Cinta tidak mutlak harus diucapkan secara verbal setiap hari atau setiap event
tertentu,tetapi dapat pula diungkapkan secara non verbal, satu dan
lain hal sesuai dengan karakter seseorang.
Ada teory yang mengatakan cinta itu harus diucapkan langsung sesering mungkin, itu tidak salah, tetapi kalau bentuk lain rasanya tidak salah juga, mungkin kurang sempurna saja.
Seperti cara saya mengungkapkan cinta kepada keluarga, punya ciri tersendiri, yaitu setiap ada kesempatan ke manca Negara selalu menggandeng istri dan atau anak anak. Bagaimana senangnya bisa membawa keluarga ke luar negeri sambil tugas, merupakan kebahagiaan tersendiri dan akan menjadi kenangan indah.
Dalam
perjalanan ke luar negeri dalam periode 15 tahun,
kami lakukan sebanyak
13 kali, hanya sekali saja saya pergi sendiri,
yaitu perjalanan singkat ke Hongkong mengikuti seminar dan pameran Technology informasi tanggal 24-29 September 1990. Kesempatan lainnya, keluarga selalu saya ajak. Itulah bukti nyata
pernyataan cinta keluarga.
Perjalanan yang paling sering adalah ke Amerika Serikat, disamping mengikuti training dan pameran tehnology informasi, juga mengunjungi 3 orang anak yang sedang sekolah di sana, sekaligus mengunjungi banyak daerah tujuan wisata terkenal disana yang sangat menarik untuk didatangi.
Perjalanan yang paling sering adalah ke Amerika Serikat, disamping mengikuti training dan pameran tehnology informasi, juga mengunjungi 3 orang anak yang sedang sekolah di sana, sekaligus mengunjungi banyak daerah tujuan wisata terkenal disana yang sangat menarik untuk didatangi.
Jumlah negara bagian yang sempat kami kunjungi baru 10, mulai dari Washington DC, Washington State, New York, Philadelpia, Virginia, California, Nevada, Arizona, Niagara sampai ke Florida, sedang Hawaii tidak dihitung karena hanya stop over beberapa kali.
Muhibah
ke mancanegara bersama keluarga sebenarnya bukan karena berkecukupan, melainkan
karena biaya perjalanan yang disediakan oleh Bank BRI cukup besar, lumpsum sebesar US$ 650-750 per
hari, di luar tiket pesawat.
Belum lagi ditambah fasilitas pakaian dingin, yang tidak perlu dibeli tiap tahun. Dengan demikian, dana yang tersedia cukup mengcover biaya 2-3 orang dalam satu kamar dan makan, apalagi jika kursus berlangsung cukup lama.
Jika hotel tidak disediakan oleh Tuan rumah, kami menginap di hotel berbintang dengan tarif maximum US$ 125 per malam, sudah cukup memadai. Bahkan kalau agak lama kami menyewa kamar motel/hotel bertarif sangat murah, hanya ± US$ 250 per minggu.
Belum lagi ditambah fasilitas pakaian dingin, yang tidak perlu dibeli tiap tahun. Dengan demikian, dana yang tersedia cukup mengcover biaya 2-3 orang dalam satu kamar dan makan, apalagi jika kursus berlangsung cukup lama.
Jika hotel tidak disediakan oleh Tuan rumah, kami menginap di hotel berbintang dengan tarif maximum US$ 125 per malam, sudah cukup memadai. Bahkan kalau agak lama kami menyewa kamar motel/hotel bertarif sangat murah, hanya ± US$ 250 per minggu.
Kunjungan ke manca Negara
mendapat dukungan Direktur atasan saya, Bapak Sugianto dan Bapak Supari, yang tidak menghalangi staf
yang ingin maju, termasuk pendidikan
ke luar negeri.
Bahkan sejak tahun 1980-an, Bank BRI banyak mengirim staf untuk Program Master ke Amerika Serikat. Belakangan ini mereka sudah menduduki posisi puncak, menjadi Direktur di Bank BRI, BCA, Bank EXIM, Anak anak perusahaan, Cabang luar negeri dan lembaga keuangan lainnya.
Bahkan sejak tahun 1980-an, Bank BRI banyak mengirim staf untuk Program Master ke Amerika Serikat. Belakangan ini mereka sudah menduduki posisi puncak, menjadi Direktur di Bank BRI, BCA, Bank EXIM, Anak anak perusahaan, Cabang luar negeri dan lembaga keuangan lainnya.
Golden gate, San Fransisco
Branch Manager Training
Kesempatan
perdana ke manca negara saya peroleh tahun 1982,
sewaktu 25 orang Kepala Cabang BRI pilihan dari seluruh Indonesia dikirim ke
Filipina dan Thailand selama sebulan. Dan hanya saya, yang beruntung mendapat
kesempatan menggandeng istri mendampingi Ibu Martono, istri Kepala Kanwil BRI
Kupang, sebagai ketua rombongan.
Selama
training yang dibiayai oleh APPRACA, BRI dan Lembaga Kerjasama Teknik Jerman, DTZ itu, rasa percaya diri mulai tumbuh, berani tampil
di depan kelas dengan vocabulary yang pas pasan, walau sudah mengikuti kelas khusus Bahasa
Inggris sebelum berangkat.
Training di Filipina yang berlangsung dari tanggal 16 Mei
- 4 Juni 1982 ini berlangsung di tiga lokasi, yaitu di Central Bank, Multi Storey Building, Manila; di
University of The Philippines Los Banyos dan di Development Academy di Kota
Tagaytay.
Dalam
perjalanan pulang ke Indonesia, masih ada training di Bangkok dari
tanggal 4-9 Juni 1982. Di sela sela
training, para peserta berkesempatan shopping barang barang khas Thailand seperti tas, sepatu dan
emas, gelang ukir halus nan indah. Ada beberapa
peserta yang bertanya terlebih dahulu ke istri saya sebelum membeli, termasuk
Bapak Hutasoit, Kepala BRI Cabang Tarutung.
Setelah
training di Bangkok selesai, di luar rencana semula dan atas biaya
sendiri, rombongan mampir semalam di Hongkong. Saking asyiknya belanja, saya
dan istri ketinggalan rombongan untuk acara
makan bersama diatas perahu di perairan Hongkong.
Keikutsertaan
istri saya menemani Ibu Martono merupakan indikasi kedekatan hubungan kami dengan Bapak Martono
selama di Kupang sampai ke Semarang. Beliau adalah bos saya, sebagai Kepala Kanwil BRI NTT dan kemudian Kanwil BRI Jateng.
Di banyak kesempatan, Bapak Martono sering menjadikan saya dan BRI Kudus menjadi model untuk cabang-cabang lain di Jawa Tengah.
Di banyak kesempatan, Bapak Martono sering menjadikan saya dan BRI Kudus menjadi model untuk cabang-cabang lain di Jawa Tengah.
Washington DC
Studi Banding Komputerisasi
Kesempatan kedua, perjalanan ditemani anak kedua, Monang, siswa SMA PSKD Jakarta, juga mempunyai
kenangan tersendiri, ketika saya ajak dalam
perjalanan studi banding sistem komputerisasi ke Filipina dan Thailand dari
tanggal 15-23 Juli 1989.
Disela sela tugas, Monang jalan sendiri baik belanja maupun nonton, untuk memompa keberanian dan percaya diri, yang berguna tiga tahun kemudian ketika dia mengikuti pendidikan di Amerika.
Disela sela tugas, Monang jalan sendiri baik belanja maupun nonton, untuk memompa keberanian dan percaya diri, yang berguna tiga tahun kemudian ketika dia mengikuti pendidikan di Amerika.
Selama di Manila, kami tidak
lupa kebaktian Minggu di Gereja, di mana
kami diberi kesempatan memperkenalkan diri. Dimalam
harinya bersama Mr. Niles, kami makan makanan Barat di pusat kota (bukan di Makati) berbaur dengan para turis lain dengan menu besar dan herannya Monang bisa melahapnya.
Saya ke Manila lagi pada tahun 1992, training
SESPIBANK Angkatan VIII bersama Pejabat-pejabat Bank dari Indonesia, melakukan studi banding ke
Central Bank, Philippine National Bank, Land Bank, Asian Institute of
Management dan Bank of The Philippines Islands.
Diantara peserta, saya salah satu yang paling banyak mengajukan pertanyaan kepada Tuan rumah (tentu dalam bhs Inggris) dan menjadi bahan penilaian sebagai penerima sertifikat peserta terbaik kursus ini.
Diantara peserta, saya salah satu yang paling banyak mengajukan pertanyaan kepada Tuan rumah (tentu dalam bhs Inggris) dan menjadi bahan penilaian sebagai penerima sertifikat peserta terbaik kursus ini.
Pada hari terakhir di Ibukota Philippina, Mr.Warren Niles, saya dan Monang menuju ibukota
Gajah Putih,
Bangkok. Disana kami
menginap di hotel sangat jangkung di pusat kota. Semalaman itu saya tidak bisa tidur nyenyak, rasanya
bergoyang goyang terus ditiup
angin, dan kontan besok paginya kami pindah ke hotel lain, yang hanya beberapa lantai.
Selama
di Bangkok, tidak lupa membawa anak saya ke restoran dengan pelayan sepatu
roda, yang pernah kami kunjungi tujuh tahun sebelumnya, yaitu Restoran Sanam
Luang. Sebuah restoran yang
kelak menjadi langganan kami di Los Angeles dan Jakarta. Tidak lupa pula wisata
di dalam kota dan belanja souvenir kecil “Kereta
kencana” dalam bingkai kaca, yang saat ini masih
terpajang di rumah. Satu souvenir lain yang dipesan anak anak tidak ketemu,
yaitu banner dengan tulisan GUN N ROSES, yang tenar di zaman itu.
Amtrax to Niagara fall
Pameran dan Seminar Komputer di Hongkong
Perjalanan
berikutnya selama 5 hari dari tanggal 24-29 September 1990, saya menghadiri
pameran komputer dan seminar-Cenit Asia 1990. Sebagian besar topik seminar yang saya ikuti menyangkut sistem
pengawasan, karena aspek teknis, software dan hardware buat saya relatif sulit,
mengingat background saya bukan dari teknik, tetapi keuangan.
Perjalanan kali ini, saya tidak membawa keluarga, tetapi bersama
Konsultan IT Bank
BRI, Mr. Warren Niles dan beberapa orang dari vendor, perusahaan pemasok
hardware di Jakarta. Namun demikian, saya tetap ingat keluarga dan disela sela pameran menyempatkan diri membeli sebuah
cincin berlian mungil, yang mempunyai arti tersendiri, karena merupakan cincin pertama yang saya beli
sendiri untuk istri.
Dulles Airport, Washington DC
Seminar
Komputer di Washington DC
Kunjungan selanjutnya yang menjadi perjalanan perdana ke Amerika Serikat. Kota pertama yang diinjak adalah Washington DC, dari tanggal 24 Mei – 20 Juni 1991. Perjalanan ini merupakan masa kebersamaan yang cukup lama dengan istri dan dua anak laki laki, siswa SMA Monang dan Pahala.
Kunjungan selanjutnya yang menjadi perjalanan perdana ke Amerika Serikat. Kota pertama yang diinjak adalah Washington DC, dari tanggal 24 Mei – 20 Juni 1991. Perjalanan ini merupakan masa kebersamaan yang cukup lama dengan istri dan dua anak laki laki, siswa SMA Monang dan Pahala.
Pesawat United Airlines yang membawa kami dari Singapura landing dengan selamat di Dulles Airport, Washinton DC jam 20.00 tgl. 24 Mei 1991. Sampai di Hotel sudah menjelang tengah malam, tepatnya pukul 23.30. Perut terasa lapar, kami terpaksa makan di Mc Donald karena Chinese Food dan Restoran Steak sudah tutup.
Dari Bank BRI diikuti oleh tiga
orang peserta seminar dengan level jabatan yang sama yaitu Wakil Kepala Urusan (IT, Smart Card, Bisnis BRI
Unit). Salah satu teman dari Bank BRI, Wakil Kepala Urusan IT, Master lulusan AS itu, kemudian bintangnya
bersinar terus, dipromosikan menjadi Kepala Divisi, Kepala
Kanwil BRI Palembang dan sekarang (2013) salah satu Direktur Bank BCA selama 5 periode.
Seusai
pameran ada hari jeda, break seminggu sebelum melanjutkan training lain lagi, sedang dua
rekan peserta lain kembali ke Jakarta. Selama
break seminggu, status saya adalah cuti tahunan, tetapi biaya seminggu itu menjadi tanggungan dinas.Terima kasih BRI.
Diluar seminar, kami dan anak anak meghadapi situasi
dan kebudayaan yang jauh berbeda dengan Tanah air. Kebudayaan baru terjadi di Restoran Korea di pinggiran
Washington DC. Seusai makan, saya membayar dengan cash – bukan dengan card
– dan bergegas keluar. Dibelakang seorang
pelayan menghampiri dan dengan sopan berkata: “Do you forget something?”
katanya. Rupanya pelayan mengharapkan tips.
Buat kami, memberi tips belum merupakan kebiasaan di Jakarta. Dengan rasa geli kami memberi tips juga, dan menjadi bahan lelucon buat kami berempat, saya lupa jumlah tipsnya.
Buat kami, memberi tips belum merupakan kebiasaan di Jakarta. Dengan rasa geli kami memberi tips juga, dan menjadi bahan lelucon buat kami berempat, saya lupa jumlah tipsnya.
Kebudayaan baru berikutnya ialah ketika kembali ke hotel kecil dengan sangat berhati hati menyeberangi jalan padat tanpa zebra cross, menuju hotel, kuatir ketabrak seperti di Jakarta. Eh ......... mobil berhenti dan memberi kesempatan kepada kami untuk menyeberang dengan santai.
Kejadian berikutnya, saya membuka Yellow page, menelpon seorang teman, mantan Konsultan di Divisi kami, Mr. Alvaro Mera. Dia tiga tahun bekerjasama dengan saya.
Setelah berbicara ditelpon, saya mendapat kesan bahwa dia tidak berniat bertemu kami, padahal selama di Jakarta, disamping bertemu setiap hari, dia pernah ke rumah kami di Kelapa Gading dan di Jl. Proklamasi, Jakarta. Dan sebaliknya, kami pernah bertamu ke kediaman mereka di Apartemen Hilton Jakarta.
Rupanya buat mereka, hubungan kami sepenuhnya hubungan profesi. Ada sedikit perasaan kecewa. Tapi itulah perbedaan budaya, lain lubuk lain ikannya.
Los Angeles
Technical Environments Course
Sehabis seminar disambung lagi dengan kursus. Kali ini
kursus bagi manager non teknis menghadapi aspek teknis. Tempatnya dibagian lain
di kota Washington DC. Saya
berangkat kursus dengan naik Kereta api bawah
tanah untuk pertama sekali di AS, dari Motel di Fall
Church di Virginia, 25 km menuju Washington
DC. Kaki saya terasa sakit,
digigit sepatu kulit karena berjalan kaki dengan pakaian
lengkap.
Ketika beli karcis Kereta Api di mesin otomatis, tidak bisa karena tidak punya uang kertas pecahan $1. Saya punya $20. Lalu meminta tolong kepada beberapa orang untuk menukar, tidak berhasil, sampai beberapa menit menunggu, seorang kulit putih bersedia membantu.
Ketika beli karcis Kereta Api di mesin otomatis, tidak bisa karena tidak punya uang kertas pecahan $1. Saya punya $20. Lalu meminta tolong kepada beberapa orang untuk menukar, tidak berhasil, sampai beberapa menit menunggu, seorang kulit putih bersedia membantu.
Lalu turun dari kereta dan naik taksi menuju alamat yang ada di
tangan. Ternyata alamat kursus tsb baru pindah ke lokasi
lain yang relatif jauh. Sialnya sopir taksi (kulit
putih) tidak tahu lokasinya, karena baru hari pertama
bawa taxi,
katanya. Dengan beberapa
kali bertanya, akhirnya terlambat sampai
dengan argo membengkak. Setelah nego, saya membayar jauh di bawah
argometer karena
kesalahanya.
Biaya kursus “Course for
Manager in Technical Environments”
selama empat hari ini relatif mahal, sebesar US$ 1.745 (sekitar Rp. 15 juta), yang diikuti oleh semua warga AS, kecuali saya.
Ada dua tantangan besar yang saya hadapi selama kursus ini, pertama diskusi yang relatif cepat dan kedua diskusi kelompok (empat orang), di mana saya harus memutar otak untuk mengerti istilah istilah teknis agar cepat cepat ikut masuk dalam diskusi.
Ada dua tantangan besar yang saya hadapi selama kursus ini, pertama diskusi yang relatif cepat dan kedua diskusi kelompok (empat orang), di mana saya harus memutar otak untuk mengerti istilah istilah teknis agar cepat cepat ikut masuk dalam diskusi.
Beruntung
seorang warga AS keturunan Birma/Myanmar
memberi keleluasaan bagi saya untuk berpartisipasi. Dengan lugas saya ceritakan
reward system di BRI yang mengirim 16 orang Manager BRI Unit terbaik
(juara) se Indonesia studi
banding ke Malaysia dan Singapura tanggal 15-22 Juli 1990, yang saya pimpin.
Dan ternyata para manager di perusahaan besar di AS menginginkan reward system juga, seperti yang sudah kami praktekkan di Bank BRI.
Dan ternyata para manager di perusahaan besar di AS menginginkan reward system juga, seperti yang sudah kami praktekkan di Bank BRI.
Di
waktu break makan siang, anak mantan
Jenderal Birma ini mengajak saya makan siang di
Restoran Wendys di luar kompleks dengan mobilnya, tentu dengan membayar
sendiri-sendiri, sesuai kebudayaan mereka.
Kursus
hari terakhir saya pulang dengan taxi yang saya naiki dipagi harinya, sopir warga
African American, yang sengaja saya minta menjemput saya, karena sepanjang
perjalanan paginya dia terus menyetel
lagu lagu rohani.
Sepulang
kursus empat hari itu, Thanks God Its
Friday (TGIF), sebagai turis kami sekeluarga, berempat menuju mal di Virginia. Yang pertama dilakukan adalah berfoto
ria di atas piringan. Baru esok harinya, mengikuti Tour ke Capitol Hill/Parlemen AS, Makam
Kennedy di Arlington, Museum Smith Sonian,
masuk kedalam White House, berfoto didepan Kedubes Indonesia
dan masih banyak lagi.
My wife @Macao
Bank
Advance Management Training.
Kemudian pada tahun 1994 BRI memberi kesempatan
lagi mengikuti kursus Overseas Bankers di Philadelphia, yang
diikuti oleh Bankir berbagai
Negara, termasuk empat dari Indonesia, di Wharton School of
Business, University of Pensylvania. Rupanya pada tahun 1994 sekolah bisnis
ranking I di AS bukan Harvard, tetapi justru Wharton School ini.
Penerbangan dari Jakarta ke Philadelpia mampir dulu di Los
Angeles, untuk mendrop anak pertama, Vera. Beberapa hari kemudian saya terbang
lagi dari Barat ke Timur
yaitu kota Philadelpia.
Tiap peserta tinggal sendirian di kamar Suites, Hotel Korman bertarif relative murah $ 2.600, $130 semalam selama kursus 20 hari, lengkap dengan kamar tamu, kamar makan, dapur dan mesin cuci.
Tiap peserta tinggal sendirian di kamar Suites, Hotel Korman bertarif relative murah $ 2.600, $130 semalam selama kursus 20 hari, lengkap dengan kamar tamu, kamar makan, dapur dan mesin cuci.
Istri
Bpk.Alit, Kepala Bank EXIM Cabang Kebayoran Baru, Jakarta menyusul datang, demikian juga istri saya menyusul datang dari Los Angeles.
Dari hotel saya naik Kereta Api ke Bandara. Lalu menunggu di ruang tunggu. Semua penumpang sudah keluar, langsung dekat belalai, tapi istri saya tidak muncul muncul juga.
Lalu saya lari ke telepon umum, tetapi tidak punya koin, untung punya kartu Crdeit Card AMEX Bank, saya berhasil menghubungi istri saya di LA. Di ujung telepon, istri saya malah tertawa: “Kami baru saja pulang dari Bandara Los Angeles, terlambat tiba di bandara walau sudah ngebut,” katanya geli, sambil menambahkan: “Besok saya pasti datang!,” katanya.
Dari hotel saya naik Kereta Api ke Bandara. Lalu menunggu di ruang tunggu. Semua penumpang sudah keluar, langsung dekat belalai, tapi istri saya tidak muncul muncul juga.
Lalu saya lari ke telepon umum, tetapi tidak punya koin, untung punya kartu Crdeit Card AMEX Bank, saya berhasil menghubungi istri saya di LA. Di ujung telepon, istri saya malah tertawa: “Kami baru saja pulang dari Bandara Los Angeles, terlambat tiba di bandara walau sudah ngebut,” katanya geli, sambil menambahkan: “Besok saya pasti datang!,” katanya.
Kasus
keluar paling akhir dari pesawat pernah juga terjadi di Don Muang airport, Bangkok. Istri datang
menyusul sendirian. Dengan rasa khawatir saya menunggu penumpang di pintu
keluar. Ternyata dia keluar paling belakangan, karena harus mengisi formulir di
ruang imigrasi, lupa mengisinya diatas pesawat.
Training
kali ini memang betul betul
Ilmu baru (advance) untuk Overseas Bankers, di mana diajarkan instruments of money
market menganalisa proposal pinjaman dari negara negara Amerika Latin. Bukan lagi menganalisa proposal perusahaan
multinasional atau perusahaan besar, yang sudah biasa kami lakukan.
Jadi diskusinya memang rumit dan complicated, namun demikian memberikan nilai tambah agar kami tidak canggung lagi melayani proyek sindikasi atau go international.
Jadi diskusinya memang rumit dan complicated, namun demikian memberikan nilai tambah agar kami tidak canggung lagi melayani proyek sindikasi atau go international.
Peserta
training ada yang dari Filipina, Indonesia, Arab dan Eropa, tetapi sebagian
besar berasal dari Amerika Latin bergelar Master, seperti halnya dua peserta
dari BRI, Sdr. Wibowo dan Sdr. Hendrawan adalah Master dari AS.
Sedangkan saya dan Sdr. Alit adalah lulusan perguruan tinggi di Indonesia plus lulusan Sespi bank, Sekolah Staf Pendidikan Tertinggi ilmu perbankan, milik Bank Indonesia, di kampus Kemang, Jakarta.
Sedangkan saya dan Sdr. Alit adalah lulusan perguruan tinggi di Indonesia plus lulusan Sespi bank, Sekolah Staf Pendidikan Tertinggi ilmu perbankan, milik Bank Indonesia, di kampus Kemang, Jakarta.
Dua
rekan dari BRI tersebut di atas memang diproyeksikan menjadi Pemimpinan masa
depan, dimana jabatan terakhir Sdr. Wibowo menjadi
Kepala Cabang BRI New York dan Sdr. Hendrawan menjadi Direktur BRI. Itulah
manfaatnya mempunyai pendidikan tinggi dan dari universitas ternama di luar
negeri pula.
Training @ Manila
Kebersamaan dengan keluarga
Seusai
training tanggal 17 November 1994, kami tidak buru buru pulang ke Jakarta, tetapi memanfaatkan cuti
tahunan selama 14 hari bersama 3 orang anak tercinta yang sedang sekolah di
Amerika.
Kami tidak tinggal di hotel, tetapi di Apartemen anak
anak di Colton city, California. Selama
di Colton city, kami senang
belanja bahan makanan dan bumbu di Oriental market karena istri saya memang jago masak dan
ditunggu tunggu anak anak dan teman temannya.
Menu yang paling disukai adalah sop dari tulang/daging empuk. Setelah kami pulang, barulah mereka merasa kehilangan orang
tua dan kehilangan masakan lezatnya.
Untunglah
tetangga, penghuni apartemen lainnya tidak
pernah komplain atas bau yang sangat menyengat hidung. Karena ada kasus, tetangga
menelepon polisi,
911 karena merasa terganggu baunya.
Training @ Bangkok
Pada hari minggu, mengikuti
kebaktian Minggu di Gereja Jemaat Kristen Indonesia, JKI di Upland, Orange
Country yang dipimpin Pdt. Sutanto Adi. Gereja ini
ada di dalam Sinode JKI Kudus, Jawa Tengah, ditempat mana kami sering ikut
kebaktian yang diketuai oleh Dr. Lukas, sahabat keluarga.
From Seatle to LA by Alaska air
Setelah kebaktian, saat yang ditunggu tunggu pun tiba, yaitu menikmati jamuan kasih, masakan Indonesia yang mereka rindukan. Makanan ini merupakan sumbangan keluarga Indonesia secara bergantian tiap hari Minggu.
Pada saat itulah Pdt. Adi guyon dan berkata: “Pak Situmeang mencari menantu jangan jauh jauh, anggota jemaat sini saja,” katanya tanpa menyebut siapa yang dimaksud.
Beberapa tahun kemudian, di tahun 1999, apa yang diungkapkannya menjadi kenyataan, Monang kawin dengan Sarah Halim, lulusan Senior High di jemaat itu, yang pindah ke AS sejak usia SD, kelahiran Jakarta, anak sulung dari Bapak Arief Halim dan ibunya Ida Sianturi.
Di
sela sela cuti, kami menyempatkan mengunjungi beberapa
keluarga Situmeang di kota Lomalinda,
yang umumnya adalah jemaat Advent. “Sekarang di sekitar LA jumlah Situmeang ada
26 orang,” kata John Situmeang. Bahkan jika dihitung
anak anak bisa mencapai 50 orang, yang saya saksikan pada family gathering tanggal
1 Januari 2008.
Waktu
cuti pun berakhir, kami diantar ke Airport LAX, Los Angeles, hingga menit menit terakhir. Sebelum masuk ruang tunggu, seperti biasanya,
kami makan snack dengan perasaan sendu menunggu detik detik perpisahan.
Singapore - Washington by United
Dengan peluk dan cium satu persatu, kami melangkahkan kaki dengan berat, melewati penjaga pintu dan untuk terakhir kali menoleh ke belakang dengan lambaian tangan. Good bye anak anak, We miss you and God bless you all.
Vera tidak ikut pulang bersama kami, dia menyusul kemudian, pulang bersama Moseley Simatupang, yang kelak menjadi suaminya.
Begitualah kisah kebersamaan dengan keluarga disela sela training di Manca Negara atas biaya perusahaan.
Diluar itu ada juga wisata atas biaya sendiri yang kami lakukan bertiga, saya, istri dan anak ketiga Peggy. Topik berikut ini adalah kisah wisata rohani ke Israel melalui Belanda, London dan Paris
L.A - Amsterdam - Tel Aviv
No comments:
Post a Comment