Wednesday, August 7, 2013

HOBI OTOMOTIF YG KONSUMTIF




                              Mercy putih thn 1988 B 988 RP
B
agi sebagian orang, mobil pribadi menjadi salah satu impian dalam hidup atau merupakan ukuran keberhasilan. Tetapi bagi sebagian yang lain, kendaraan hanya sebagai alat fungsional belaka. Sewaktu saya masih remaja, kendaraan kami adalah mobil fungsional berupa angkutan orang dan barang, jadi untuk maksud produktif yang menghasilkan. Di zaman tahun 1950-an di kampung saya belum dikenal mobil pribadi, namun demikian memiliki kendaraan otomatis menjadi salah satu ukuran, lambang status sosial pemiliknya.

Setelah mulai bekerja dari awal karir hingga di perbankan, perusahaan selalu menyediakan kendaraan untuk tugas operasional. Di luar jam kerja, kendaraan bisa kita pakai untuk keperluan pribadi maupun untuk kegiatan sosial. Waktu bekerja di majalah Tjakalsari, Kol. Komar mengizinkan saya memakai dua mobilnya, termasuk Jeep warna hijau dengan nomor polisi Hankam untuk transportasi angkut kertas maupun distribusi majalah. 


 
Toyota ALTIS thn 2000 B 8594 TN

Sekali waktu di minggu pagi, Kol. Komar mengantar saya ke Gereja HKBP Grogol setelah mendrop majalah di toko buku Sarinah, Jl. Thamrin, Jakarta. Sedang mobil Fiat kecilnya saya pakai untuk antar-jemput anaknya di TK Katolik di sebelah Kantor Pos Pasar Baru Jakarta dan mengantar kakak Situmeang Garuda, waktu saya tinggal di rumahnya di Jl. Majapahit Jakarta, yang saat ini menjadi Kantor Sekretariat Negara, di samping Istana Presiden.

Sejak job training di BRI pun mobil dinas selalu tersedia, baik untuk tujuan dinas maupun untuk keperluan pribadi. Oleh sebab itu, selama 14 tahun bekerja hingga akhir jabatan saya di kota kecil Atambua, belum pernah terlintas dalam pikiran tentang mobil impian, mobil pribadi dengan merk tertentu.

Bapak Handoko, nasabah Prima BRI di Atambua wanti-wanti: “Bapak jangan membeli sedan dulu,” katanya ketika ada variant baru, Mitsubishi Gallant yang ditawarkan oleh Sdr. Yoseph, agen mobil itu di Kupang, persis seperti sedan yang dipakai Dr. Nafsiah Mboy, istri Gubernur NTT. Mobil sedan di kota kecil bisa menimbulkan kecemburuan sosial.



Mobil Pahala dan Peggy didepan apartmen Ranco Cucamongga, California

Life Begin at 40
Pepatah “Life Begin at 40” tidak hanya benar untuk ukuran Barat, tetapi tidak salah untuk diri sendiri. Rentang usia produktif sekitar 39-44 tahun, karir saya menanjak cukup cepat dari kepala bank pertama di usia 39 tahun, promosi lagi langsung masuk ke Jawa dan kemudian meloncat menjadi kepala cabang di kota besar, ibukota propinsi.

Dari hasil kerja dan tabungan selama 20 tahun, akhirnya sebagian impian saya wujudkan berupa rumah dan mobil pribadi. Rumah pertama dan mobil pertama, second hand didapat di usia 40 tahun. Disusul lagi dengan mobil-mobil idaman lain dari keluarga besar Toyota seperti Starlet, Corolla, Corona dan tipe akhir Cressida di tahun 1984-1987. Semuanya diangsur dari PT. Nasmoco, agen Toyota di Semarang.

 
Saya dan Lexus Monang di Al Hambra, California

Mobil-mobil baru ini sebenarnya tidak dimaksudkan untuk tujuan menaikkan status sosial saya sebagai kepala bank atau bersaing dengan kepala-kepala bank di Kudus atau di Jawa Tengah. Tidak sama sekali.

Mobil ini praktis hanya dipakai di luar dinas dan keluar kota, terutama ke Semarang yang jaraknya relatif dekat, 50 km. Sedang untuk keperluan kantor atau pemakaian di dalam kota, cukup menggunakan dua unit mobil dinas, Jeep Toyota Hardtop.

