P
|
erjalanan karir seseorang
sangat erat hubungan, kait-mengkait dengan pendidikan, keahlian, pengalaman
kerja, focus menghasilkan yang terbaik, hubungan yang baik secara vertical dan
horizontal dalam organisasi, networks diluar perusahaan dan tidak kalah penting
dukungan keluarga, terutama istri. Dan itulah perjalanan sejarah dalam karir
maupun profesi yang akan saya sharing dalam Bab dua ini.
Segera setelah lulus S.1 pada tahun 1968 yang
lalu, pemerintah Orde baru yang baru berkuasa sekitar tiga tahun sedang menata
Pemerintahan dan pada waktu itu tidak menerima pegawai baru. Oleh sebab itu,
kami alumni baru harus mencari pekerjaan disektor swasta. Syukur, saya mendapat
job sementara, mengganti teman
alumni yang bekerja di tempat lain yaitu berupa percetakan majalah bulanan bernama
Tjakalsari, sekelas Intisari,
milik Pak Komar, Kolonel AD yang masih aktif di Humas Departemen Hankam.
Beruntung, jenis pekerjaan ini cocok dengan hobi saya, yang gemar membaca dan menulis sejak masa kuliah, waktu itu bacaan favorit saya adalah Intisari dan novel roman berbahasa Jawa karangan Ani Asmoro, sambil belajar bahasa Jawa. Saking addicted membaca, majalah bulanan Intisari itu, habis dilalap hanya dalam sehari-semalam. Sementara itu, untuk mengisi waktu di masa-masa sulit setelah G-30S, kami para mahasiswa dengan bantuan dana dari pengusaha Semarang sempat menerbitkan mingguan “Mahasiswa Indonesia” (M.I) edisi Yogyakarta, dipimpin oleh Sdr. Harefa, aktivis organisasi mahasiswa Katholik, PMKRI. Mingguan M.I menjadi bacaan wajib bagi aktivis dan politikus dipusat dan daerah, masa itu, karena isinya sangat berani dan up to date.
Di perusahaan keluarga skala kecil Tjakalsari ini, saya benar-benar bekerja full-time, karena dalam prakteknya sayalah yang mengelola majalah ini. mulai dari mencari-mengumpulkan bahan tulisan,mencari translator, mencari cover, edit/koreksi langsung di Percetakan Negara, Rawasari, distribusi ke toko-toko buku seluruh Indonesia, sampai pencairan wesel pos hasil penjualan dari luar kota, tentu setelah ditandatangani oleh Bapak Komar.
Sayang, goal yang menjadi cita cita mendapatkan lisensi Readers Digest edisi Indonesia kandas. Baru 30 tahun kemudian, tepatnya tahun 2005, Readers Digest Indonesia terbit.
Pekerjaan di media yang sempat terputus 5 tahun, bersambung kembali tahun 1973 ketika diterima menjadi wartawan ekonomi di harian Suara Karya, yang berkantor di Jl. Tanah Abang II, Jakarta, milik Golkar yang merupakan corong pemerintah dimana semua instansi Pemerintah diwajibkan berlangganan.
Suatu ketika,dalam rapat Redaksi saya memperoleh predikat “Best News” untuk minggu itu dari Pimpinan Redaksi Bapak Assegaf, karena tulisan saya tanggal 4 Oktober 1973 menjadi Headline tentang kendala ekspor karet dengan judul “Para Eksportir Keberatan tentang Harga Patokan Ekspor”, untuk periode 1 Okotber – 31 Desember 1973. Esok harinya 5 Oktober 1973, Presiden Soeharto kontan memerintahkan Menteri Perdagangan, Radius Prawiro mencabut harga patokan yang telah ditetapkan Pemerintah tersebut.
Pengalaman berikutnya adalah peliputan peristiwa Malari 1974, demonstrasi mahasiswa anti produk Jepang yang mengepung Istana, sewaktu Perdana Menteri Tanaka berkunjung ke Indonesia, sehingga untuk mencapai Istana , PM Jepang itu terpaksa naik helikopter. Dengan penuh rasa khawatir, saya ikut meliput demonstrasi itu dengan memakai produk Jepang yaitu merk Honda milik harian Suara Karya.
Industri
Karet
Job kedua yang saya masuki sejak tanggal 1 Desember
1970 yaitu industri Crumb Rubber PT.
Panatraco milik Bapak Hutabarat yang berkantor di Jl. Menteng Raya, Jakarta,
Kantor Departemen Perdagangan sekarang.
Sebelum pabrik berdiri di kota Jambi dan Rantauprapat, saya dan beberapa orang dari beberapa perusahaan sejenis di Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan dan dari Birma mengikuti training langsung di pabrik Crumb Rubber di sekitar Port Dickson, Malaka, Malaysia, milik Guthrie Sdn. Bhd.
Port Dickson
Masa training dilaksanakan tidak lama setelah kerusuhan rasial dan bulan puasa awal tahun 1971 sehingga untuk masuk restoran dipinggir laut Port Dickson harus menunjukkan paspor dulu membuktikan bahwa saya bukan muslim. Sambil makan dikerubungi para pemuda keturunan Jawa, karena senang mendengar “aksen” saya, persis seperti kita senang mendengar logat Melayu yang lucu.
Sebelum pabrik berdiri di kota Jambi dan Rantauprapat, saya dan beberapa orang dari beberapa perusahaan sejenis di Sumatera Selatan, Jambi, Kalimantan dan dari Birma mengikuti training langsung di pabrik Crumb Rubber di sekitar Port Dickson, Malaka, Malaysia, milik Guthrie Sdn. Bhd.
Port Dickson
Masa training dilaksanakan tidak lama setelah kerusuhan rasial dan bulan puasa awal tahun 1971 sehingga untuk masuk restoran dipinggir laut Port Dickson harus menunjukkan paspor dulu membuktikan bahwa saya bukan muslim. Sambil makan dikerubungi para pemuda keturunan Jawa, karena senang mendengar “aksen” saya, persis seperti kita senang mendengar logat Melayu yang lucu.
Perjalanan ke Malaysia dengan stop-over di Singapura ini merupakan perjalanan perdana ke luar negeri, dilepas di Bandara Kemayoran oleh Sdr. Meiman Situmeang (Alm.).Sampai diairport Changi Singapura saya gelagapan ditanya dalam bahasa Inggris oleh petugas loket Singapore Airlines dan masih tetap kaku waktu bertamu ke Kantor Guthrie Sdn Bhd di Kuala Lumpur.
Berselang 20 tahun kemudian, saya mengunjungi Port Dickson lagi, tetapi kali ini menjadi tamu Bank Pertanian Malaysia bersama 21 orang Kepala BRI Unit yang berprestasi dari seluruh Indonesia yang saya pimpin.
Kota Rantau Parapat, Sumut
Hasil training dari Malaysia ini kemudian saya praktekkan selama lebih dari dua tahun di pabrik Crumb rubber di Rantauprapat, Sumatera Utara, di mana saya, seorang executive muda berusia 27 tahun dipercaya menjadi orang nomor satu, Factory Manager, membawahi 5 bagian (Pembelian, Produksi, Teknik, SDM dan Laboratorium).
Sebagai ekonom jurusan perbankan, memimpin sebuah pabrik yang tergantung pada bahan baku petani tidaklah mudah. Mengapa? Karena kualitas bahan baku petani yang buruk dihadapkan dengan kontrak dengan kualitas ekspor SIR (Standard Indonesia Rubber).
Oleh sebab itu, saya bekerja sangat keras, mulai dari pembelian/pemilihan bahan baku, proses produksi dan memonitor menit permenit dryer otomatis sampai ke quality control di laboratorium pabrik milik sendiri.
Untuk mendapatkan kualitas I, SIR 5, bahan baku karet rakyat perlu di-blending, dicampur dengan sheets atau getah angin kelas I juga. Untuk maksud tersebut, kami terpaksa membeli sheets dari Sibolga, sejauh 200 km lebih, yang penjualnya, tidak lain adalah ayah kandung saya sendiri.
Fabrik Crumb rubber
Saya sangat terkesan dengan transaksi ini, karena anak membeli karet dari ayah sendiri. Kejadian seperti ini cukup langka dan tidak mungkin dilupakan selama hayat dikandung badan. Secara jujur, tidak ada KKN, semua harga pasar, saya tidak pernah tahu dan diberi tahu apakah ayah saya untung/rugi dari transaksi ini, karena ayah berhubungan langsung dengan Bagian Pembelian.
Demikianlah cerita karir di industri karet, walau sudah menduduki posisi bagus, income relatif tinggi, fasilitas rumah dan mobil dan makan gratis, tetap tidak cukup kuat menahan saya tetap bekerja di pabrik jauh dari kota besar.
Karena hasrat ingin maju dan usia relatif masih muda, dibawah 30 tahun dan demi hari depan dua anak yang masih balita yang lahir selama memimpin fabrik ini, kami bulat tekad dan nekad ambil risiko berangkat ke Jakarta, walau belum tahu akan bekerja di mana.
Sebelum berangkat, kami pamit dulu kepada famili, Bpk. Pasaribu, Kepala Staf Kodim Kabupaten Labuhan Batu, Rantau Prapat. Dia dengan rasa bingung tidak percaya berkata : “Apakah kalian sudah gila, meninggalkan pekerjaan bagus dan pergi tanpa tujuan?”, seraya menyalami kami dengan mengucapkan “Selamat jalan”.
Kami bersama dua Balita berangkat dari Belawan membawa kasur dengan kapal barang kecil dengan harapan Tuhan akan memberi yang terbaik. Tibalah kami dirumah paman istri, Edy Simanjuntak di Jl. Raden Saleh II, depan RS.Cikini dengan menumpang bemo dari Tanjung Priok dan menganggur.
Inilah perjalanan awal karir dimasa muda sebelum akhirnya memasuki dunia perbankan melalui proses job panjang.
Calon
Pimpinan BRI
Salah satu
program BRI tahun 1970-an adalah rekruitmen calon-calon pemimpin BRI masa depan
yang diberi nama “Calon Wakakanca”, Wakil Kepala Kantor Cabang, suatu program
yang sangat menggiurkan. Mengapa tidak? Step berikutnya jika berhasil pasti
menduduki kursi empuk Kepala Cabang atau Kepala Bank, istilah orang awam.
Saya masuk angkatan kedua tanggal 1 February 1974 dan merupakan angkatan terakhir, tahun 1974, dengan upah bulanan - bukan gaji - sebesar Rp 31.960,- tanpa tunjangan lain lain.
Saya masuk angkatan kedua tanggal 1 February 1974 dan merupakan angkatan terakhir, tahun 1974, dengan upah bulanan - bukan gaji - sebesar Rp 31.960,- tanpa tunjangan lain lain.
Masa job training berlangsung relatif singkat, dua tahun lebih, dimulai beberapa bulan di Biro Kredit Tani dan Nelayan, Kantor Besar BRI di Jl. Veteran, Jakarta Pusat, sebelum ditempatkan di dua kantor cabang di Jawa Barat, yaitu Kantor Cabang Subang dan Bekasi.
Kota Subang
Job training di kota Subang yang sejuk itu sangat berkesan karena saya belajar on the job, mengerjakan tugas seperti karyawan biasa seperti kasir, pembukuan mesin non-komputer, transfer uang sampai penagihan kredit.
Selain itu, Kepala Cabang, Bapak Yoyo Kurdia menugaskan saya cukup lama, mengikuti rombongan Bupati, keliling dan menginap di Desa Desa dalam rangka penyuluhan program kredit pertanian, Bimbingan Masyarakat (BIMAS), sampai istri dan dua anak yang masih balita, berangkat ke rumah mertua saya di di Jambi
Setiap pagi, semua kepala desa dikumpulkan di kantor kecamatan dan Bupati langsung menugaskan saya berdiri didepan papan tulis mencatat data-data kredit per desa sekaligus memperkenalkan nama saya yang lucu ditelinga warga Subang dan dengan berseloroh Bupati menyebutnya “kucing air” yang dalam bahasa Sunda, situ artinya air atau danau dan meong artinya kucing. Situ-meong artinya kucing air. Semua Kepala desa kala itu mengingat nama aneh itu.
Kantor Bupati Subang
Job training kedua di Bekasi tidak begitu beda dimana Kepala Cabang, Bapak Suratno menunjuk saya menjadi anggota Tim penagihan tunggakan kredit BIMAS bersama anggota lainnya, perwakilan dari seluruh anggota MUSPIDA (Pemda, Kejaksaan, Pengadilan, Polisi). Hampir semua desa di Kabupaten Bekasi termasuk Cilincing sudah saya kunjungi tahun 1976 sampai ke pelosok-pelosok melalui jalan tanah, becek, berdebu dan sering membawa pulang rambutan dari perangkat Desa.
Sementara job berlangsung, anak ketiga, Peggy lahir 21 Januari 1976 di RSU Bekasi, hanya ± 100 m dari paviliun kontrakan kami di alun-alun yang asri, tenang dan damai.
Setelah kontrak di Bekasi habis, kami pindah ke perumahan P.N. Garam, Jl. Percetakan Negara XI Blok E No. 15, Jakarta Pusat, persis bertetangga dengan Komplek Perumahan BRI Rawasari, sehingga setiap hari harus dua kali naik bus bergelantungan dan berdesakan, dengan berganti bus di Pulogadung dan pernah mengalami kecopetan tanggal 25, persis hari gajian, pulang karena kantong celana agak tebal menonjol mencurigakan, dua orang coba mencopet, tetapi urung karena saya bicara bahasa mereka, bahkan mereka kabur melocat turun.
Wakil Kepala
Cabang
Kota Kebumen, Jawa Tengah
Kota Kebumen, Jawa Tengah
Masa job
training dua tahun lebih, tanpa terasa berlalu begitu cepat setelah Direksi
menempatkan saya langsung sebagai Wakil Kepala Cabang di Kebumen, Jawa Tengah
mendampingi Bapak Ukar sebelum digantikan Bapak Soepardi, sejak tanggal 1
Januari 1977 dengan gaji pokok sebesar Rp 2.140,- ditambah fasilitas lain yang
memadai.
Malam itu dengan Kereta api kami berlima berangkat dari stasiun Gambir dan tiba di pagi subuh distasiun Kebumen tanpa membawa barang yang berarti , kecuali perabotan dapur dan pakaian, menaiki satu andong sampai di rumah dinas, didepan kediaman Kapolres.
Dengan rasa syukur dan terima kasih kepadaNya, kami tidak perlu lagi mengontrak rumah, bahkan pagi itu juga kami berhak memakai mobil dinas Toyota Canvas, lengkap dengan sopir, Sdr. Kiyamuddin.
Peggy, Vera, Monang, dng mobil dinas pertama di Kebumen
Di samping menjadi Wakil Kepala Cabang yang baru, Kanwil BRI Semarang menugaskan saya setiap minggu mengajar “Pembukuan” kepada para pegawai BRI Unit Desa se-Karesidenan Kedu di Magelang sehingga jalan Kebumen- Prembun-Kutoarjo- Purwerejo- Magelang sudah menjadi pemandangan biasa.
Disini pulalah, pada tanggal 9 April 1978, lahir anak bungsu, Pahala, di RSU Kebumen sebagai anak BRI. Sedang status saya tahun 1976 ketika Peggy lahir sebagai anak swasta karena status saya sebagai pegawai sementara. Di Kebumen pula, Vera dan Monang masuk sekolah TK Katolik dan sempat dibaptis di GKI Kebumen.
Selama dua tahun di Kebumen, kami berkesempatan mengunjungi tempat tujuan wisata Bendungan Sempor yang indah dan goa stalaktit Karangbolong. Dan karena jaraknya tidak terlalu jauh, tidak lupa bernostalgia mengunjungi almamater Universitas Gajah Mada Yogyakarta di Bulaksumur.
Demikian juga dengan orang tua saya, mertua dan adik-adik istri sempat mengunjungi kami di Kebumen, tentu dibawa ke Sempor dan Karangbolong, keduanya di sekitar kota Gombong, Kebumen
Pjs. Kepala Cabang 6 kali
Di suatu
pagi, rekan seangkatan, I Gde Sukarna
menelepon dari Cabang Semarang menginformasikan bahwa saya dipindah ke
ibukota provinsi, jauh di timur, Kupang, NTT, mengisi formasi yang ditinggalkan
Bp. Zen Bujang yang dipromosi menjadi Kepala Cabang di Bajawa, Flores.
Keberangkatan kami persis Hari Ulangtahun Pahala berusia 1 tahun tgl. 9 April 1979 dengan membawa kulkas, diantar oleh satu bus karyawan BRI Kebumen sampai ke Bandara Adi Sucipto Yogyakarta dan stop over di Bandara Ngurah Rai Denpasar dan selanjutnya terbang ke Kupang diatas laut yang biru nun jauh di bawah sana, walau udara cukup cerah, hati tetap berdebar juga membawa seluruh keluarga, sebelum akhirnya landing dengan selamat di Airport El Tari Kupang, yang dikelilingi batu batu karang dan rumput ilalang kekeringan berwarna cokelat.
Di Bandara seorang pegawai BRI Cabang Kupang, gagah dan berpostur tinggi besar, hitam dan rambut keriting menjemput kami, memperkenalkan diri bernama Petrus Pello yang biasa disapa Peu Pello. Saya dipertemukan dengan Kepala Cabang Bp. H. Masri Pulubuhu, sebelum serah terima beberapa hari kemudian dengan Bp. Soeharto, Kepala Cabang yang baru dari Cabang Sumenep, Madura.
Saya dan pegawai senior BRI Cab Kupang, Januari 2012
Kursi Wakil Kepala BRI Kupang secara formal saya duduki selama 1,5 tahun, tetapi secara defacto saya jalani tidak sampai 1 tahun karena saya difungsikan di 6 kota menjadi “ban serep” di enam kota di NTT, menggantikan sementara Kepala Cabang definitif yang mengambil hak cutinya selama 14 hari kerja dalam setahun.
Kepala Cabang yang saya gantikan adalah Bp. Untung Yaddy di kota dingin Timor, SoE, ibukota Kabupaten Timor Tengah Selatan mulai tanggal 20 Juli 1979. Di kota produsen apel hijau ini saya menjabat Kepala Cabang Sementara untuk pertama sekali dan untuk pertama sekali juga keringat dingin membuka kunci kombinasi brandkast, untung karyawan tidak melihat.
Bulan berikutnya, tepat di HUT saya yang ke-36 tanggal 15 Agustus 1979 saya terbang untuk pertama sekali ke Pulau Sumba menggantikan mantan marinir Bp. Benyamin Wiraatmadja, SE di cabang Waikabubak, Sumba Timur. Waktu itu, Airport Tambolaka belum dibangun, sehingga pesawat landing di Bandara Waingapu, Sumba Barat, selanjutnya dari Sumba Barat menelusuri Pulau Sumba menuju Waikabubak di Sumba Timur dengan guncangan badan diatas Jeep Toyota melewati jalan berbatu di malam berbintang di daerah antah berantah didampingi seorang supir, sambil memeluk bedil berburu pinjaman Bp. Saragih Kepala BRI Waingapu.
Dua setengah bulan berikutnya, tepatnya tanggal 2 November 1979 saya terbang lagi ke pulau Flores kekota Maumere, Kabupaten Sikka, menggantikan Sdr. J.G. Purba, yang dulu adalah mantan rekan sama-sama pelonco dan mahasiswa di Fakultas Ekonomi UGM di Yogyakarta.
Kalau di semester II/1979 saya jadi caretaker di tiga cabang, kemudian di semester berikutnya Bp. Kunarto, Kepala Kantor Wilayah BRI Denpasar, masih mempercayai saya sebagai pengganti sementara di tiga cabang lagi yaitu Cabang Waingapu di Sumba Barat mengganti Bp. Berlin Saragih pada tanggal 8 Maret 1980 yang selang beberapa tahun kemudian dipindahkan ke Kantor Pusat karena sakit dan meninggal di usia muda.
Tidak sampai dua bulan di kota Kupang, telex dari Kanwil Denpasar datang lagi dengan instruksinya jelas, diminta berangkat lagi ke kota Ruteng, Kabupaten paling barat Pulau Flores, Kabupaten Manggarai menggantikan Bp. I Made Sudjendra.
Waktu itu saya mempunyai kesempatan melihat binatang Komodo di Pulau Komodo lepas pantai Kabupaten Manggarai, tapi saya tidak berminat karena jijik melihat binatang melata ini.
Yang terakhir, setelah Bapak Soeharto mendapat izin cuti dari Denpasar, dan berangkat ke Jawa tanggal 9 Juli 1980 dan otomatis saya sebagai wakil menggantikannya di BRI Kupang. Hubungan kami dalam dinas maupun keluarga sangat dekat sehingga waktu istri saya menabrakkan mobil dinas Kepala Cabang, Corolla merah, beliau tertawa saja melihat bekas tabrakan yang sudah kami cat sebelum serah terima.
Sementara saya menjabat Wakil Kepala Cabang Kupang, pada bulan Juli 1980 dibuka Kantor Wilayah BRI di Kupang, terpisah dari Kanwil BRI Denpasar, dan lagi-lagi saya ditugaskan beberapa bulan menjadi Kepala Bagian Umum bersama dengan Bp. F.B. Soerendro, Kabag Kredit dan Bp. Siaji, Kabag Pembinaan.
Selama menjabat jadi Kepala Bagian sementara, sempat bertugas dua kali mencarter pesawat untuk mengantar uang logam ke Maumere, dan kedua kalinya dengan pesawat kecil berpenumpang empat orang mendampingi Kakanwil Bp. Martono dan Gubernur Mben Boy dan istrinya Dr Nafsiah, dalam rangka peresmian Kantor Cabang Inpres, BRI Kalabahi, di Pulau Pulau Alor.
Pimpinan Wilayah dan Pimpinan cabang BRI se NTT
Ekspansi ke Timor Timur
Serah terima Kep Cabang dari Mhd Tahir Selo
Hanya hitungan bulan bertugas jadi Kepala Cabang baru di Atambua, dengan semangat menggebu gebu Kakanwil baru saya menugaskan saya untuk membuka Kantor BRI Unit Desa di Maliana, Ibukota Kabupaten Bobonaro, Timor-Timur, dikenal sebagai sektor barat tetangga NTT, relatif sudah aman, dibandingkan sektor timur yang masih bergolak.
Dalam opening ceremony pembukaan BRI Maliana, yang dicover juga oleh wartawan Kompas Kupang, muncul gambar kami bersama Kakanwil, Muspida dengan background dua unit truk Mitsubishi, Kredit Investasi Kecil yang saya berikan kepada dua nasabah baru warga Timtim. Situasi ekonomi, taraf hidup dan aspek hukum, sebenarnya warga Maliana belum layak mendapat fasilitas kredit. Akan tetapi, sebagai provinsi termuda, provinsi ke-26, pemerintah RI bertekad membangunnya.
Di BRI Unit Desa Maliana, saya menunjuk dan menempatkan 4 orang pegawai Cabang BRI Atambua dipimpin Sdr. Cornelis Bria dan untuk mengawasinya, saya harus meninjaunya paling sedikit sebulan sekali, sekalian membawa uang tunai. Pada umumnya, saya bersama istri dan anak-anak melewati kota perbatasan Balibo dengan kondisi jalan berbatu, berdebu, menyeberangi sungai tanpa jembatan.
Tidak lama kemudian jiwa ekspansi Kanwil terus berlangsung, kali ini dengan pesawat saya mendampingi Pak Martono berangkat ke Dilli untuk menemui Sekwilda Provinsi Timor Timur dan Panglima Kodam Dili, untuk mengurus izin pembukaan Kantor Cabang BRI Dili, menambah jumlah dua bank yang sudah ada terlebih dahulu, yaitu Bank Indonesia dan Bank Dagang Negara.
Akhirnya, Cabang Dili Pimpinan Sdr. Saroji diresmikan oleh Gubernur Timtim dan dihadiri juga oleh Kepala Staf Kodam Dili, Kol. Sudjasmin, ipar saya, yang terakhir sebagai WAKASAD, istrinya marga Situmeang yang cukup kenal dekat dengan keluarga saya di Sibolga. Malam hari setelah peresmian, mereka datang menemui saya di Hotel Turismo, tidak jauh dari Pantai Dili.
Opening ceremony BRI Unit Maliana, Timor Timur
Jabatan Struktural
Selama 8
tahun di Kantor Pusat BRI, jabatan struktural yang saya duduki ada di 4 unit.
Mulai dari Kabag Pembinaan BRI Unit dibantu dua orang Wakabag, Noor Rochmah dan
Rulianti. Setahun kemudian, dipromosi menjadi Wakil Kepala Urusan/Divisi BRI
Unit, level Eselon II, satu level
dengan Kepala Divisi BRI Unit, Bp. Trisulo, mantan atasan saya, Kakanwil di
Surabaya. Di posisi ini cukup lama, 4
tahun, sebelum dipindah ke Divisi Operasional bersama Bp. Bambang Swasono
sebagai Kepala Divisi di Gedung BRI II Lantai 5, sebelah timur langsung
menghadap Jl. Jend. Sudirman.
Belum sempat
saya berbuat banyak, saya dipindah lagi ke Divisi Perencanaan dan Litbang di
gedung dan lantai yang sama, tetapi menghadap ke sebelah barat, tetap sebagai
Wakil Kepala Divisi mendampingi Bp. Soesetyoadi sebagai Kepala Divisi. Selama
di sini, saya secara berkala berhubungan dengan Direktur Bidang, Bp. Setiyoso, Dirut BCA
sekarang.
Dihitung
sejak menduduki kursi Wakil Kepala Divisi BRI Unit tahun 1988 hingga pensiun
muda tahun 1995, saya menjabat Eselon II selama 7 tahun.
SESPI BANK
Sebelum
ditransfer ke Divisi Operasional, pada tahun 1992, saya ditugaskan selama tiga
bulan mengikuti Sekolah Staf Pimpinan Bank, angkatan VIII. SESPI BANK adalah
sekolah tertinggi di lingkungan Perbankan Nasional (Perbanas), diikuti oleh
pejabat-pejabat pilihan dari Bank BUMN dan Bank Swasta Nasional.
Sebenarnya
sejak awal, kami peserta kursus tidak menyadari bahwa setiap kelas dan setiap
diskusi selalu dievaluasi dan dinilai untuk menentukan peserta terbaik. Sebelum
upacara penutupan berlangsung, seorang pengajar di kamar kecil mengingatkan,
“Pak, jangan kaget, Bapak menjadi juara II, katanya. Benar saja, Pak Sutopo dan
saya dipanggil ke depan dan menerima sertifikat dari tangan 6 jari, ciri khas
Gubernur BI, Bp. Syahrir Sabirin, rekan seangkatan saya di Fakultas Ekonomi
Universitas Gajah Mada Yogyakarta tahun 1968.
Saya sedikit
kecewa atas nilai akhir pendidikan LPPI (Lembaga Pendidikan Perbankan
Indonesia), yang dikelola oleh Bank Indonesia. Sebabnya, dari 25 peserta
bank-bank BUMN/Swasta, saya mestinya peringkat I, karena Sdr. Sutopo, Kepala
Cabang BDN Cabang Kebon Sirih, mestinya gugur, disqualified, karena batal ikut ke Manila dan Bangkok sebab
istrinya masuk rumah sakit. Karena sifatnya bukan pertandingan, makanya saya
menerima saja tanpa protes. Saya sangat puas bisa menjadi peserta terbaik di
Kursus Calon-calon Direksi Perbankan. Sebelum
meninggalkan LPPI Kemang, Jakarta, Pak Syahrir Sabirin dengan senyum khasnya
memberitahu Direktur BRI yang hadir bahwa kami adalah teman dulu di Yogyakarta.
Keliling
Indonesia
Dalam
menjelankan tugas, saya baru sempat mengunjungi 16 dari 26 provinsi, mulai dari
Aceh, Sumut, Sumsel, DKI Jakarta, Jateng, DIY, Jatim, Bali, NTT, Kalbar,
Sulsel, Sulteng, Sulut, Maluku, Papua dan Timor-Timur. Tugas pokok adalah
mengawasi BRI Unit, rekrutmen pegawai BRI Unit dan proyek komputerisasi. Pernah
juga mendampingi Dirut mengadakan tes performance
Kepala-kepala Cabang BRI se-Jawa Timur di Surabaya.
Yang paling
berkesan adalah program komputerisasi akuntansi BRI di kecamatan/pedesaan, dan
juga rekrutmen calon pegawai di Sorong dan Palembang. Seorang mahasiswi
semester awal di Palembang yang belum pernah keluar negeri bisa berbicara
bahasa Inggris dengan fasih. Kesan lain adalah rekrutmen pegawai betul-betul
murni tanpa mengenal titipan dan uang.
Beberapa
kali mengunjungi beberapa BRI Unit di Aceh dan pernah makan sate Padang di
malam hari di suatu lapangan terbuka, yang saya tahu persis ikut diterjang
tsunami tahun 2004.
No comments:
Post a Comment