Photo : Perpustakaan di La Habra, CA
Pendahuluan.
Airmata
sering diasosiasikan sebagai wujud kesedihan, walau kadangkala muncul
karena rasa bahagia. Disamping itu, bisa juga dikaitkan dengan gender,
dimana sifat gampang mencucurkan air mata itu adalah sifat kaum hawa
seperti mudahnya buaya menangis. bahkan ekstrimnya wanita dikatakan bisa
memanfaatkan airmata sebagai senjata untuk mendapatkan sesuatu.
Sebaliknya, pria dicemooh kurang macho jika sampai menangis, feminin dan kurang jantan.
Paving block.
Banyak
sebab seseorang sampai mencucurkan airmata, yang paling umum adalah
dukacita, perpisahan antara mereka yang saling saling mengasihi, bisa
juga karena mengenang seseorang.
Tetapi sedih dan mata berkaca kaca karena melihat Paving block, trotoar pinggir jalan, rada aneh.
Peristiwanya
sendiri, hari Jumat tgl.21 April 2008 diatas Samudera pasifik, saya
sedang menonton TV mini disandaran kursi pesawat China airlines CI 001
Los Angeles - Taipei - Cengkareng. Seorang Bapak dan anak sedang
berjalan diatas paving block yang tertata rapi, ditengah trotoar lebar
ini ditumbuhi rumput dan disebelah dalam, pekarangan rumah rumah,
terhampar rumput hijau rapi, dirawat dan ditata dengan apik. Sejuk
dipandang mata sepanjang jalan yang ditapaki.
Paving
block seperti inilah yang saya lalui setiap hari dari Library - Rumah
anak saya nomor dua di La Habra city, California Selatan. Itulah yang
terbayang ketika melihat film tadi. Karena jaraknya hanya empat block
jauhnya, saya biasa jalan kaki sambil olahraga atau naik sepeda dengan
bacpack dan laptop didalamnya.
Design
paving block itu, disetiap ujung atau didepan rumah rumah dibuat
landai, sehingga tidak perlu turun dari sepeda. Jika malam saya pulang
dari perpustakaan, kadang saya dijemput karena udara sangat dingin. Baju
3 lapis, sarung tangan dan topi tak kuasa menahan udara dingin melewati
rumah rumah warga Mexico dengan suara radio super hoofer. Tiap
langkahku di paving block yang bersih itu merekam memori, tinggal
bersama anak dan menantu selama satu semester, mengurai embun dimataku.
Paving block in front Mon house
Paving block in front Mon house
Paving
block di film seperti mengiris bawang merah, sesuatu membasahi pipi tak
terasa, karena beberapa jam sebelumnya, anak saya Monang baru memeluk
saya, say good bye di Bandara LAX, Los Angeles. Anak teman main dikala
kecil, yang saya besarkan sampai lulus SMA-PSKD Jakarta, sekarang
tinggal jauh disana sudah berpuluh tahun. Tidak tahu kapan lagi kami
akan berjumpa. Akankah saya akan menapaki paving block itu lagi. Paling
dia yang kangen keluarga dan tanah kelahirannya. Jika disuruh memilih,
walau dengan kenyamanan di State, saya akan tetap memilih di Indonesia
dengan segala kekurangannya. I belong to my community and my family.
Reach stacker @Tanjungpriok port
Reach Stacker.
Reach stacker @Tanjungpriok port
Reach Stacker.
Peristiwa lain
yang made me cry adalah dampak tsunami ekonomi yang dahsyat melanda
Asia medio 1997. Perusahaan kami, P.T.Monang Brothers Container yang
telah 3 tahun beroperasi bongkar muat Container di pelabuhan
Tanjungpriok, bahkan sering bekerja sampai 24 jam non stop,
harus melempar handuk, menyerah, berhenti beroperasi karena import
nyaris lumpuh seiring kurs dollar yang menggila hingga Rp.15.000,- per
dollar. Barang import nyaris tidak ada. Tidak ada Container yang akan
diangkat. Disatu fihak income rental hilang, sedang difihak lain cicilan
hutang ke Lessor, PT.EXIM Sumitimo Bank sebesar US$ 1 juta, jalan terus
tidak boleh menunggak. Nunggak 3 bulan saja Rp. 225 juta. Mana tahan.
Disuatu
siang, matahari diubun ubun, AC dalam Corolla merah darah itu tidak
kuasa mendinginkan cuaca panas udara, panas hati dan mata perih
menyaksikan 2 unit alat berat Reach Stacker bermerk Monang1 dan Monang2
warna merah manyala, bergerak beringsut, roda roda raksasanya beringsut
meninggalkan home base di Gudang 005 menuju lokasi baru milik Leasing
company. Kami mengekor dari belakang hingga tiba di lokasi baru. Untuk
terakhir kalinya dua alat berat berwarba nerah itu hilang dari pandangan
mata. Dengan jantannya saya tegar sambi memegang kemudi dengan gemas,
mata saya berembun dipanas hari itu, berkaca kaca tanpa dinyana.
Istri saya disebelah saya termenung dan tertegun, membisu seribu bahasa.
Penghasilan rutin Rp.130 juta sebulan dan angsuran Rp.2 milyard selama 3 tahun hilang sekejap.
Kami pulang hanya mengantongi selembar surat keterangan Lunas dari Leasing serta Berita Acara Serah terima alat berat.
Akibat
lanjutannya tidak dapat dihindarkan, status tiga orang anak yang
sekolah di State, beralih dari Students menjadi karyawan karena transfer
bulanan dari usaha rental ini berhenti total. Untuk pertama sekali
tahun 1998 ketiga anak menjadi independent, mencari makan sendiri.
Akhirnya kami beri plihan bebas, Stay or go home.
Penutup.
Hidup
berjalan terus, anak harus bekerja meninggalkan orangtuanya untuk
bersatu dengan pasangan masing masing. Demikian juga, harta bukan sumber
kebahagiaan satu satunya. Saya yakin sehelai rambut dikepala tidak
pernah luput dari perhatianNYA. Kalau jatuh tak sampai tergeletak,
tanganNya tidak kurang panjang untuk menatang. Tuhan akan membaringkan
dirumput yang hijau.
Kalau
pria meneteskan air mata, bukanlah sifat cengeng atau feminin. Biarkan
sumbatannya terbuka mengalirkan air mata cinta kepada istri, anak dan
keluarga.
No comments:
Post a Comment