 
Monang cs, Suzuki Katana thn 1988

Gonta-ganti mobil ini berlangsung begitu saja, mengalir sebagai demonstration effect, seperti disebut dalam teori ekonomi. Namun demikian, saya masih tetap bisa menahan diri di mana mobil pribadi yang kami pelihara di garasi maksimum hanya dua unit. Sampai kami pindah ke Jakarta, kami hanya membawa dua sedan yaitu Starlet two tone hitam putih dan Cressida warna silver. Mercy Jepang dengan spedometer digital ini tunggangannya memang empuk dan suara mesinnya sangat halus

Setiap weekend saya gunakan dalam perjalanan panjang Surabaya-Kudus pulang pergi, menengok keluarga yang belum boyong ke Surabaya. Tidak terasa, tahu-tahunya dibangunkan sudah sampai di Kudus.

 
Vera, Monang, Pahala, Peggy dng mobil Monang di California thn 1980an


Mobil Eselon II & III
Masuk Kantor Pusat BRI berarti memasuki habitat baru yang penuh dengan tata krama, penilaian konduite karena berkantor bersama-sama direksi atau pejabat lain, yang setiap hari bertemu di parkiran dan di ruang rapat.

Naik Mercy Jepang, Cressida jelas tidak cocok dengan jabatan saya sebagai kepala bagian (Eselon III). Tipe ini baru sesuai jika sudah wakil kepala/kepala divisi (Eselon II), walau tidak ada aturan tertulisnya.

 
Mobil Pahala, di Villa Cipanas, Puncak thn 2012

 Oleh sebab itu, dua sedan, Starlet dan Cressida kami jual kembali ke Toyota Pecenongan, Pasar Baru, Jakarta dan hasil penjualannya langsung ditransfer ke PT. Nasmoco Semarang untuk melunasi kredit. Kelebihan uangnya kami pakai untuk membeli sebuah sedan Corolla warna silver tahun 1987.

Mobil I, Prelude Monang

 
Lagi pula kami tinggal bersama-sama rekan sesama kabag di mess BRI, Jl. Proklamasi No. 28, Menteng, Jakarta Pusat tidak etis menggunakan mobil mewah.


Mobil ke2 Monang

Tahun kedua di kantor pusat, saya langsung dipromosikan menjadi wakil kepala urusan/divisi dan dengan demikian bisa ganti tipe/kelas mobil. Tetapi saya masih bisa menahan diri sampai tahun ketiga, tahun 1990 dengan  menggantinya dengan tipe Honda Accord 2000 cc warna putih, yang dibeli dari showroom di Jl. Kebon Sirih, Jakarta.

 
Mobil Freed Peggy di Cipanas, Puncak 2012


Kendaraan untuk Sekolah
Dengan kepindahan kami ke Kelapa Gading, Jakarta Utara, maka jarak sekolah anak-anak di Jl. Cikini Raya, Jl. Kramat Raya dan Jl. Diponegoro, Jakarta Pusat semakin jauh. Tidak mungkin lagi mengandalkan satu mobil karena pagi-pagi saya sudah berangkat ke kantor.

Oleh sebab itu, dibelilah mobil kecil sederhana, Jeep Katana dari Pak Tawang Prawira, PT. Prima Motor di Harmoni, Jakarta, dealer rekanan BRI. Mobil inilah yang dipakai Vera untuk antar-jemput adik-adiknya, sebelum parkir di sekolahnya, SMA Katolik di    Jl. Kramat Raya. 

Tidak lama kemudian setelah kenaikan kelas, pulang sekolah tidak bisa sama-sama lagi. Dibeli lagi sedan kecil sederhana dari dealer yang sama, keluarga Suzuki yaitu Forza. Dengan kedua Suzuki ini, Vera dan Monang bisa bergantian menjemput adik-adiknya.

 
Honda Jaz istri, Rouly Pasaribu, 2012


Beberapa tahun kemudian setelah anak-anak sekolah di AS, Honda Accord putih dijual seharga Rp 80 juta, ± US$ 40,000.00 dan dibelikan tiga unit mobil di sana. Monang memilih Honda Prelude ± US$ 15,000.00 yang hanya muat 4 orang. Sisanya untuk tunggangan Peggy, Corolla warna ungu dan Honda Civic dua pintu untuk Pahala.

Kendaraan dibeli untuk masing-masing mengingat lokasi sekolah/kuliah mereka berbeda. Sebenarnya Peggy dan Pahala masih siswa Senior High School, bisa naik bus-sekolah warna kuning untuk antar-jemput. Tetapi karena harga mobil di AS sangat murah, 1 Honda Accord di Indonesia bisa beli 3 unit di AS, kami memutuskan untuk membeli saja.


Untuk membeli mobil dengan membayar cash, ternyata tidak mudah. Tidak bisa cash and carry model Lapindo, bayar dan mobil dibawa pulang, tetapi memerlukan waktu. Rupanya penjual wajib mengetahui sumber uang tersebut, jangan-jangan dari menjual drug, obat terlarang. Monang sempat mengatakan kalau orang tuanya bekerja di perminyakan. Sebaliknya, kalau ingin mencicil lebih sulit lagi, dibutuhkan bukti penghasilan untuk mengangsur. Untuk mencari penjamin sebenarnya tidak sulit karena banyak teman  dan keluarga di Los Angeles yang mau menjamin, tetapi kami ingin membeli tunai.
Belum sempat menutup asuransi, suatu hari Monang telepon ke Jakarta dan mengatakan: “Papi, ini ada good news dan bad news,” katanya dengan suara pelan dan hati-hati. Bad news-nya adalah Peggy ada accident, kecelakaan menabrak tiang listrik. Good news-nya, dia dan teman-temannya selamat tidak cidera. Puji Dia. Sebenarnya beberapa hari sebelumnya saya sudah transfer untuk membayar premi asuransi, tetapi Peggy belum sempat menutup asuransinya, terjadi kecelakaan. Itulah perlunya setiap mobil harus di-cover dengan asuransi. Preminya relatif murah dan bisa dibayar bulanan.
Coverage asuransi tidak hanya accident tetapi all risk, termasuk pencurian. Tingkat pencurian di sekitar LA cukup tinggi. Mobil mereka tiga-tiganya pernah hilang dari tiga lokasi apartemen yang berbeda. Mobil Monang dan Peggy memang ditemukan kembali oleh polisi tetapi tanpa mesin. Sedang mobil Pahala hanya aksesoris tambahannya saja yang diambil. Sebagai penggantinya Monang memilih Mercy hitam, sedang Peggy kami belikan mobil second hand dua pintu, tipe sport.
Mobil Idaman
Hidup dan tinggal di kota metropolitan di usia produktif mendekati usia separoh baya, dampak konsumerisme (demonstration effect) juga melanda para eksekutif, pengusaha dan mereka yang berjiwa muda, termasuk saya. Corolla tahun 1997 sebenarnya cukup representatif dan dalam kondisi mulus, saya pakai selama tiga tahun, kami lego dan diganti dengan Honda Acoord 2000 cc keluaran baru dari showroom di Jl. Kebon Sirih, Jakarta.

Beberapa rekan Eselon II dan III nyeletuk dan bergurau: “Jabatan ndeso, rezeki kota,” seperti istilah Tukul belakangan ini. Divisi kami waktu itu memang bernama Divisi BRI Unit Desa, sebelum diganti menjadi Divisi Bisnis BRI Unit.

Tanpa disadari, sebenarnya di kalangan eksekutif ada semacam perbedaan tingkat sosial dilihat dari penampilan masing-masing. Eksekutif, pejabat struktural Eselon II dan  III, mantan kepala cabang, gayanya pada umumnya berbeda dibanding dengan mereka yang belum pernah menjabat sebagai kepala cabang. Termasuk di sini tipe, merk mobil maupun pengemudinya. Hal ini nampak pada saat pulang kantor di atas jam 17.00.

Saya sebagai Eselon II sudah berani memakai Honda Accord 2000 cc dengan pengemudi atau dijemput anak-anak. Pada tahun yang sama, saya dan istri tergoda juga memiliki mobil non-Jepang, yaitu buatan Eropa. BMW mengeluarkan variant baru tipe kecil warna hitam lengkap dengan aksesoris.

Model gaul dengan grill dua bulatan lonjong dengan 4 lampu bundar menjadi daya tarik tersendiri, belum lagi tarikannya. Mobil ini mintanya ngebut kalau kita tidak sabar. Walau tipe kecil ini tidak begitu mencolok seperti Mercy, tetapi tetap saja tidak pantas dibawa ke kantor, wong namanya saja BMW.

Karena jarang dipakai ke kantor, kadang-kadang Vera membawanya kuliah di Universitas Kristen Indonesia, Cawang, Jakarta Timur. Tetapi yang sering, ia menyetir mobil pegangannya, Starlet. Kadang-kadang dia memakai Accord, BMW atau Starlet ke kuliah, sampai dia dikenal Vera show room untuk membedakannya dengan Vera lain. Ada teman kuliahnya yang bertanya: “Apa bokap lu punya showroom?”, melihat Vera ganti-ganti mobil ke kampus.

Setelah Honda Accord terjual, saya mengincar mobil Jeep Nissan Terano. Kebetulan rumah di Lippo Karawaci laku, saya, istri dan Vera mampir di showroom Plaza Indomobil, Jl. Gatot Subroto, Jakarta. Setelah melihat contoh Terano, langsung kami order, warna hitam. Mobil ini saya pakai untuk operasional perusahaan di pelabuhan tahun 1995, termasuk membeli spareparts dan oli dalam jerrican-jerrican 20 liter, diletakkan di bagasi belakang.


Mobil gres, tapi baunya bau oli.  Pada waktu honeymoon Vera-Moseley, Terano panjang ini ikut andil membawa rombongan kami sekeluarga ke Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Moseley-Vera, Mark-Peggy memakai Terano, saya, istri, Monang dan Pahala naik Mercy tipe C.180 warna putih.


Mercy tipe paling kecil 1800 cc warna putih krem ini kami beli dari showroom sekitar Roxy sebagai pengganti BMW 318 yang beralih ke tangan Sdr. Simon Halim, eksekutif leasing. Kami baru berani membeli mobil mewah ini segera setelah pensiun muda dari BRI, dibayar dari tabungan saya di Bank BDNI Cabang Bendungan Hilir. Fungsi mobil terakhir ini memang sesuai dengan status kami yang baru sebagai businessman, pengusaha rental alat berat, sebagai sarana dalam hubungan bisnis dengan pejabat pelabuhan, pengusaha, lembaga keuangan dan pejabat pemerintah.
Mobil dan Rumah Baru
Habis gelap terbitlah terang, tidak hanya terjadi di masa RA Kartini. tiap tanggal 21 April. Hal itu juga kami alami  dua tahun setelah krisis ekonomi yang dahsyat itu melanda Asia. Tahun 2000, perkara perdata selesai dan menang. Di tahun yang sama, kami melepas rumah lama di Jl. Janur Elok dan sebagai gantinya dibangun rumah baru di    Jl. Putih Salju, sama-sama di Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Uang dari menang perkara plus penjualan rumah, tahun 2001 kami belikan Corolla Altis tipe 1800 cc seharga Rp 263.000.000,- menggantikan Corolla warna merah darah yang kami beli seharga Rp 79.100.000,- bulan Januari 1995. Altis 1,8 warna biru tua tahun 2001 dengan pantat bongsor ini memang cocok untuk para senior seperti saya dan banyak andilnya membantu pelayanan saya selama 4 tahun di GKI Kwitang.

Sedang Suzuki Side Kick warna biru second hand yang dibeli tahun 1998 dan sering saya pakai bersama Pahala sebagai konsultan IT di PT Taspen Cempaka Putih kami jual dan diganti dengan Suzuki juga, Escudo 2000 cc tahun 2001 senilai Rp 191.200.000,- dari Dealer di Jl. Bypass Rawasari. Penampilan Escudo hitam ini memang macho kayak jantannya Terano, oleh sebab itu cocok dipakai Pahala.

Di samping itu, untuk keperluan keluarga agar muat banyak orang, dibeli pula Daihatsu Taruna 2001 warna silver seharga Rp 138.200.000,-, yang sehari-hari dipakai Peggy dan Antonia selama 6 tahun sebelum diganti dengan mobil paling irit, Honda jazz hitam tahun 2007. Setahun sesudah itu, istri saya membeli lagi Hyundai Accent warna krem dengan model gaul-sport yang dipakai hingga 2007.

Maka, seiring dengan kepindahan kami di penghujung tahun 2001 ke rumah baru di Jl. Putih Salju, Kelapa Gading, maka digarasi dihuni tiga unit mobil baru Altis, Escudo dan Taruna.

Pada tahun yang sama, untuk anak kami yang telah menikah kami membantu mereka sejumlah uang sebagai down payment  membeli mobil. Ramos membeli Timor, sedang Monang di Amerika memilih Honda.

Tanpa disadari, gonta-ganti, jual-beli mobil selama 16 tahun dari tahun 1984-2001, kami telah membeli tidak kurang dari 26 unit, sebagian dipakai untuk dinas, keperluan usaha, kuliah dan sebagian besar untuk konsumtif.

No comments: