Thursday, July 18, 2013

SELAMAT JALAN PUTRIKU // BORHAT MA DAINANG





Moseley Simatupang & Vera Situmeang


  S
eperti dikatakan oleh Kahlil Gibran bahwa anak-anak bak anak panah yang melesat jauh ke depan, orang tua adalah busurnya, anak adalah anak panah dan Tuhanlah pemanahnya, dimana orang tua adalah era masa lalu, sedang mereka adalah anak-anak masa depan dan  jangan memaksakan jalan pikiranmu.
Anak panah saya melesat satu demi satu,  borhat (meninggalkan) rumah orang tua dan pergi bersatu dengan soulmate yang dicintainya seperti tertulis dalam Ephesians 5:31 : “For this reason  a man shall leave his father and mother and be joined to his wife and the two shall become one flesh.”
Anak panah perdana adalah Vera Maryati, yang diboyong suaminya ke Perumahan Reny Jaya, sekitar Pamulang menjelang Natal, tepatnya tanggal 14 Desember 1997, yang  kemudian disusul oleh Monang yang memilih tinggal bersama istrinya, Indonesian American di California Selatan,  dan terakhir, anak bungsu, kesayangan Ibunya, Pahala, setelah menikah di ulang tahunnya yang ke-27, tanggal 9 April 2005, memutuskan untuk tinggal bersama mertuanya di Mampang Prapatan, sekitar Warung Buncit, Jakarta Selatan.

Tinggallah kami berempat dirumah Kelapa Gading, Jakarta Utara bersama Peggy dan putrinya, Antonia Jones, si keriting yang cerdas dan cantik, tanpa cucu yang ceria ini,  disaat-saat tertentu, di kala sendiri, tidak dapat dipungkiri …….sepi menggayut dihati, apalagi Peggy yang bekerja double jobs dan isteri saya pergi mengantar-jemput  cucu jantung hatinya ke sekolah atau les sampai sore hari.

Moment moment seperti itu, kadang tidak terasa mata basah, merefleksi jauh ke masa silam, terbayang kebersamaan yang mesra begitu lama bersama anak-anak, sejak masa kecil hingga mereka merangkak remaja/pemuda, secara perlahan dan pasti pergi sekolah/kuliah jauh dari rumah, hingga menikah dan……… meninggalkan rumah yang tenang,  tidak pernah melihat dan mendengar  prahara pertengkaran, selalu akur, adik menghormati abang dan kakak, dan sebaliknya, yang lebih tua memperhatikan, melindungi serta menyayangi yang lebih kecil.

                                                Prosesi masuk penganten dan rombongan

Pernikahan Kudus
Setelah anak mencapai usia dewasa, orang tua wajiban menikahkan anak anaknya dengan calon pilihan hati masing-masing, sedang  orangtua hanya berwajiban memberikan wawasan, memilih teman seumur hidup yang terbaik, tetapi  setelah mereka memutuskan memilih pujaan hatinya, maka kami memposisikan diri untuk  tutwuri handayani.

Dari keempat anak, hanya anak sulung yang menikah dalam perhelatan pesta adat yang merupakan momen bersejarah yang sangat membekas tertoreh di hati orangtua yang harus bersiap diri, melapangkan dada, melepas kepergian anak sulung, teman berbagi kebahagiaan dan perjuangan hidup sejak dari nol ,sekarang akan pergi bersatu dengan pilihan hati yang dicintainya, memulai dan menapaki hidup yang baru.
Sedang ketiga adik lainnya yang menikah dengan suku dan bangsa yang berbeda belum menikah secara adat.

Ritual pernikahan Vera dalam satu hari penuh itu, diawali di suatu minggu pagi, langit cerah, matahari hangat menyambut rombongan keluarga besar pengantin pria,pagi hari itu berkumpul dan bergerak dari depan gerbang pagar menuju pintu rumah kami di Jl. Janur Elok XIII Kelapa Gading dengan diawali oleh seorang Ibu muda, Irene, kakak kandung pengantin pria, dengan kebaya lengkap berselendang ulos menjunjung tandok beras di atas kepala dan dibelakangnya disusul dengan Ibu kandung pria bersama keluarga besar Simatupang, termasuk kaum pria dengan pakaian lengkap didampingi istri, semua menyandang selendang/ulos di bahu.

                           Rumah d Jl. Janur Elok, Klp Gading, Jakarta 
Acara  dipagi hari ini relatif singkat, acara makan dan doa bersama keluarga besar kedua pengantin memohon turut campur Tuhan dalam tiga ritual acara, mulai dari “sibuhai-buhai” dipagi itu, dilanjutkan pemberkatan nikah kudus di Gereja Advent Bendungan Hilir, persis dibelakang Gedung BRI Semanggi, hingga akhirnya pesta adat nagok di Gedung Hermina, Warung Buncit, Jakarta Selatan.

Rombongan pengantin pria disambut dengan muka ceria oleh keluarga besar Situmeang, yang menanti dengan  muka ceria  persis di depan pintu,  ditangan kanan saya dan isteri menggenggam butir-butir beras, yang kemudian menaburkannya ke atas, sebagian mampir dikepala dan pakaian tamu, sebagai simbol ucapan selamat datang, yang diikuti suara koor  meneriakkan : “horas-horas”,  sambil menerima tandok dan bakul bakul yang berisi makanan lauk pauk masak, yang dibawa rombongan untuk sarapan bersama. Acara adat sibuha-buhai ini saya tutup dengan doa  untuk selanjutnya berangkat beriring iringan menuju Gereja.

Setelah semua keluarga dan undangan mengambil tempat duduk didalam Gedung Gereja, tinggallah saya dan Vera berdiri sementara menunggu dengan rasa tegang dipintu utama, sebagai pengalaman menikahkan anak tertua, dibantu oleh adik kami Diana Situmeang Mangilomi yang akan memberikan aba-aba kapan saatnya mulai melangkah menuju altar.

Detik-detik prosesi ala Barat itupun dimulailah  dengan alunan nada piano…  5 1 1 1 . | 5 2 7 1 . | 5 1 3 4 . | 3 2 1 . 7 1 2 | 5 1……dst. Tangan kiri saya mengapit tangan kanan Vera sambil menapaki langkah langkah kecil mengikuti irama musik,  tertahan tertatih menyeret gaun putih panjang yang menjurai di lantai ,…………menuju depan altar hingga berhenti, berdampingan  dengan calon suaminya, yang kemudian tangan kanan anakku saya serahkan untuk digandeng oleh tangan  Moseley, untuk selanjutnya berjalan lima langkah menuju altar, dan disana sudah berdiri menanti Pendeta yang memimpin pemberkatan, yang tidak lain adalah Pdt. Simanjuntak, paman kandung pengantin pria.

Menjelang tengah hari, setelah tangan Pendeta memberi berkat dan diakhiri dengan pembukaan cadar, Pendeta  menguckan :”Sekarang dipersilahkan mencium pengantin wanita”. maka resmilah keduanya menjadi suami-istri secara hukum dan agama, untuk kemudian bergegas berganti pakaian menuju tempat yang disepakati yaitu “halaman” rumah orang tua pengantin perempuan, yang secara resmi menjadi tuan rumah pesta adat yang direpresentasikan di Gedung Pertemuan Hermina di daerah Mampang,Warung Buncit, Jakarta Selatan. Demikianlah urutan formalitas, didahului peremian oleh Negara secara hukum melalui Pejabat catatan sipil, disusul dengan peresmian secara agama dan ditutup dengan peneguhan secara adat.

Gedung Hermina, Jl.Warung buncit, Jakarta

Pesta Adat

Sambil menunggu rombongan berangkat dari Gereja, di Gedung Hermina, Abang Junias terus memonitor keberadaan kami dan menginformasikan bahwa undangan sudah ramai dan menunggu disuatu ruangan besar penuh dengan dekorasi pelaminan  dan backdrop bernuansa dan atmosfir “Batak banget”, didominasi warna merah darah, diiringi sebuah Band dan penyanyi  trio dipojok kanan yang tanpa henti melantunkan irama dan lagu lagu daerah Tapanuli yang menghentak telinga dan para Ibu yang berselendang ulos berbagai corak tenunan, sedang di belakang panggung pelaminan suguhan katering dari restoran sudah siap melayani tamu.

Hanya diperlukan 15 menit perjalanan di siang minggu yang sepi itu, iring iringan rombongan pengantin satu demi satu berjejer memasuki halaman gedung diawali oleh pengantin dengan perlahan melangkah dengan anggun turun dari Mercedes hitam, tangan kiri suami menggandeng tangan kanan isterinya mengenakan pakaian adat, lengkap dengan  aksesorisnya dan selembar sarung dipundak suami, terhenti sejenak diambang pintu untuk selanjutnya bergerak sangat lamban bahkan kadang terhenti dibelakang para gadis, yang sedang menari  lembut gemulai menghantarkan rombongan menuju ke pelaminan, diiringi musik khas  oleh Band Lapo Roma.

Sambil melangkah, saya dan istri tak henti-hentinya melempar senyum dan mengangguk kepada keluarga, teman dan undangan, dikiri kanan jalan masuk yang memenuhi kursi, sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan kami atas kesediaan mereka untuk datang memberikan doa restu memenuhi undangan kami. Mereka duduk berkelompok, disebelah kiri adalah kelompok paranak, (keluarga pihak wanita), disebalah kanan kelompok parboru (keluarga pihak pria) dan kelompok terakhir adalah parsubang (muslim dan non Batak) di lantai dua.

Pengantin, orang tua kedua pengantin dan kerabat atau saudara terdekat, satu ayah atau satu kakek yang duduk di pelaminan, dimana yang ikut  bersama kami adalah  Bapak Uda Barain dari Palembang, Kaharuddin dan isteri, Ketua Situmeang Rawar dan isteri, sedang Bapak Uda Maddirin duduk bersama keluarga lain, karena tidak mengetahui beliau berada di Jakarta, Menurut adat, jika saudara satu ayah atau satu kakek tidak ada atau tidak hadir disuatu pesta, maka akan digantikan oleh keturunan Situmeang Rawar dari Ompu Sangganiaji atau dari kakek  lainnya, jika disatu tempat tidak ada keturunan dari satu nenek.

Prosesi adat acara secara formal dimulai dari penyambutan tamu-tamu dengan memprioritaskan kelompok parboru  yang didahului kelompok paman pengantin wanita dan disusul kemudian oleh kelompok paman pengantin pria, sebagai rasa hormat kepada hula-hula (pihak wanita) ditandai dengan pengumuman agar semua berkumpul diambang pintu untuk menunggu jemputan tuan rumah. 

Kami bersama saudara  yang duduk di pelaminan turun dengan melangkah kecil kecil setengah menari tor-tor diiringi musik, berjalan menuju pintu utama sambil kedua telapak tangan  “menghadap ke atas” dengan jari jari yang digerak gerakkan, suatu simbol siap menerima berkat dari paman, yang mencintai kami terutama bere (keponakannya), sesuai  peribahasa : “Amak do rere, anak do bere” yang menempatkan status bere (ponakan) sama dengan status anak artinya anak adik/kakak perempuan adalah anaknya sendiri, bahkan  secara adat, anak  diprioritaskan dijodohkan dengan “pariban”, anak gadis pamannya terlebih dahulu, baru calon lainnya untuk meneruskan kedekatan kekerabatan. Ketentuan adat ini benar dipegang teguh, paman sangat menyayangi ponakannya, bahkan tidak diperkenankan untuk dimarahi.
 Setelah rombongan kami, yang semuanya menyandang selendang ulos, bertemu kelompok paman dipintu utama, kami kembali lagi kepelaminan dengan melangkah mundur perlahan-lahan mengikuti alunan musik riang, tetap dengan posisi telapak tangan tetap menghadap ke atas dan diikuti rombongan keluarga paman maju kedepan dengan gerakan tor-tor, sambil kedua tangan mereka “menelungkup kebawah” sebagai simbol memberi restu-berkat.kepada Raja Situmeang.

Prosesi berikutnya  akan diulangi lagi oleh keluarga pengantin pria untuk menyambut rombongan keluarga paman pengantin pria, yang melambangkan paham “patriarchat”, menempatkan laki-laki sebagai Raja yang tidak sewenang wenang tetapi selalu menghormati keluarga istri, keluarga  perempuan, keluarga paman kedua pengantin

Acara prosesi kedua yang tidak kalah uniknya adalah prosesi mengantar lauk dimana pihak pria datang membawa baskom raksasa berisi potongan besar-besar daging, bisa daging babi, sapi atau kambing dan sebaliknya, pihak wanita datang membawa talam besar, di atasnya tergeletak beberapa ekor ikan mas matang ukuran besar sebagai simbol pengharapan semoga keluarga pengantin pria senantiasa bersatu, beriring-iringan seperti ikan menyambut dan membina keluarga yang baru itu, di lingkungan keluarga besar mereka.

Daging dan ikan secara bergantian diserahkan terimakan, di mana salah satu wakil akan berbicara mengenai makna pemberian daging/ikan, sambil  tangan orang tua dan saudaranya memegang pinggiran baskom/talam atau memegang pundak orang tua pengantin, jika tidak dapat menjangkau baskom ikan.

Acara puncak sebenarnya adalah penyerahan TUHOR NI BORU, sejenis mahar melalui proses dialog, pantun, sahut-menyahut, tanya-jawab, tentu dalam bahasa daerah dengan menunjuk juru bicara masing-masing yang dikenal sebagai PARHATA, jago adat yang mampu bernegosiasi dengan rasa respect terhadap kehormatan pihak lainnya, disertai guyon khas yang segar. Juru bicara pihak Situmeang adalah Abang DPL Situmeang, generasi nomor 13, pensiunan pegawai Kedubes AS di Jakarta.

Di dalam dialog secara formal disepakati, diperdengarkan didepan umum melalui mike, nilai tuhor ni boru untuk pembiayaan pesta dan yang berhubungan erat dengan pesta, yaitu sebesar kesepakatan informal yang telah disepakati jauh sebelum pesta oleh kedua belah pihak dengan secara simbolik, tuhor berupa lembaran lembaran uang pecahan besar diletakkan di atas sebuah piring yang dialasi daun sirih dan butir-butir beras, yang diantarkan oleh seorang dari pihak boru, seorang suami dari marga Simatupang _ tidak boleh diluar itu_, hilir mudik mengantarkan uang tambahan hasil negosiasi pihak wanita  dengan mengikatkan sarung di pinggangnya, sebagai simbol melayani Raja Simatupang.

Mahar yang diterima oleh pihak wanita sebagian dibagi-bagi dalam amplop, yang nilainya relatif sangat kecil, tetapi didalamnya terselip nilai hak seseorang, seperti yang diterima adik pengantin wanita, Monang dengan kaget ketika mendengar namanya dipanggil melalui pengeras suara untuk maju ke depan untuk menerima amplop dengan statusnya sebagai simandokkon/simanggokkon atau pengundang.

 
Monang, adik Vera menerima amplop

Kerabat dekat lainnya yang dipanggil dan diperkenalkan melalui mike untuk naik kedepan pelaminan untuk mendapat amplop, bagian  Tuhor ni boru (mahar)  antara lain adalah Kondar, Sijalo-bara, Pasaribu-paman, Dewi-pariban, Husin-todoan1 Bapak kakak-beradik, Lodewijk-todoan2, kakek kakak-beradik, Simanjuntak-Ompung bao, Uda Palembang-pangkaei, Tinur-parorot dan Kaharuddin sebagai bola-tambirik.

Penyerahan amplop dilakukan bergantian oleh sepasang suami isteri dengan gerakan tari manortor sebisanya diiringi musik, dengan mengepit amplop didua telapak tangan menari tortor sebisanya, mulai dari ujung timur sampai ujung barat pelaminan tempat sepasang suami isteri menunggu pemberian amplop mahar itu.

Selama pesta adat berlangsung, terasa terjadi semacam nuansa kompetisi terselubung antar juru bicara kedua pihak, menunjukkan kebolehan masing masing dalam penguasaan istilah baku dalam adat, walau terkadang terasa menjengkelkan atau membosankan bagi mereka yang kurang faham maknanya, tetapi sebagian besar keluarga tetap diam-tenang menyimak, apalagi dibumbui dengan pantun, yang jarang didengar, yang biasanya diamini serentak oleh para undangan seperti suara koor di DPR, berkata “Emma tutu” artinya setuju.

Walau suatu ketika terjadi nada suara meninggi, tapi selalu teredam dengan sendirinya karena kata kata selalu diawali dengan kalimat penghargaan dan permohonan maaf, seperti istilah berikut: “Dihamu raja nami Raja ni Situmeang, mangelek do rohanami aso jaloonmuna pangidoan nami pamoruonmuna, maulitae ma dihamu Rajanami” yang intinya mohon  pengertiannya Raja Situmeang untuk menerima permohonan mereka, terutama dalam negosiasi mahar, yang selalu diawali dengan sandiwara nilai yang tinggi, dalam bahasa yang halus,  dibungkus oleh pantun canggih, yang nantinya mencapai titik yang sudah disepakati sebelumnya oleh kedua calon besan.

Jurubicara pihak pria dalam sandiwara negosiasi ini, yang kadang berbicara sambil berdiri dengan kata kata menyembah tanpa menunduk dengan  menempatkan diri sebagai warga golongan ekonomi lemah atau berasal dari kampung yang sangat jauh yang memerlukan ongkos yang besar bisa sampai di Jakarta dan kata kata pantun bersayap lainnya, oleh karena itu mohon pengertiannya untuk menerima nilai negosiasi terendah.

MANGULOSI

 
Acara puncak MANGULOSI
Acara berikut yang menjadi acara puncak yang dinantikan hadirin, paling berkesan dan menyentuh  adalah prosesi mangulosi, yaitu pemberian selendang ulos oleh orang tua wanita, dilanjutkan ulos dari famili dan teman dekat, sebagai simbol pemberian doa restu dan kasih-sayang yang diawali  pemberian “ulos hela”  (hela=menantu) disamping pemberian restu, juga menjadi momen paling bersejarah melepaskan anak ke rumah dan kampung suaminya yang baru.
 Semua mata tamu dengan serius bahkan tegang tertuju kepada kami yang berdiri berhadapan dengan pengantin yang duduk di dua kursi khusus sekitar 5 meter didepan pelaminan, dikelilingi puluhan kerabat dekat, dengan mata berkaca kaca, ulos saya buka dan bentangkan dengan sedikit gerakan tor-tor yang kaku,  dengan nada bergetar saya melantunkan lagu “Borhat ma Dainang” yang saya hafalkan sebelumnya, dan band ikut mengiringi. 

Makna/inti lagunya sendiri adalah ucapan : “Selamat jalan anakku ke kampung suamimu, jangan bersedih, kami akan segera datang menjengukmu, berdoalah semoga dikaruniai anak dan boru, ” sambil dengan perlahan meletakkann ujung ulos dipundak kanan Moseley memanjang  sampai ke pundak kiri Vera diujung yang lain, yang disambut oleh tangan isteri saya, dengan memberikan pesan singkat melalui  mike : “Terimalah ulos ini sebagai tanda cinta kami, kiranya Tuhan memberkati anakku berdua” dilanjutkan dengan mencium dan menjabat tangan mereka berdua diikuti isteri. Di kala mengetik, mengedit dan membaca ulang Bab ini,  mata saya tetap basah, mengenang dia, yang akan meninggalkan kami for good, dan agar tetap menjadi kenangan indah,lagu diatas saya salin selengkapnya sebagai berikut:
                                                                                        Lagu Borhat ma Dainang
BORHAT MA DAINANG
1.       Borhat ma dainang
Tubuan laklak ho inang tubu singkoru
Borhat ma dainang
Tubuan anak ho inang tubuan boru
2.       Horas ma dainang
Rongkapmu gabe helakki,
dongan matua horas ma dainang
Di tonga dalan nang dung sahat ro di huta

Reff      : Unang pola marsak ho
Ai tibu do au ro
Sirang pe au sian ho
Tondingki, manggom-gom ho!
3.       Menkel ma dainang
Sai unang tumatangis ho martuktukhian
Ingot martangiang
Asa horas hamu na laho nang na tinggal

Musik dan lagu daerah cukup mendominasi prosesi mangulosi ini, dimana pada setiap break, pergantian rombongan (group) keluarga yang akan menyerahkan ulos, band akan mengiringi lagu secara otomatis atau diisi lagu/musik tertentu sesuai permintaan dan pemusik langsung tahu judul lagu/instrumentalia yang akan dimainkan. Suasananya memang agak bising dan hingar-bingar, suara penyanyi dan instrumen Band menimpali orang yang sedang bicara menyampaikan pesan, bahkan kadang kala ada saja yang menganggapnya sebagai sarana entertainment, tidak segan menari tor-tor beramai ramai  sambil membentangkan ulos dikedua tangan mengkuti irama berjoget bersuka ria.

Prosesi mangulosi ini kemudian berlangsung grup demi grup, misalnya grup marga Situmeang, Pasaribu, Pandiangan, Simanjuntak, Sinaga dan marga-marga lainnya. Di dalam tiap grup selalu ada tiga unsur  representasi adat “dalihan natolu”, menyampaikan sesuatu nasehat lengkap dengan doa, dengan sesekali menyelipkan ayat ayat Alkitab atau pantun yang pas.

Yang cukup mendapat perhatian hadirin dan menjadi bintang tari saat itu adalah grup marga Pandiangan, marga ibu saya, diawali oleh seorang pria berusia setengah baya,  dengan gayanya yang unik dan menarik membentangkan ulos di kedua tangan, mengangkatnya tinggi-tinggi, bergerak ke arah pengantin, mundur beberapa langkah, berbalik sambil menurunkan kedua tangannya, sedang kesepuluh jari-jari tangannya yang mengapit ulos bergerak naik-turun, merenggang dan menutup, sambil kepalanya dimiringkan ke kiri dan kanan, sekali lagi  melangkah maju-mundur dengan lutut sedikit ditekuk. Sungguh suatu gerak tari  dengan penghayatan penuh diiringi gendang bertalu talu, yang hanya sedikit yang bisa manortor seperti itu. Mauliate tulang.

Sepanjang prosesi maguloai ini, beberapa orang Ibu berdiri di belakang pengantin untuk melipat ulos yang baru disampirkan, karena akan diganti dengan ulos-ulos lain dari berbagai tipe, corak, ketebalan, bahan tenunan, kualitas yang bermacam-macam, dengan hargan yang berbeda-beda pula, namun terdapat satu benang merahnya yaitu nilai cinta-kasih yang menyertainya, di mana kami dan pengantin sangat menghargainya. Kiranya Tuhan saja yang akan membalas berkat dan kebaikan mereka.

Tiga jenis acara mulai dari sibuhai-buhai, pemberkatan nikah kudus dan  adat lengkap  yang berlangsung dari pagi hingga menjelang malam sungguh melelahkan sekaligus membahagiakan, setelah satu persatu tamu berlalu pulang dan suasana mulai sepi, tinggallah orang tua dan adik-kakak dan pengantin, tangan Moseley menggandeng tangan isterinya yang tertawa manis, setelah cipika cipiki, cium pipi kanan pipi kiri semua yang dicintainya, melangkah hati hati menuruni tangga dan naik dibangku belakang kanan Mercy hitam dengan kaca jendela dibiarkan terbuka.
 Roda mobil pengantin beringsut perlahan, bergerak kepintu gerbang timur meninggalkan kami Bapak, Ibu dan adik adiknya, saya berdiri terpaku termenung, anak sulung belahan jiwa pergi bersama sebuah koper, ada sesuatu ruang kosong dalam hidup saya. Lambaian tangan yang keluar dari jendela sebelah kanan dengan senyumnya yang khas menambah haru, dan  dengan kompak lirih kami  berucap da…..da……Inang, selamat jalan, God bless you. Deru mesin menghela mobil menghilang di kegelapan malam. 

No comments: