Showing posts with label KEHIDUPAN ROHANI. Show all posts
Showing posts with label KEHIDUPAN ROHANI. Show all posts

Sunday, April 10, 2016

MELAYANI SESAMA UMMAT/JEMAAT




                                             Pendeta basuh kaki jemaat

Anak SM baca puisi saya pd Natal


Sebagai mantan Bankir, maka talenta saya melayani Ummat/Jemaat tidak lepas dari pengalaman saya di Bank melakukan Perencanaan, Pengorganisasian, Pelaksanaan dan Pengawasan.
Perencanaan program dan Anggaran ketika saya menjadi Kepala Bidang Perbendaharaan. Pengorganisasian, ketika saya menjadi Ketua bidang Kesaksian dan Pelayanan. Pelaksanaan ketika menjadi anggota Majelis Jemaat selama 7 tahun. Terakhir melakukan Pengawasan ketika saya menjadi anggota dan Ketua BPK, Badan Pengawas Keuangan di tingkat Klasis Jakarta 1, wilayah Jakarta – Bandung.

Pelayanan.
Saya akan mulai pelayanan saya sebagai anggota Majelis Jemaat baik di Gereja GKI Kwitang, Jakarta Pusat, di Lingkungan II, di Pos Tegal Alur, Jakarta Barat dan Pos Kapuk Muara di Jakarta Utara.

Se
cara kasat mata, setiap hari Minggu kebaktian di gereja GKI, Jl. Kwitang No. 28 Jakarta Pusat selalu ramai pengunjung. Kebaktian berlangsung 4 kali, jam 6.30 dan 08.00 pagi, 17.00 sore dan 19.00 malam.
Khusus kebaktian kedua, jam 09.00 pagi, selalu full house, sekitar 700 pengunjung, memenuhi bangku bangku panjang, termasuk dibalkon menghadap mimbar dan dikursi kursi warna merah darah  di Gedung pertemuan tanpa AC, yang mengikuti kebaktian melalui layar multi media, dengan tiga kipas angin diplafond setinggi 12 meter itu. 

Jemaat Tegal Alur @Natal bersama

Mereka datang dengan wajah senyum dengan pergumulan masing masing, duduk dengan khusuk mengangkat kidung dengan penuh penghayatan. Ketika khotbah, mereka tenang meyimak inti khotbah dan pulang dengan suka cita membawa berkat  yang memberi harapan pertolonganNya dalam kehidupan nyata.   

Kebaktian sekitar 90 menit itu diakhiri dengan amin…amin…amin….. dan pengunjung berbondong bondong pulang membawa berkat memasuki kehidupan sehari hari.
Sebagian bergegas memilih keluar dari sembilan pintu samping kiri, kanan dan pintu utama, tidak sabar mengantri memberi salam “Selamat hari minggu” kepada dua orang Majelis (Pendeta dan Penatua) yang menanti uluran tangan pengunjung di pintu utama.

Mereka menuju parkir mobil yang berjejer dikedua sisi jalan, mulai dari Toko Buku BPK sampai ke Toko Buku Gunung Agung. Sebagian menghentikan taxi, Bajaj, Bus Umum atas Busway, persis didepan Gereja. Pada saat keluar jalanan umum itu agak macet untuk sementara.
Tidak demikian halnya, kami puluhan para Penatua atau Majelis Jemaat, masih melanjutkan pelayanan lain seperti menghitung uang kollekte persembahan jemaat, yang diedarkan pada saat kebaktian berlangsung. Uang tersebut dituangkan dari kantong hitam/merah kedalam dua ember plastik besar berwarna hijau.

Ada juga Majelis  yang
melayani “percakapan” dengan pasangan calon pengantin, percakapan dengan jemaat yang aktestasi, akan pindah ke Gereja lain atau calon jemaat baru, latihan Paduan suara, dan berbagai pelayanan lainnya.
Sebagai konsekwensinya,
sebagian Majelis baru bisa pulang jam 11.00 – 11.30. Saya sendiri biasanya baru bisa meninggalkan Gereja setelah serahterima kas dengan pegawai Kantor Gereja sekitar jam 11.30.

Diskusi lagu2 @Pos Kapuk Muara

Kegiatan di belakang layar sebenarnya cukup kompleks dan khas, versi GKI Kwitang, berbeda dengan aktivitas Gereja-gereja lain. Jika Gereja lain hanya membuka Gereja Gereja kecil yaitu 1-2 Pos Pelayanan atau Bakal Jemaat, maka GKI Kwitang lain lagi.

Gereja GKI Kwitang sendiri
sampai melayani 8 Pos dan 1 Bakal Jemaat yang tersebar di Jabotabek yaitu: 1.Cabang Cendrawasih di Tanah Abang, Jakarta Pusat, 2. Pos Cililitan, di belakang Gedung BAKN, Jakarta Timur, 3. Pos Kapuk Muara, Jakarta Barat, 4. Pos Tegal Alur, Cengkareng, Jakarta Barat, 5. Pos STIP Marunda, khusus taruna/i pelayaran di Jakarta Utara, 6.Pos Sindangkarsa, Kabupaten Bogor, 7. BAJEM, Bakal Jemaat Pos Jatimurni, Pondok Gede, Bekasi,  8. Pos Wisma Jaya, Bekasi Barat, dan terakhir, 9. Pos Karawaci di Perumahan LIPPO Karawaci, Tangerang.
Dalam organisasi Gereja kami terdapat dua kutub yang berbeda, disatu sisi, pihak Majelis Jemaat  berargumen sulitnya mencari SDM, Calon Penatua/Majelis ataupun aktivis untuk mengisi formasi di Komisi, Panitia, Tim dan Badan Pelayanan lainnya. Sedang difihak lain, potensi jemaat cukup melimpah, sekitar 6600 orang.

S
ebenarnya banyak diantara jemaat/simpatisan yang rindu, ingin berpartisipasi baik tenaga, waktu, pikiran, doa dan dana. Hanya saja belum tahu jalan atau prosedur, atau ada rasa segan. Bahkan beberapa simpatisan ingin ikut aktif melayani walaupun belum menjadi anggota. Informasi ini saya peroleh dari dua kali acara pertemuan khusus antara Majelis Jemaat dengan para Simpatisan.
Sebagai contoh, saya sendiri mengalaminya. Sebagai jemaat, saya tidak pernah diundang dan didekati oleh para Majelis lingkungan sewaktu kami tinggal di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat. 

Gereja GKI Kwitang

Baru 12 tahun kemudian, dua orang Majelis Lingkungan II, Pnt.Haryono Sukarto dan Pnt.Untari Takain, datang di rumah kami untuk meminta kesediaan saya menjadi anggota Majelis. Mereka baru mengenal saya setelah saya aktif dalam Paduan Suara pria.

Dalam percakapan tsb., semula saya masih ragu, karena belum paham fungsi sebagai Majelis. Tetapi keragu-raguan saya kemudian didorong oleh istri saya dengan berkata berterus terang : “Agar suami saya lebih mengerti firman Tuhan”, katanya. Memang saat itu, saya akui istri saya lebih setia  membaca Alkitab dari saya, sampai-sampai halaman-halaman Alkitabnya lebih indah dari aslinya, full color.

                                         Paduan suara Lingkungan II

Akhirnya tepat pada hari paskah 2002 pada kebaktian jam 09.00, saya dan puluhan Majelis lain ditasbihkan dan berjanji dihadapan Tuhan dan disaksikan oleh Jemaat menerima tugas sebagai pelayan jemaat selama tiga tahun, sampai dengan Maret 2006. Pelayan sesame ini volunteer, tanpa mendapatkan imbalan apapun.

Pada tahap tahap awal saya melakukan beberapa kali kesalahan dalam pelayanan seperti kejadian kejadian berikut ini.
Pertama,
salah berputar dalam membagi anggur dalam perjamuan kudus.
Kedua,
lupa mengundang jemaat untuk berdiri pada waktu mengawali kebaktian. Ketiga, grogi memimpin doa persembahan dan doa awal sebelum kebaktian diruang konsistori,
Keempat,
merasa canggung waktu memimpin rapat untuk pertama sekali sebagai Ketua Panitia HUT.GKI ke 75 dan sebagai Ketua Bidang Perbendaharaan. Pada akhirnya learning by doing dengan sungguh sungguh, setelah menguasai medan, percaya diripun muncul kemudian.

                                        Pelayanan ke Desa Sampetan, Salatiga

Seiring dengan berjalannya waktu disertai dengan siraman ayat firman Tuhan yang terus-menerus, bak titik titik air yang mengukir batu karang, akhirnya baru terkuak, bahwa ladang memang sangat luas dan sudah menguning siap untuk dituai, tetapi sayang penuainya sedikit (Lukas 10: 2).

Akhirnya, saya mengambil sikap mengikut suaraNya,  melayani di komisi manapun saya akan rela untuk mencobanya, who knows talenta saya ada di situ. Seperti nasehat rasul Paulus dalam Galatian 6: 4b “Make a careful exploration of who you are and the work you have been given, and then sink yourself into that.”

Konferensi Pekabaran Injil GKI Jateng

Kehidupan bergereja
Refleksi jauh ke masa silam, semasa kanak-kanak hingga usia remaja, saya termasuk jarang ke gereja, sama dengan anak sebaya di kampung. Alasannya, jarak rumah ke Gereja cukup jauh, dengan berjalan kaki ke HKBP Rampa, Kecamatan Sitahuis, yang jaraknya ± 4 km. Di samping itu, peran para orang tua dikampung kami kurang mendorong dan tidak menjadi teladan. 
Baru di usia 14 tahun, ketika kami pindah ke kota Sibolga. Jarak rumah ke Gereja hanya sekitar 500 m, lonceng Gereja terdengar nyaring, sehingga frekuensi  ke Gereja meningkat. Kegiatan Gerejawi di luar hari Minggu, belum saya kenal di kala itu. Nuansa hari Minggu menjadi hari istimewa di Sibolga, persis seperti suasana hari Minggu di kota-kota di NTT, jalanan didepan rumah kami akan ramai sebelum dan sesudah kebaktian.

Latihan koor sebelum pelayanan


Pagi menjelang siang, jemaat sudah diingatkan sampai tiga kali melalui lonceng yang berdentang di menara, ditarik dengan tali-tali besar dari bawah. Dentangan lonceng
ini sangat nyaring berbunyi teng…..tang…..teng…..tang, karena jaraknya yang begitu dekat. Jika tidak terhalang pohon dan Sekolah Teknik Ambak Schoel, Gereja HKBP Sibolga julu bisa kelihatan dari rumah kami.
Di pagi Minggu dengan sinar mentari cerah menyinari,  saya dan tetangga, tua muda dengan pakaian rapi, disetrika, sepatu disemir, rame rame berdampingan melangkah bersama ke hulu mengapit Buku Nyanyian rohani bahasa Batak tanpa membawa Alkitab, karena di masa itu, tahun 1950an belum zamannya ke Gereja membawa Alkitab.
Kebiasaan rutin ke Gereja kemudian terbawa juga ke kota muslim di selatan, kota Padang Sidempuan. Bahkan, malam Minggu pun tidak memilih nonton bioskop, tetapi ikut kebaktian di HKBP Angkola berbahasa Batak Mandailing yang halus, jauh berbeda dengan bahasa Batak Toba yang logatnya keras.

Kebaktian di GKI Kapuk, Jakbar

Firman Allah yang disemaikan di usia remaja, kemudian dari masa ke masa semakin bertumbuh disirami kegiatan pemuda HKBP Kotabaru, Yogyakarta, Paduan Suara (PS) pemuda HKBP Grogol, Jakarta Barat pimpinan ahli bedah dr. Sidabutar. 
Kegiatan memuji Dia tidak menjadi putus waktu saya bekerja di Jambi. Hanya saja tidak lagi latihan koor pemuda tetapi bersama PS Ama, grup bapak bapak di Gereja HKBP Jambi, walau saya masih jomblo ditahun 1969.
Di lingkungan Paduan Suara Ama di Jambi ini saya merasa welcome dan at home. Situasi, suasana dan nuansa latihan di rumah warga HKBP dengan kebudayaan Batak banget, yang belum pernah saya alami di masa kecil, karena sejak remaja/SLTP saya sudah merantau meninggalkan kampung kelahiran.



 Vocal group Pemuda Kapuk

Dengan demikian dari kecil hingga usia 30 tahun, ajaran Gereja HKBP yang reform, sudah menjadi bagian dari kehidupan saya. Ajaran ini kemudian tetap saya anut walau sering berpindah kota, gonta
ganti nama Gereja, tetapi tetap dalam satu asas, Gereja reform.
Di Kebumen, Jateng, kami ikut di Gereja GKI di mana dua anak sulung dan nomor dua, murid TK Katholik dibaptis. Sedang selama di pulau Timor, NTT hampir 5 tahun, kami bergereja di Gereja yang seazas juga yaitu GMIT, Gereja Masehi Injili di Timor yaitu di Gereja Oeba, Kupang, yang  hanya berjarak 100 meter dari rumah kami di straat A. Di kota Atambua ikut GMIT Polycarpus, disana anak ketiga dan yang bontot dibaptis di usia balita. 

Retreat di Gadog, Bogor
 
Selama di Kebumen maupun di Timor, kami memang tidak ikut menjadi aktivis Gereja, tetapi kami jarang absen kalau hari Minggu.
Baru setelah kami kembali lagi ke Jawa, sedikit demi sedikit mulai ikut aktif berdiakonia, mendampingi penginjil ke kota-kota kecil seperti Juwana di Pati, Sampetan di Boyolali, Salatiga, Kopeng dan lain-lain di Jawa Tengah.

Khusus ke Sampetan, Boyolali, saya bersama Dr. Lukas dan istrinya Penginjil, Ibu Lukas bersama-sama nasabah inti BRI Kudus, pengusaha besar percetakan PT. PURA, Bapak Jacobus Busono bersama 5-6 orang staf inner circle-nya membantu membangun Gereja yang roboh karena angin puting-beliung, memberi pengobatan cuma-cuma dan memutar film. 

Paskah di GKI Kwitang

Sedang di kota
Kudus, kami mengikuti Gereja Muria Kudus, Gereja seajaran dengan GKI. Di Surabaya, rumah dinas kami terletak di Jl. Diponegoro No. 73, oleh sebab itu, kami memilih bergabung dengan GKI Diponegoro.

Sejak station menetap di Ibukota sampai 20 tahun, saya memilih bergabung dengan GKI Kwitang, Jakarta. Jatuhnya pilihan di Gereja ini karena letaknya sangat strategis dan jaraknya relatif dekat dengan kediaman pertama kami, di mess BRI di Jl. Proklamasi, persis sebelah pagar Sekolah Tinggi Teologia Jakarta Pusat.
Tinggal di mess BRI hanya 1 tahun lebih, kami pindah jauh di Kelapa Gading di Jakarta Utara, sekitar 10 km jaraknya ke Kwitang, tetapi saya tetap setia menjadi anggota jemaat GKI Kwitang sampai saat ini.
                                  Pdt.Agus M menyerahkan pohon mangga ke Walikota Jakpus

Semenjak tahun 1987 ke atas, setiap Minggu pagi, biasanya saya dan istri mengikuti kebaktian kedua jam 08.30 sambil menunggu dua anak SD, anak ketiga dan si bungsu mengikuti kebaktian Sekolah Minggu di Pos Jerusalem di Gedung PSKD seberang Gereja, sedangkan si sulung dan anak kedua ikut kebaktian remaja di lantai 3.
Tetapi semenjak anak mulai remaja, pemuda, tinggallah saya dan istri dengan setia ke Gereja, tetapi beralih  pada kebaktian ketiga, sore hari pukul 17.00.
Bangku baris ke-3-4 dari belakang tempat biasa duduk, menjadi saksi bisu kehadiran kami selama puluhan tahun. Tak pernah ada sapaan dari Majelis atau Pendeta, kecuali di suatu ketika saya terkejut, Pdt. Daud Palilu (Alm.)  dari mimbar meminta kepada Majelis yang sedang bertugas berkata : “Tolong tanyakan, siapa nama Bapak itu”, katanya sambil menunjuk ke arah saya. Rupanya dia sudah familiar dengan wajah saya dan istri. 
                                     Pelayanan di pos GKI Tegal Alur, Jakpus

Dengan kaget dan setengah berbisik saya menjawab, tetapi Majelis menyebut nama saya dengan lantangnya. Pak Daud langsung menyambar: “Situmeang dari Sipoholon ya?” katanya dengan mantap dan yakin.

Sipoholon, Tarutung, Tapanuli Utara  adalah daerah asal muasal nenek moyang marga Situmeang. Disana ada satu desa bernama Desa Situmeang, suatu wilayah pinggiran kota Tarutung. Kota bersuhu dingin ini menjadi terkenal di kalangan Gereja karena disana ada pusat pendidikan dan Kantor Pusat Gereja HKBP di Indonesia.
Kesetiaan kami mengikut DIA menjadi teladan bagi anak anak sejak usia BALITA dan menjadikan mereka dengar dengaran dan takut akan Tuhan.

                                                  Puisi di Gereja POUK Klp Gading, Jakut

Friday, October 11, 2013

PELAYANAN JEMAAT DI LINGKUNGAN



W
ilayah pelayanan GKI Kwitang dibagi dalam 14 Lingkungan, dimana Kelapa Gading termasuk Lingkungan II mengcover Rawamangun, Pulomas sampai perbatasan Bekasi, wilayah Jakarta Timur.
Persekutuan di Lingkungan II mempunyai ciri khas tersendiri berbeda dengan Lingkungan lainnya, khususnya dalam hal soliditas dan kekompakannya. Lem perekat dari persatuan ini terutama adalah Paduan Suara (PS) Sangkakala yang genap berusia 23 tahun pada tanggal 10 Juni 2007.  
 
PS Ling 2 bernyanyi di Gereja GKI Rawamangun

Pada awalnya, PS yang dipimpin oleh Ibu Ani Gosana, istri Pdt. Hendra Gosana ini dimulai dengan antar-jemput anggota oleh Pak Andi Wijaya, Aditya dan anggota lainnya bisa bertahan dan beranggotakan ± 25 orang. Kemudian pelatihnya diganti oleh Bp. Soebagyo (Alm) dan Ibu Cecil Siregar, istri Pdt. Litos Pane.
 

Latihan koor di rumah kel Soebagyo, Rawamangun

Latihan koor di-back up sepenuhnya oleh keluarga Ibu Soebagyo dan keluarga Bapak Haryono Sukarto, keduanya di Rawamangun dengan setia dan sukacita membuka hati dan pintu rumahnya untuk menggunakan kediamannya latihan setiap Minggu malam. Kami anggota PS selalu mendoakan kedua keluarga ini senantiasa diberkati.

 
Pelatih PS, Ibu Cecil Siregar

Tidak hanya rumah, 5 anggota keluarga Ibu Soebagyo ikut aktif dalam PS mulai dari bapak Soebagyo (Alm), Ibu Soebagyo, Aditya dan istrinya Indreswari serta si bungsu Satya. Sementara itu, peran dan kerelaan hati Bp. Jajang Gandakusumah dengan Panther hijaunya  memboyong tetangganya di komplek BCS Kelapa Gading untuk latihan, yaitu purnawirawan AD, Bapak Soebanindiyah dan Ibu, Ibu Noenoek Iswanto dan Ibu Andy Widjaya. Demikian pula Bp. Rudiyanto dan Ibu datang bersama tiga bersaudara, Sumiati, Ester dan Purwanti di komplek perumahan yang berdekatan. 
 
PS Ling II bernyanyi di Gereja GKI Kwitang

Sedangkan dari wilayah Rawamangun sendiri ada 4 anggota, yaitu Jend. (Purn) AL Bp. Budi Handoko dan Ibu, Ibu Alce Sudiyono dan Ibu Maria Bombong, pegawai Kantor Gereja. Yang tinggal jauh dari lokasi latihan tetapi jarang absen adalah Bp/Ibu Tumarlan, Bp. Petrus Sende dan Demak Sitompul. Khusus Timmy, organis diantar-jemput oleh ayahnya Pnt. Daniel Christanto yang tinggal di Jl. Kalipasir, Cikini, Jakarta Pusat.

 
Anggota Lingk II pd perayaan Natal di rumah kel Tobing, Pulo Mas

Banyak dari kami sebenarnya tidak mempunyai talenta menyanyi, tetapi setelah terus-menerus latihan bertahun-tahun, lumayan juga mendapat applaus tepuk tangan pada kebaktian di GKI Pengadilan Bogor dan di GKJ Rawamangun, Jakarta Timur. Suara saya merupakan satu dari 5 orang bas yang menurut Ibu Cecil: “Range suaranya cukup lebar,” katanya yaitu mulai dari suara paling tinggi hingga suara paling rendah.

Kebersamaan dan persekutuan di Lingkungan II ini sudah berlangsung lama, mulai dari pemahaman Alkitab 2-3 kali setiap bulan diselingi kebaktian syukur keluarga, persiapan perjamuan kudus dan persekutuan Sub-Komisi Dewan setiap triwulan. Memang pesertanya relatif kecil, bervariasi dari 15-30 orang, yaitu para anggota PS Sangkakala, Majelis, mantan Majelis dan keluarga tuan rumah. Saya pada umumnya hadir jika tidak ada halangan yang berarti seperti rapat-rapat atau kesehatan. 
 
Pemahaman Alkitab di rumah kel Subagja, Klp Gading

Solidnya, persekutuan di lingkungan II ini terungkap pada kebaktian pemberkatan nikah kudus Pahala-Sinta bulan April 2005. Tanpa diminta P.S. Sangkakala mengisi liturgi dengan lagu permohonan berkat untuk pengantin.
Pelayanan lain yang sering saya lakukan adalah melayani kebaktian pernikahan kudus dan pelayanan dukacita di rumah, rumah duka atau di pemakaman. Waktu  pelayanan ini biasanya pada jam kerja kantor, sehingga hanya beberapa Penatua yang dapat melayani karena sebagian besar sedang bekerja.
Untuk mengatasi kekurangan Penatua,maka mulai tahun 2006 dimulai perekrutan dengan melibatkan jemaat. Dari sistem rekrutmen baru ini komposisi Majelis Lingkungan II mulai seimbang (fifty-fifty), 6 junior dan 6 senior. Diharapkan ke depan komposisi ini lebih ideal, Pnt junior lebih dominan agar tidak ketinggalan dengan Gereja-gereja lain. 

Disamping itu, jumlah Pnt 12 orang dan penyebarannya perlu diperhatikan agar bisa menjangkau jemaat yang jauh. Sekarang konsentrasi Pnt ada di Kelapa Gading 7 orang, di Rawamangun 3 orang dan 2 orang di luar wilayah ini. Penyebaran ini kurang bisa menjangkau luasnya wilayah pelayanan, mulai dari Kelapa Gading, Semper, Marunda di Jakarta Utara hingga Rawamangun, Pulomas, Pulo Asem, Kayu Putih, Utan Kayu, Pulogebang hingga perbatasan Bekasi di Jakarta Timur.
Namun demikian, dengan pertolongan Roh Kudus kami dikuatkan untuk tetap setia melayaniNya dengan keberadaan dan kendala masing-masing.

Lingkungan IX, Tegal Alur 
 
Doa sebelum/sesudah kebaktian di pos Tegal Alur

Di luar Lingkungan II, sejak bulan Mei 2006 saya juga aktif melayani jemaat di Pos Pekabaran Injil Tegal Alur, yang masuk Lingkungan IX, Cengkareng, Jakarta Barat. Kebaktian di sini berlangsung tiga kali, pagi jam 09.00 Sekolah Minggu ± 50 anak, jam 15.00 remaja (pemuda) 15-20 orang dan jam 17.30 kebaktian umum dewasa 35-40 orang.
Ide saya melayani di pos ini muncul setelah mengetahui bahwa jemaat di sini hanya dilayani oleh Penatua tunggal, Adolfina Pareang selama 23 tahun. Banyak jemaat dewasa menyatakan bahwa mereka dulu diajar sekolah Minggu oleh tante Gereja ini.
 
Anak Sek minggu Tegal Alur membaca puisi karya saya di Natal bersama di BPPT, Jakarta

Mengingat status pos ini adalah Pos Pekabaran Injil yang dikelola oleh Bidang Kesaksian dan Pelayanan (KESPEL), maka saya mengusulkan kepada Majelis agar Penatua dari Bidang KESPEL membantu melayani di pos ini.
Setelah ditawarkan, akhirnya 4 Penatua dari luar Lingkungan IX dengan segenap hati bersedia melayani, yaitu Wakil Ketua Bidang KESPEL, Pnt. Louise Hasibuan, istri pengacara Albert Hasibuan, Pnt. Ratnaningsih dari Komisi Pekabaran Injil (KPI) Lingkungan IV/V, Pnt. Florence Ziliwu dari Komisi Pelayanan Lingkungan VI dan saya Ketua Bidang KESPEL dari Lingkungan II. Sejak April 2007, Pnt. Carolina Tilukay menggantikan Pnt. Louise Hasibuan yang habis masa pelayanannya.

 
Jemaat Tegal Alur di retreat di Bogor

Setiap Minggu jam 14.30, saya yang tinggal di Jakarta Utara akan menuju Gereja GKI Kwitang di Jakarta Pusat  bergabung dengan organis, pemandu pujian, pengkhotbah dan Penatua dengan mobil Gereja yang disetir Pak Fritz berangkat ke Tegal Alur memasuki tol Kemayoran, membayar tiket tiga kali dan exit persis sebelum gate airport Cengkareng di Jakarta Barat. Pada jam 19.15, tiba kembali di Kwitang dan melanjutkan koor di Rawamangun, Jakarta Timur hingga sampai jam 21.00.
Sebelum melayani di pos ini, saya, Pnt. Dominggus, Pnt. Stevanus dan Pnt. Demak dari Tim Pengelolaan Data dan Keanggotaan melakukan dialog dengan jemaat, seusai kebaktian Minggu.
Muncul pertanyaan dari jemaat: “Mengapa saya belum mendapat kartu anggota seperti yang lain, sedang foto sudah lama saya serahkan,” kata seorang ibu lansia. Pertanyaan itu belum bisa terjawab hari itu. Setelah diklik di database komputer, tidak ditemukan namanya dan beberapa nama lainnya.
Usut punya usut, file dokumen dicari. Dari data yang dihimpun, diketahuilah ada asumsi bahwa jika sudah bertahun-tahun setia ikut kebaktian dan telah menyerahkan photocopy dokumen berarti otomatis menjadi anggota jemaat.
Setelah dokumen saya teliti lebih mendalam, ditemukan beberapa hal sebagai berikut:
·         Berasal dari Gereja yang tidak seasas dengan GKI
·         Belum sidi
·         Tidak memiliki surat pindah (astestasi)
·         Menyatakan bergereja di Gereja Jawa di kota asal, tetapi tidak mempunyai dokumen sama sekali
·         Berasal dari agama Budha dan suami masih memelihara tradisi leluhur menyimpan abu di rumah
·         Seorang ibu muda yang telah sidi di Gereja asalnya, menikah dengan agama lain, sekarang      mengikuti katekisasi lagi.
 
Kebaktian di pos Tegal Alur

Dalam persekutuan, tiap Minggu di pos Tegal Alur ini memang tidak mudah membedakan mana yang simpatisan dan mana yang sudah menjadi anggota jemaat. Ini jelas terlihat pada saat kebaktian berlangsung. Dari sikap mereka yang mengikuti liturgi, kita terkesima bagaimana mereka memuji Tuhan dengan khusyu’ dengan irama lagu yang pas diiringi irama organ.
Bahkan beberapa ibu lansia buta aksara yang duduk di sayap kanan dengan lugunya mengikuti lagu di dalam hatinya dan menyimak pembacaan firman Tuhan. Kita juga kagum dengan pembacaan ayat-ayat Alkitab dari lexionary yang dibaca oleh jemaat dengan fasih meluncur dari mulut dan hati, tidak berbeda dengan jemaat lainnya di GKI Kwitang pusat. Tidak hanya itu, banyak jemaat yang selalu dilibatkan dalam kebaktian mulai dari penerima tamu, mengedarkan kantong kollekte persembahan dan pembacaan ayat-ayat Alkitab.
Untuk mencari solusi atas status simpatisan tersebut di atas, saya meminta Pdt. Agus Mulyono agar mengikutsertakan mereka dalam kelas katekisasi remaja/pemuda yang sedang berlangsung. Artinya, para simpatisan itu dianggap sebagai kelas katekisasi khusus, yaitu pendidikan iman dan pengajaran Kristen. Dengan frekuensi kelasnya kurang dari 36 kali (36 minggu), seperti standar waktu katekisasi. Dan katekisasi khusus ini mayoritas adalah  ibu-ibu lansia.
Momen yang dinanti pun tiba. Di suatu sore yang cerah, suasana dan nuansa Gereja kecil Pos Tegal Alur berbeda dari minggu biasanya. Ruangan terasa sempit dan hangat  dipenuhi jemaat dan 23 orang yang akan mengikuti prosesi sidi, mengaku percaya bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan Juru Selamat. Ke-23 katekisan dari usia di atas 15 tahun sampai lansia ini dengan wajah senyum berseri mengenakan kemeja dan blus warna putih berenda dipadu-padan dengan celana dan bawahan berwarna gelap.
Semua calon anggota menghadap jemaat dan berlutut di depan mimbar. Satu per satu kepala ditumpangi tangan dan diberkati oleh Pdt. Agus Mulyono, disaksikan oleh Tuhan dan jemaatnya. Setelah pemberkatan, Pdt menyalami dan sekaligus membantu mengangkatnya berdiri dari jongkoknya. Event bersejarah ini diabadikan oleh fotografer Cyntia Mumu dan beritanya ditulis di majalah Suar Kasih edisi November 2006.
Disamping melayani jemaat dewasa, kami juga bertanggung jawab atas pelaksanaan kebaktian remaja/pemuda, termasuk seleksi para pengkhotbah dari Gereja seasas dan dari lulusan 9 perguruan tinggi teologia (yang didukung dan ditunjuk) oleh Sinode GKI.
Karena sudah mengetahui potensi remaja/pemuda di pos ini, saya memberanikan diri meminta mereka mengisi kebaktian Minggu pra-Paskah ke-4 tanggal 6 April 2007 dengan drama Paskah. Terlepas dari isi drama dikaitkan dengan tema “mengampuni”, mereka dengan percaya diri tampil dari pagi sampai malam di 4 kebaktian. Seorang Penatua berkomentar: “Dramanya cukup baik,” seraya menambahkan: “Orang Kwitang melayani ke Pos Tegal Alur itu biasa, tetapi remaja Tegal Alur melayani di Kwitang itu baru luar biasa,” katanya.
Setelah kembali dari cuti pelayanan selama 6 bulan ke Amerika, dalam rapat Majelis saya mengusulkan peningkatan status Pos Tegal Alur dari Pos Pekabaran Injil menjadi Pos Jemaat karena staus Pos P.ekabaran Injil yg disandangnya cukup lama, 25 tahun. Badan Pekerja Majelis Jemaat bulan Mei 2008 langsung mendukung dan menyetujuinya dan dalam sidang pleno, Persidangan Majelis Jemaat sampai dua kali, tidak seorangpun yang mempertanyakan dan menolaknya.
Segera setelah itu, tepat pada tgl.1 Juni 2008 Majelis Pos Tegal Akur degan Jemaat  mengadakan pertemuan dan sepakat membentuk Sub Komisi Dewasa dan Paduan Suara Jemaat . Ketua Sub KD dipilih Adolfina Pareang, sedangkan Ketua Paduan Suara disepakati Sdr.Joko Pitoyo. Sedang Sekretaris untu kedua dua organisasi itu ialah Sekretaris Susanty dan Bendahara Ibu Lucy Halim.
Seminggu kemudian, tepatnya 080608 adalah hari lahirnya dua Kelompok Kecil Jemaat (K.K.J) yang awalnya diberi nama KKJ Soekarno Hatta dan KKJ Halim Perdanakusumah, dibidani oleh teman teman saya dari Bidang Organisasi dan Kepemimpinan yaitu Bapak I Ketut Trijasa, Jajang Gandakusumah, Ratna Saragih dari Pos Cililitan dan Bapak Sumejo dari Pos Karawaci.
Dua minggu kemudian, tepatnya tgl.22 Juni 2008 pukul 18 - 19 dengan percaya diri saya memberanikan diri melatih Paduan Suara Jemaat di Pos ini karena mencari dan menunggu pelatih dari Komisi SEMUGER tidak kunjung dapat. Beruntung pada hari yang sama jadwal organis ialah Stephani didampingi Ibu Mulany, anak dan isteri Pdt.Agus Mulyono, dengan sukacita ikut melatih Paduan Suara dengan lagu perdana KU YAKIN  aransmen William J.Batter, diikuti peserta 8 orang, disamping anggota lainnya yang kebetulan berhalangan hadir hari minggu itu. 
Bersyukur
Melayani jemaat di lingkungan IX Tegal Alur, Cengkareng memberi khidmat tersendiri untuk bersyukur bisa melayani saudara-saudara seiman yang hidup dalam kesahajaan.
Di hari perkunjungan – hari Rabu – saya bersama 4 orang aktivis diakonia bersama Pak Friz berkunjung sambil membawa bingkisan bantuan dana banjir bandang Februari 2007. Kepada beberapa orang jemaat di Kapuk dan Tegal Alur.
Kondisi rumah mereka sangat-sangat sederhana di lingkungan padat dan level tanah yang rendah, rawan banjir. Sebuah rumah yang sudah dihuni 30 tahun berada 75 cm di bawah jalan, ruang keluarga tergenang banjir. Pada saat kami berkunjung sedang diuruk dari sumbangan dana banjir. Jemaat tidak mampu memperbaiki rumahnya karena kepala rumah tangga hanya kerja harian pada orang lain, tukang jagal perut babi. 

Jemaat lain, seorang tukang cuci, untuk menuju rumahnya melewati jembatan dari kayu-kayu bekas yang rawan ambruk, menyewa dua kamar bilik sebesar Rp 150.000,-/bulan tanpa WC/kamar mandi dan dengan lantai hanya difloor dialasi plastik dan karpet bekas yang tidak higienis. Putri sulungnya jebolan SMP Madrasah harus rela drop-out dan sedang mencari kerja di pabrik karena ayahnya yang Budha hanya tukang ojek yang tidak mampu menyekolahkannya. 
Lain lagi seorang jemaat lansia yang tinggal di rumah pinggir kali seluas 2 x 2,5 meter dengan plafond setinggi 2 meter, sekarang absen ke gereja karena pinggulnya sakit. Mereka dapat bantuan dana banjir juga bersama tetangga sebelah rumah, seorang mantan Majelis Tegal Alur, kernek perusahaan bengkel AC. Istrinya sudah satu bulan tidak ke gereja karena kandungannya pendarahan. Sementara dia tinggal bersama ibunya, jemaat lansia, yang bekerja memelihara klenteng di lantai 3 sebuah ruko dua pintu.
Lingkungan IX, Tegal Alur di Jakarta Barat dan Kapuk Muara, Jakarta Utara merupakan wilayah sasaran pelayanan Diakonia, tempat bermukim asuhan jemaat, Saudara-saudara kita yang kekurangan. Dan sebagaimana Gereja GKI di Klasis Jakarta I pada umumnya, sifat bantuan baru pada tahap karikatif, belum meningkat pada tahap pemberdayaan apalagi Diakonia transformatif.
Untuk bisa sampai ke tahap transformatif ini, saya mengikuti training Diakonia di LPPS GKI-GKJ di Yogyakarta, tanggal 30 Agustus s/d 2 September 2006. Dalam training, kita diasah untuk peka terhadap fenomena yang terjadi di masyarakat dan Gereja terjun masuk untuk membantu secara proaktif, tidak pasif menunggu siapa yang datang meminta bantuan.
 
Training Diakonia di Yogjakarta

Demikianlah sekelumit pelayanan, perkunjungan jemaat di Lingkungan IX yang memberi makna bahwa kita senantiasa bersyukur kepadaNya dimana kita masih bisa berbakti, hidup kita dipelihara, dicukupkan, dilindungi dan diberi tempat berteduh yang layak. Amin.
Pos STIP Marunda


Semula Pos Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran Marunda dilayani oleh Majelis Lingkungan I karena lokasinya terletak di Gunung Sahari, Jakarta Pusat. Tetapi sejak pindah ke Marunda, Jakarta Utara, kami Majelis Lingkungan II turut melayani. Dengan demikian, jadwal pelayanan Lingkungan I dan II berganti-ganti tiap bulan sehingga saya kebagian satu kali setiap dua bulan. 

  
Taruna/i sedang kebaktian

Di pos ini, misi kami hanya melayani kebaktian Minggu jam 10.00 pagi, memberitakan kabar baik dan bersekutu dengan taruna/i jemaat Gereja-gereja lain di sebuah chapel mungil di tepi danau buatan di komplek STIP. Biarkan kami menabur benih, orang lain yang menyiram dan Tuhan yang akan menumbuhkan. Amin.
 
Memimpin liturgi kebaktian minggu

Lembaga Pemasyarakatan (LP) Tangerang

Pelayanan ke LP ini dilakukan oleh Komisi Pekabaran Injil (KPI) setiap hari Senin. Saya mendapat kesempatan membawa renungan di 3 LP (Pemuda, Remaja dan Wanita). Ada beberapa kesan yang dapat saya simak dari pelayanan ke LP. Saya terpesona atas kefasihan mereka menyangkut pujian terutama lagu berirama pop. Mencari ayat firman Tuhan juga relatif cepat. Kesaksian beberapa orang terasa menyentuh dan meyakinkan.  Semua itu seperti  tetesan air di batu-batu keras, seminggu dialiri firman 5 hari oleh Gereja yang berbeda-beda. Bahkan terasa ada semacam persaingan pelayanan, terutama konsumsi dan tipe liturgi.
 
LP Wanita Tangerang
Pembina LP Wanita dengan wanti-wanti berpesan kepada saya: “Bapak jangan terlalu percaya pada apa yang dilihat dan didengar”, sembari meyakinkan: "Isi hati mereka belum tentu begitu, karena ada yang masuk-keluar LP 2-3 kali,” katanya.
Pernyataan pembina LP tersebut bisa dilihat dari statistik mutasi masuk-keluar NAPI Kristen dari waktu ke waktu. Mutasinya memang selalu fluktuatif, tetapi yang pasti trend-nya terus menanjak. Apa yang sebetulnya terjadi?
Salah seorang anggota KPI, Komisi Pekabaran Injil melakukan survei dan kesimpulannya cukup mengesankan. Ternyata sebagian besar NAPI jauh dari persekutuan orang percaya, jarang membaca Alkitab, jarang ke Gereja, tidak pernah bertemu/konsultasi dengan Pendeta.
Dengan situasi tersebut, maka mereka sangat rawan terhadap godaan lingkungan dan rentan terhadap penguasaan diri.

Diharapkan, pembinaan rohani 5 hari seminggu akan menggugah dan membiasakan mereka untuk rindu bersekutu dan firman merupakan menu dalam hidup mereka jika sudah keluar dari LP.
Memang pelayanan ke LP cukup melelahkan dan hasilnya tidak segera nampak kasat mata dalam waktu pendek. 

Saya sebut melelahkan karena Tim KPI dengan rombongan 6-9 orang, setiap Senin pagi dengan setia berangkat ke LP Tangerang. Kebaktian selesai jam 13.00 atau lebih dan baru sore hari tiba kembali di rumah masing-masing. Kita wajib memberi apresiasi kepada rekan-rekan anggota KPI atas dedikasinya. 

Sayang masih banyak jemaat dan Majelis yang belum mengetahui proses dan pelayanan di LP ini. Oleh sebab itu, saya meminta Tim Multimedia menayangkan pelayanan ini dan mengajak jemaat untuk ikut berpartisipasi karena sebagai Gereja kita mempunyai kewajiban untuk menghibur dan mengunjungi orang terpenjara dengan tugas menabur firman kabar baik bahwa setelah lepas dari LP, mereka mempunyai harapan yang pasti bahwa Tuhan memaafkan pelanggaran-pelanggaran mereka, asalkan bertobat.
Demikianlah riwayat pelayanan saya di tahun ke-7 dengan suka dan dukanya. Sebagai Penatua senior saya merasa gagal bila tidak bisa memberikan ilmu kepada generasi yang lebih muda, tetapi tidak sedikit rekan-rekan yang jengkel dengan ritme pelayanan saya yang berlari tak kenal lelah. Saya sering mengoyak-oyak (mengejar) agar cepat berlari.
Banyak ide yang saya lontarkan dan sekali terlontar tidak hanya omdo, omong doang, tidak hanya punya ide, tetapi langsung terjun melaksanakan. Tidak bossy, tinggal perintah.
Oleh sebab itu, from the bottom of my heart, saya mohon maaf atas semua sikap, perilaku dan kata-kata yang tidak berkenan. Kiranya Tuhan Yesus Kristus memberkati pelayanan kita ke depan yang penuh pengharapan. Amin