilunasi.
Penguasa UTPK I,
Bapak Agustomo ini adalah alumni Fakultas Ekonomi UKI Cawang, Jakarta.
Beliau
sering main di rumahnya Agus Situmeang, famili dekat kami. Sudah dua kali Agus bersama saya menemui Pak Agustomo untuk memberi informasi bahwa Stacker  PT. Monang adalah usaha keluarganya Agus Situmeang.
Persaingan Bisnis
Masuknya PT. Monang dalam bisnis rental stacker ini sebenarnya sangat prospektif karena perusahaan  kami merupakan usaha kedua setelah CV. Republik milik Pak Lubis dengan dua unit stacker juga. Namun karena pasar yang kami masuki adalah pasar bebas, maka kami tidak bisa membuat “barrier”, memasang pagar agar pesaing lain jangan masuk. Difihak lain, Perusahaan Leasing sedang menggebu gebu expansi pinjaman untuk pengadaan Stacker baru.
Maka masa bulan madu itupun hanya sekejab. Pada tahun kedua, satu per satu Stacker baru muncul di Pelabuhan. Ada merk Kalmar buatan Jerman, merk Fantuzzy buatan Italia, merk Valmet dan Sisu buatan Finlandia.

Y
ang import Stacker tsb adalah perusahaan EMKL, Pelayaran dan Container yard, untuk maksud digunakan sendiri dan tidak untuk disewakan. Dengan demikian berkuranglah order sewa alat milik kami.

Sementara itu,
usaha kami, PT. Monang sudah mendapat persetujuan tambahan pinjaman Leasing senilai $ 250.000 untuk satu unit lagi merk Fantuzzy dari PT. United Tractor. Beruntung, pinjaman ini belum sempat kami realisir, tiba tiba terjadi krisis ekonomi medio 1997.
Setelah munculnya Stacker baru tersebut, otomatis pasar penyewaan kami berkurang, sehingga  harus mencoba strategi mencari kontrak tahunan. Tidak mudah memang, tetapi dengan tekad bulat, jalan panjang berliku, dan berdoa, akhirnya kontrak kerja diperoleh untu 2 tahun lamanya. Dengan demikian ada persaan aman.
Pengawasan Operasi
Dengan semakin ketatnya persaingan, maka pemasukan dan kebocoran harus diawasi secara ketat. Memang salah satu fungsi manajemen adalah kontrol. Kami sebagai pemilik sekaligus pengelola, selalu blusukan, terjun ke lapangan, di terik panas udara laut, angin, hujan atau udara dingin dini hari, pengawasan tanpa mengenal  waktu.
Berbagai cara dilakukan mulai pasang radio walkie talkie, dua unit di stacker, satu unit di rumah dan satu di mobil komando plus dua unit di tangan dua orang pengawas lapangan.

Kami tau saat saat yang tepat untuk Sidak.
Di suatu Jum’at siang, usai shalat, di belakang stir sedan merah, saya mengudara: “Monang 1, Monang 1, di sini pusat, posisi ada di mana?” Radio baru disahut setelah panggilan kedua.
“Pusat, pusat, di sini Monang 1, posisi di gudang 005, 005, ganti,” jawab Sdr. Safaat, dengan logat Sundanya yang medok, dengan menambahkan: “Monang 1 sedang istirahat di 005, ganti.”
Tanpa dia sadar bahwa kami menyaksikan dia sedang sibuk menaikkan kontainer 20 feet ke atas  truck trailer.
Sebagai alat control, sebenarnya di Stacker dipasang counter”, pencatat otomatis setiap box yang diangkat. Tetapi alat ini tidak disukai oleh operator, tidak mau menggunakannya bahkan merusaknya, karena kuatir akan ketahuan. 
Sebagai penggantinya, direkrutlah dua orang sebagai tenaga Pengawas. Tetapi fungsi pengawas ini pun kurang efektif juga, karena mereka mendapat bagian dari tips-tips dan penghasilan tidak resmi lainnya.

Sering terjadi kernek trailer memberikan tips agar dilayani lebih dahulu. Namanya saja tips, tentu tidak masuk kedalam kas perusahaan dan menjadi penghasilan tambahan karyawan.
Penghasilan tip karyawan rupanya tidak melulu dari konsumen, tetapi malah menggerogoti perusahaan, seperti yang kami temukan menjelang dini hari.

Pada jam 02.00 dinihari, kami melakukan SIDAK, inspeksi mendadak ke UTPK I. Disana kami menemukan Stacker Monang.2 sedang dempet di sebelah truk trailer, akan menyedot solar dari tangki untuk dijual.

Tanpa mengenal siapa kami, terdengar si kernet trailer dengan nada perintah meminta: “Lae, tolong isikan tangki mobil kami,” katanya. Seperti disambar geledek, karyawan Monang.2 tidak kalah garangnya menjawab: “Kurang ajar, kau bilang apa?” bentaknya dalam logat Tapanuli yang keras. Tanpa kompromi, tanpa surat tegoran dia langsung diberhentikan besok paginya.
Klaim kerusakan US$ 41,650
Pengawas lapangan belum datang di pagi pagi benar, persis hari raya Lebaran, dimana karyawan Muslim sedang mudik, sedang  yang Non muslim tetap bekerja seperti biasa melayani kapal kapal yang kejar tayang ingin segera berlayar.

Tiba tiba radio di rumah memanggil-manggil terus: “Pusat, pusat, di sini Monang.2….Monang.2ada kecelakaan, ganti”, terdengar berulang ulang. Setelah dijelaskan singkat jenis kecelakaannya, tanpa sarapan dan mandi kami meluncur ke pelabuhan.
Pagi itu, Fristo Gurning, teknisi muda itu mengoperasikan Stacker Monang.2, walau dia tidak diberi otorisasi untuk itu. Empat locker/kunci yang ada didua spreader (lengan) belum terkunci sempurna pada saat  mau mengambil satu kontainer di puncak tumpukan di tier/tingkat 5.

Tumpukan teratas kontainer 40 feet itu mulai tergeser dan........ braaakkk langsung jatuh menimpa kontainer di tier 4, 3 sampai ke tumpukan diatas tanah. Kontainer terbawah robek menganga, peot menampakkan isinya…..tekstil. Akibatnya 9 kontainer rusak tersebut batal berangkat ke Hongkong dengan kapal “Leixoes”.

Urusanpun beralih dari lapangan ke  red tape birokrasi, proses panjang  korespondensi bolak balik. Surat claim ganti rugi dimulai dari perusahaan pelayaran, PT. Tresna Muda Sejati yang ditujukan kepada autoritas pelabuhan, PT. Pelindo II, diteruskan ke main contractor, PT.Pulau Laut dan berakhir di PT.Monang, pelaku kecelakaan.
 
Nilai klaim yang diajukan perusahaan pelayaran (bukan pemilik barang) tidak tanggung-tanggung US$ 41.650 atau  sekitar Rp 374.850.000,- (kurs Rp 9.000,-).
Memaca besarnya tuntutan, kami merasa stress berat. Betul juga, indikasi bahwa dipelabuhan banyak buaya darat yang siap menelan mangsanya. Dalam situasi seperti itu kami terpaksa mencari bantuan hukum dari seorang pengacara di Kampung Melayu, Bonaran Situmeang, SH, (pengacara Gubernur Sulteng dan Kepala Bulog).

Setelah membaca dokumen klaim, setengah berteriak dia berkata: “Ompung jangan kuatir, pemilik barang, PT. Sankyong Keris Indonesia ini klien saya”, katanya dengan senyumnya yang menyejukkan hati, Melihat kami terdiam, dia melanjutkan : “Besok saya ke pabriknya di Tangerang,” katanya meyakinkan. Kami dipanggil Ompung/kakek, karena dia Situmeang  no.15, saya no.13, sama sama keturunan Ompu Rawar.

Besoknya, Bonaran berangkat ke pabrik tekstil itu di Tangerang dan pulang membawa good news sekaligus membingungkan. Mengapa tidak?. Diujung telpon dia memberitakan : “Pemilik barang tidak mengklaim, karena mereka sudah mendapat ganti rugi dari asuransi” katanya dengan meyakinkan. Terima kasih Bonaran, yang tahun 2013 ini menjabat sebagai Bupati KDH di Kab. Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, yang kemudian masuk penjara karena menyuap Ketua Mahkamah Konstitusi.

Begitulah kejamnya dunia pelabuhan, lebih kejam dari ibu tiri dan jika tidak hati-hati dan teliti, uangnya bisa masuk ke orang yang tidak berhak.
Dengan ucapan syukur kepadaNya, esok hari saya menelepon asuransi, PT. Alexander Lippo Indonesia, yang mengcover produk tekstil tersebut.
Staf asuransi yang belum kami kenal, dengan santun menjelaskan bahwa mereka sudah membayar ganti rugi kepada pemilik barang. Saya mohon kalau bisa mengirim fax kepada kami, bukti ganti rugi.
Staf yang baik hati itu langsung mengirim fax, yang satu senilai
US$ 33.960 melalui Bank BDNI dan satu lagi senilai US$ 19.356,26 melalui Korean Exchange Bank Danamon.

Kasus ini meninggalkan pembelajaran yang sangat berharga dan berakhir happy ending, setelah kami menolak membayar klaim dengan mengirimkan copy bukti transfer claim asuransi tersebut di atas ke PT.Pelindo II.
Dari total claim sebesar US$. 41.650, kami hanya membayar Rp 5 juta untuk mengganti satu  unit kontainer 40 feet yang robek berat.
Impor Lesu
Sebelum krisis moneter terjadi, tiap hari kami harus ke Bank BII Klp. Gading, karena transaksi masuk-keluar rekening koran relatif cukup aktif dan volumenya relatif cukup besar.
Dalam triwulan I dan II tahun 1986, rata rata transaksi masuk
masing-masing Rp 500.752.674,- dan  Rp 335.197.975,-. Sedang pemakaian/penarikan mencapai Rp 463.087.212,- di triwulan I dan Rp 319.154.814,- triwulan II. 

Karena seringnya ke Bank BII, disuatu siang, anak saya Vera sedang antri di loket, sedang tantenya, Cherly Pangaribuan, staf Bank AMEX, juga sedang antri dan bertanya: “Lagi ngapain Ver?” katanya. Vera dengan muka ceria menjawab: “Lagi setor kliring, Tan,” katanya dengan senyum khasnya. Lalu tantenya menimpali: “Memang, mamimu (kakaknya) rezekinya baik terus,” katanya dengan senyum.

Rekening kami jarang kami sisakan banyk babyak. Apabila saldo rekening di BII sudah mencapai Rp 100 juta, tanpa menunggu awal bulan, kami langsung transfer Rp 75 juta sebagai angsuran bulanan ke Leasing, plus beberapa US.$ transfer untuk biaya sekolah anak-anak di Amerika.

Tetapi sejak kurs dollar melecit hingga $ 15.000/US.$ maka impor barang dari luar negeri drop sangat drastis, maka akibat rentetannya, jumlah kontainer impor yang akan kami bongkar dari kapal laut drop sangat drastis juga. Sebaliknya, pihak leasing tetap tidak mau mengerti dan tetap tidak henti hentinya menelpon melakukan penagihan-penagihan.

Agar Leasing bisa mengerti situasi ekonomi, khususnya dampaknya kepada usaha kami, pada suatu hari kami menemui jajaran Direksi leasing, dimana saya mempresentasikan situasi terakhir kegiatan bongkar-muat impor-ekspor di Pelabuhan Tanjung Priok. Stopnya angsuran, bukan karena on will (tidak mau), tetapi karena on macht (tidak mampu), meminjam istilah dunia perbankan. 

Di akhir pertemuan disepakatilah, bahwa satu unit stacker akan ditarik kembali sedang yang satu lagi boleh kami operasikan. Nampaknya Direksi dari pihak Sumitomo, yang warga Jepang penuh pengertian, sedang Direksi dan staf Indonesia kelihatan garang, tidak membantu, mungkin mengambil hati pihak Jepang.

Setelah pulang kerumah, berpikir keras dan berdoa, istri saya sebagai salah satu Direktur, ingin menyerahkan kembali stacker yang kedua. Mulanya saya ingin mengulur-ulur waktu sambil menunggu perkembangan situasi ekonomi. Tetapi setelah merenung dalam, sikap istri saya betul juga, untuk apa menahan satu unit, padahal tidak ada barang yang mau dibongkar dan harus membayar biaya upah dan biaya tetap lainnya.

Akhirnya kami bulat tekad untuk menyerahkan kedua-duanya. Setelah menandatangani Berita Acara, yang intinya berisi bahwa dengan penyerahan 2 unit tersebut, sisa pinjaman kami dinyatakan LUNAS 100%.
Setelah menandatangani Berita Acara serah terima, pada suatu siang yang terik, disaksikan para karyawan, dua Stacker dengan merek MONANG.1 dan MONANG.2 berwarna merah darah itu beringsut pelan-pelan meninggalkan gudang 005 menuju kelokasi yang baru, lokasi milik leasing.

Dengan mata berkaca kaca kami menyaksikan Ban ban besar itu menggelinding meninggalkan kami, merelakan kepergian kedua alat yang telah mengisi sejarah hidup keluarga kami.

Seandainya jika tidak terjadi krisis ekonomi, pinjaman leasing akan lunas 2 tahun lagi. Sesudah itu penghasilan sebulan RP 100 juta dipotong biaya operasi dan pajak, masih sisa sekitar Rp 5 juta.
Bayangkan !.
Dengan penyerahan kembali 2 unit alat berat tersebut, maka angsuran kami sebesar 36 bulan x Rp 75 juta, hilang lenyap karena krisis moneter.

Berperkara tanpa Pengacara
Akibat kerugian tersebut diatas, dank arena pemutusan kontrak sefihakkami mengajukan tuntutan kepada Main contractor, PT.Pulau Laut.
Disuatu hari siang yang terik, tanpa angin tanpa hujan, tiba-tiba bak petir di siang bolong, kami menerima surat dari kontraktor utama, PT.Pulau Laut yang mengatakan bahwa kontrak akan diputus.

Kami menyambangi Direksi, dan dengan segala kerendahan hati melakukan negosiasi, memohon agar kontrak jangan diputus, tetapi ditinjau ulang. Kami meminta agar kontrak direvisi, semula menyewa 2 unit stacker menjadi 1 unit. Tetapi Pak Tomy, Direktur keuangan bergeming dengan alasan main contract dengan pelabuhan juga dikurangi dari 3 unit menjadi 1 unit saja.
 
Kami mengingatkan bahwa kontrak tidak bisa diputus, kecuali kami tidak mampu mengoperasikan alat dan mendapat peringatan tertulis tiga kali berturut-turut.
Namun Pak Tomy berkeras, bergeming, walau kami dengan jelas mengisyaratkan kemungkinan berperkara. Mungkin mengira kami adalah perusahaan kecil, tidak akan melawan. Makanya kita tidak boleh anggap remeh orang lain.

Dengan rasa terpaksa hubungan baik diakhiri dengan perkara di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Di Pengadilan ini kami kalah, walau menggunakan pengacara terkenal Yan Apul SH.  Kami kalah karena menolak dengan       keras permintaan uang dari Ketua Majelis Hakim, karena kami merasa benar.
Karena kalah di Pengadilan Negeri, maka Surat kuasa kepada pengacara kami cabut. Lalu kami naik banding, kali ini tanpa bantuan pengacara, hanya dibantu advice hukum dari family kami yang masih muda, Ucok Pasaribu, SH.

Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tinggi yang kami temui sebelum sidang mengatakan: “Bapak pasti menang, jika kalah nama saya akan tercoreng di Mahkamah Agung,” katanya percaya diri dengan menambahkan: “Perkaranya sangat sederhana, pihak Tergugat memutus kontrak secara sepihak,” tuturnya.

Benar saja, kami diputus menang di Pengadilan Tinggi tanpa menjanjikan akan memberikan sesuatu kepada hakim. Setelah menang kami memberi sesuatu sebagai ucapan terima kasih, itu persoalan lain. Ternyata masih banyak hakim yang jujur di Negeri ini.
Kali ini pihak Tergugat langsung kasasi ke Mahkamah Agung. Di MA, kami belum pernah ketemu dengah Hakim Agung, tetapi mereka memperkuat putusan Pengadilan Tinggi, kami menang lagi, walau tanpa pengacara dan tanpa amplop.
Kemenangan formal sebesar Rp 1,2 miliar yaitu 12 bulan @ Rp 100 juta itu tidak segera dapat direalisir menjadi kenyataan. Diperlukan kesabaran dan strategi menghadapi Tergugat, sebuah perusahaan pelayaran besar.

Satu kendala muncul lagi. Kami belum mendapat Surat Keputusan menang dari Mahkamah Agung. Setelah berusaha mendapatkannya dengan menemui Bagian Perdata hingga Direktur Perdata. Hasilnya NOL besar. Akhirnya seorang Satpam menawarkan jasanya untu mendapatkan copy Surat keputusan denganhanya member uang rokok, tanpa diminta.


Anehnya, hanya dengan c
opy surat keputusan MA, langsung kami serahkan kepada pihak Tergugat. Negosiasi pun dilakukan baik pertemuan langsung maupun melalui telepon. Negosiasi pertama di area pelabuhan. Tergugat menambah dua pengacara lagi disamping bagian hokum perusahaan, sedang kami hanya didampingi family yang masih muda.
Negosiasi kedua dan ketiga di Restoran Hotel Danau Sunter dan Gandys Kelapa Gading.

Karena alotnya negosiasi, s
aya punya strategy tersendiri untuk mempercepat pembayaran. Saya membawa Surat pengaduan yang sudah kami teken, siap kirim ke Kapolres P3 Tanjung Priok. Isinya menyatakan bahwa Tergugat telah melakukan tindak pidana, menjual Stacker milik mereka (yang sudah diletakkan sita oleh Pengadilan Negeri). Informasi ini saya dapatkan sebelumnya dari network saya di pelabuhan.

Sanksi
tindak pidana penjualan barang sitaan ini Direktur Utama bisa dipenjara beberapa tahun. Maka tidak lama setelah pertemuan ketiga ini diperoleh kesepakatan angka ganti rugi Rp 1,2 miliar diturunkan menjadi Rp 1 miliar.
Setelah penandatangan Akte Notaris, penyelesaian tuntutan selesai, transfer Rp 1 miliar pun dilakukan. Praise the Lord, case closed. Dengan penuh senyum kami pulang.




No comments: