P
|
Pada periode awal melayani tgl.1 April 2002 yang lalu, saya mengira talenta saya hanya ada satu, yaitu keuangan sesuai dengan profesi saya di dunia Perbankan. Tetapi setelah bergulirnya waktu, bulan berganti bulan dan tahun pun berlalu, tidak disadari kalau saya mempunyai talenta lain, yang oleh Pnt Debby Palenkahu menyebutnya “multi-talents” dan Pnt Ratna Saragih menjuluki saya sebagai "manusia langka".
Karena talenta setiap individu ternyata berbeda-beda, ada yang hanya tunggal, tetapi ada yang jamak, tiga, lima atau bahkan sepuluh talenta, seperti tertulis dalam Matius 25 ayat 1:
“Well done, good and faitful servant, you were faitful over a few things. I will make you ruler over many things. Enter into the joy of your Lord.” Namun demikian, walaupun hanya diberi talenta sebiji, tidak perlu merasa minder, pakailah semaksimal mungkin besinergi dengan Majelis/aktifis lain dengan talenta yang berbeda.
Pdt Hendra Gosana (Ketua MJ Klasis Jakarta I, Pnt.P.Situmeang (Ketua BPK)
Komputerisasi Akunting
Pengalaman mengelola proyek komputerisasi dan akunting di BRI, saya transfer juga dalam pelayanan dilingkungan Gereja. Ada dua ide yang saya cetuskan untuk dimulai di Gereja yaitu
1. Komputerisasi akunting dan
2. Komputerisasi keanggotan yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan.
Kebetulan software akunting khusus untuk Gereja sudah dipakai oleh salah satu Gereja GKI di kota Semarang, yang dikembangkan oleh Bapak Daniel, dari GKI Semarang, seperti diinformasikan oleh Pnt Sutomo, anggota sinode GKI Jawa Tengah. Oleh karena itu setelah menghubungi dengan Bpk. Daniel, maka saya segera menata ulang struktur chart of account, pembukuan manual model Belanda dan menggantinya dengan sistem komputerisasi akunting terbaru, sistem Amerika seraya menambah nomor-nomor account/rekening baru, dan merubahnya menjadi 9 digit. Untuk maksud ini, saya memerlukan waktu berbulan bulan.
Disamping itu untuk memudahkan analisa neraca dan analisa penerimaan/biaya, daftar account yang ada ditambah dengan Sub Sub Rekening baru. Misalnya, untuk setiap Pendeta dibuat Sub Sub rekening untuk tiap-tiap rumah pastori, pemeliharan kendaraan, pemakaian utilities (listrik, air, telepon), pengobatan, pemeliharaan dan perbaikan (kendaraan, inventaris, pastori) dan masih banyak lagi. Dengan cara ini diketahui siapa Pendeta yang paling hemat.
Setelah semua rampung dan agar program akunting ini jangan dirubah rubah lagi oleh Majelis berikutnya, saya buat Surat Keputusan Majelis tahun 2003 yang ditandatangani oleh Ketua BPMJ masa itu, Pnt. Dwisunuhardjo.
Langkah berikutnya adalah mengundang Pak Daniel dari Semarang untuk melakukan install software, yang hanya perlu waktu 3 (tiga) hari sepanjang weekend Jumat-Minggu. Sedang konversi data dan entry saldo awal seluruh jenis Rekening memerlukan waktu lebih panjang, yang dilakukan kemudian oleh Bapak Daniel dari Semarang melalui modem. Biaya program seperti ini, ditambah biaya install dan conversi data manual biasanya relatif mahal, tetapi karena sifatnya pelayanan, kita hanya bayar biaya akomodasi hotel dan ticket pesawat Semarang – Jakarta p.p
Setelah program baru mulai dipakai, maka transaksi dalam bulan berjalan pun langsung bisa di-entry, dibukukan dengan program baru ini, sedang transaksi lama dibukukan secara manual. Dengan cara demikian, paralel run kedua sistem (manual dan komputerisasi) tidak perlu dilakukan. Khusus pembukuan transaksi yang masih terbengkalai (belum dibukukan) berbulan bulan, akan diselesaikan secara manual, sambil mencari dan mengumpulkan dokumen yang masih berserakan dibeberapa tempat.
Dalam implementasi sistem baru ini, saya menghadapi kendala yang cukup berarti, karena perubahannya terlalu cepat, sementara lingkungan belum kondusif, belum siap. Kesulitan pertama adalah di Bidang Perbendaharaan kala itu tidak seorang pun yang berlatar belakang akunting dan IT, kecuali Pnt. Sutomo, yang faham pembukuan manual.
Kesulitan paling berat justru datang dari Erliyanti, kasir Kantor Gereja, sering absen, sakit, bahkan akhirnya mengundurkan diri. Sedang, Yeny Rahayu, Pjs.Kepala Kantor Gereja, saat itu kurang dapat membantu, karena sebelumnya tidak terlibat dalam urusan keuangan.
Untuk mengatasi masalah ini, saya merekrut dua pegawai baru, Sdr. Slamet dan Rili, menjadi book keeper, sedang pegawai lama, Maya, ditunjuk sebagai kasir pengganti Erlyanti. Walaupun kedua pegawai ini masih baru lulus SMU, fresh from the oven, tapi mudah diberi pengertian karena faham bahasa akuntansi ini. Tinggal saja saya harus memberi training karena istilah, nama khas Rekening Gereja tidak begitu dikenal dalam kamus akuntansi.
Contohnya, bagaimana membukukan Penerimaan Untuk Disalurkan (PUD), Tanggung Jawab Bersama Klasis/Sinode (TJBK/S) atau menghitung Dana Pensiun (beban Gereja dan beban pegawai) dan masih banyak lagi transaksi khas lingkungan Gereja. Oleh sebab itu, selama setahun penuh saya meluangkan waktu ke Kantor Gereja untuk training, terutama membuat jurnal dan koreksi kesalahan transaksi, maklum karena sistemnya baru dan pegawainya juga baru.
Dengan bertambahnya karyawan maka sistem keuangan lama yang dikelola seorang kasir saja, saya rubah dengan memisahkan fungsi Kasir, Pembukuan dan Pengawasan, yang menjadi fungsi Kepala Kantor. Dengan cara ini pengawasan melekat atau built-in controle bisa berfungsi seperti contoh berikut :
1. Setiap
akhir hari kerja, Kepala Kantor mencocokkan saldo kas antara print-out
pembukuan komputer dengan kas fisik di tangan kasir (yang dicek oleh Kepala
Kantor) setiap akhir hari kerja.
2. Kollekte
persembahan sampai dengan hari Minggu seluruhnya (100%) disetor ke Bank Mandiri, diseberang Gereja, yang
besarnya pasti sama dengan angka yang ada di Warta Gereja minggu berikutnya.
3.
Formulir
tanda setoran dan kuitansi saya ganti dari satu lembar menjadi tiga lembar
carbonless paper, dimana setiap penyetor dan penerima uang mendapatkan satu
copy.
4.
Saya
belikan register pencatatan dan pengawasan nomor seri cek dan bilyet giro untuk
mengontrol pemakaian cek dan bilyet giro.
Sistem dan prosedur pembukuan yang baru saya mulai tahun 2002 ini, sampai medio 2008 tidak dirubah, masih tetap digunakan, walaupun Ketua Bidang Perbendaharaan sudah ganti tiga kali, berturut turut dari Pnt. Dicky M. Setiabudi, Pnt. Sungkowo dan Pnt. Raoul R. Adi.
Jerih payah yang saya lakukan untukNya tanpa pamrih, ternyata tidak sia-sia, terbukti pada bulan Juli 2006 saya mendapat telepon dari Pnt.Daniel Christanto peserta Persidangan Majelis Klasis di Puncak, yang menanyakan : ”Pak Situmeang diminta kesediaannya menjadi anggota BPK”, katanya. Masih kaget saya langsung menjawab :” Bersedia dan terima kasih pak “.
Sejak itu saya menjadi anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Klasis Jakarta I, meliputi 14 Gereja GKI diwilayah Jakarta dan Bandung. Buat saya, penunjukan ini merupakan kepercayaan dan penghargaan Majelis GKI Kwitang atas pelayanan saya selama lima tahun terakhir, dimana untuk pertama sekali pada bulan Juni 2007 saya memeriksa Laporan Keuangan Klasis periode 2006/2007 bersama Ketua BPK, Fien Orgirwalu untuk dipresentasikan pada Persidangan Klasis di Puncak pada tanggal 16 Juli 2007.
Saya (Ketua BPK) memprkenalkan 2 anggota BPK
Program Kerja dan Anggaran
Tidak hanya program
Komputerisasi yang saya kembangkan, tetapi aspek administrasi Program kerja dan
Anggaran juga saya benahi. Sejak tahun pertama jadi Penatua, saya melakukan
restrukturisasi susunan program kerja dan anggaran sejak periode 2003/2004,
karena tahun tahun sebelumnya terjadi duplikasi, tumpang tindih, double counting,
sehingga total volume anggarannya membengkak sampai Rp 6 miliar lebih, jauh di
atas proyeksi penerimaan, sekitar Rp. 2 milard lebih.
Di samping itu, beberapa mata program, saya switch dari komisi yang satu ke komisi lain, seperti bantuan ke Yayasan Sosial Karya Kasih (YSKK) dan Sekolah Taman Balita, dikeluarkan dari program kerja/anggaran Komisi Pelayanan dan dialihkan ke dalam Pos sumbangan, karena YSKK berada di luar organisasi (non struktural) kemajelisan. Demikian juga pelayanan firman kepada siswa/i delapan sekolah PSKD digeser dari Komisi Pelayanan dan masuk ke Komisi Pekabaran Injil.
Demikian juga pengelolaan Renungan harian “Roti hidup”, yang tadinya tidak dikelola Komisi dan memberatkan anggaran biaya ATK Kantor Gereja, digeser dan dimasukkan ke anggaran Komisi Informasi. Sedangkan program/anggaran Radio Pelita Kasih (RPK), digeser dari Komisi Pemahaman Alkitab (PA), sekarang berdiri sendiri sebagai Tim RPK dengan anggaran sendiri, dengan Surat Keputusan Majelis, tetapi secara formal tetap berada dibawah kordinasi Bidang Persekutuan.
Untuk mempercepat penyusunan anggraran, saya ciptakan Formulir baru, formulir standard untuk menghindari double counting, dengan penekanan sistem bottom up dan top down menganut anggaran berimbang (balance budget atau bugdet oriented ). Baru tahun berikutnya, sistem anggaran berimbang dirubah menjadi program oriented, (anggaran defisit), dengan pertimbangan lebih teologis, tidak membatasi pelayanan karena berkat dan kuasa Tuhan tidak terbatas. Lagi pula realisasi anggaran komisi-komisi selama bertahun tahun selalu lebih rendah dari plafond anggaran yang ditetapkan.
Pemasangan AC
Gereja GKI Kwitang model Belanda dng AC sentral
Bersamaan waktunya, pada medio 2002 keberadaan dana “Pengadaan AC) yang dikumpulkan dengan kantong kollekte kedua, setiap bulannya, yang jumlahnya cukup besar mulai dipertanyakan oleh jemaat, karena belum ada tanda tanda akan dimulai dan dikaitkan pula dengan pengunduran diri Ketua Panitia pengadaan AC, Sdr. Sabarudin Napitupulu.
Untuk merespons situasi ini, saya sebagai Wakil Ketua Bidang Perbendaharaan yang baru (d/h.Bidang Penatalayanan), langsung menyusun proposal singkat untuk dibahas dalam rapat rapat di Bidang dan BPMJ. Seperti bola salju, isu ini semakin lama semakin membesar, digodok hangat melalui rapat-rapat yang panjang, disepakatilah bahwa rencana pengadaan AC akan dilanjutkan oleh Bidang Perbendaharaan, mengingat keberadaan Panitia yang dalam statusquo..
Bersamaan waktunya, pada medio 2002 keberadaan dana “Pengadaan AC) yang dikumpulkan dengan kantong kollekte kedua, setiap bulannya, yang jumlahnya cukup besar mulai dipertanyakan oleh jemaat, karena belum ada tanda tanda akan dimulai dan dikaitkan pula dengan pengunduran diri Ketua Panitia pengadaan AC, Sdr. Sabarudin Napitupulu.
Untuk merespons situasi ini, saya sebagai Wakil Ketua Bidang Perbendaharaan yang baru (d/h.Bidang Penatalayanan), langsung menyusun proposal singkat untuk dibahas dalam rapat rapat di Bidang dan BPMJ. Seperti bola salju, isu ini semakin lama semakin membesar, digodok hangat melalui rapat-rapat yang panjang, disepakatilah bahwa rencana pengadaan AC akan dilanjutkan oleh Bidang Perbendaharaan, mengingat keberadaan Panitia yang dalam statusquo..
Langkah-langkah eksekusi tidaklah mulus layaknya jalan tol, masih banyak pro-kontra, terutama dari kawula muda, yang intinya mereka sebenarnya care, peduli ingin melihat yang terbaik, antara lain mereka mengingatkan faktor estetika, tidak menyentuh dan merubah desain bangunan aslinya, karena arsitektur Belanda ini termasuk salah satu cagar budaya yang dilindungi oleh pemerintah c.q. Dinas Purbakala, seperti tertulis pada dua prasasti yang dipatenkan dihalaman depan Gereja.
Diingatkan pula agar kondisi kabel dan panel diruang konsistori yang telah uzur, direcheck atau diperbaharui, yang oleh Julius (Abung) dengan bercanda menulis dalam milisnya tanggal 18 November 2002 : “Malaikat yang jaga saja sudah pada keringatan”, katanya. Majelis berterima kasih atas input tsb yang pada akhirnya design interior lama dengan lubang lubang ventilasinya justru dimanfaatkan sebagai saluran semburan hawa dingin dari AC sentral merek Mc. Quay, buatan AS.
Ditengah nuansa hangat, pro dan kontra, Pdt. Litos Pane memberi saya selembar print out komputer tanpa judul/topic, yang diambil dari internet, agar kami tetap semangat dalam melayani, yang intinya sebagai wise advice yang berbunyi : “Jangan frustasi apabila anggota organisasi mempertahankan status quo dan defensif terhadap transformasi. Inisiatif perubahan hanya dibicarakan didalam rapat rapat, tetapi implementasinya tidak jalan”.
Majelis tidak frustrasi dan tetap meneruskan rencana lama ini dan melakukannya secara transparant melalui pewartaan dan tender terbuka, ditengah tudingan tender ecek-ecek dan menyogok PLN, seperti beredar dimilis internet. Tender kali ini ditangani sendiri oleh Pnt.Mulato sebagai Wakil Ketua Panitia Pengadaan AC dan dibantu Pnt.Suparno sebagai Ketua Bidang Perbendaharaan. Sedangkan penarikan kabel listrik dari aliran/kabel belakang Gereja adalah inisyatif PLN sendiri, tanpa mengeluarkan dana tambahan diluar biaya resmi (kwitansi) dari PLN. Terbukti selama ini, tidak ada temuan dari BPK dan tidak ada jemaat yang complaint.
Dan lima tahun sudah jemaat merasa nyaman beribadah, pertambahan jemaat berjalan terus, dan Majelis selalu berencana menambah sarana modern lainnya sebagaimana trend Gereja-geraja, jika tidak mau ditinggalkan anggotanya.
Dengan begitu hebohnya pengadaan AC ini sampai-sampai Pnt. Mulato tiba-tiba mengatakan : “The Man of the Year,” secara refleks langsung saya menyahut: “Saya sama sekali tidak mencari ketenaran pak”, kata saya membela diri sambil melanjutkan rapat.
Tidak hanya pengadaan AC yang disorot, pembenahan Gedung Pertemuan juga tidak luput dari kritikan Jemaat. Pemanfaatan Gedung berlantai tiga ini kurang maximal penggunaannya. Kamar tidur mahasiswa stage di pojok lantai 2 yang dipakai hanya 3 bulan dalam setahun, saya pindahkan ke lantai 3 dan sekarang ruangan tersebut menjadi ruang rapat 202. Ruang data, disamping kantor YSKK, yang dipakai sendiri oleh Sdr. Simon Takalele saya gabung dengan Ruang Komisi, ruangan itu kini menjadi ruang rapat 203. Gudang dilantai 3 dan 31/2 dikosongkan, sekarang menjadi Ruang kebaktian anak Batita dan Balita Sekolah minggu.
Interior
ruangan nampak terawat setelah saya pasangi krei baru, sumbangan Bapak
Iwan Sudjiwanto, jemaat Lingkungan II, sampai suatu saat menarik perhatian
aktivis pemuda, Donda Panggabean yang menulis dalam milis tanggal 18-19
November 2002: “Ruangan-ruangan
berubah dan berganti dalam sekejap dengan AC bertengger di mana-mana,”
tulisnya kaget sebagai indikasi pengakuan bahwa Majelis Bidang Perbendaharaan
membuat gebrakan-gebrakan yang cukup mangagetkan dalam tempo singkat.
Tidak hanya interior yang saya dandani, eksterior juga tidak luput dari sentuhan tangan saya. Jemaat mungkin tidak begitu memperhatikan dinding luar menghadap timur dan selatan yang hijau lumutan, tidak terurus bertahun-tahun, sekarang dipoles bedak warna krem, sehingga nampak pantas dan setara dengan bangunan di sebelahnya, nampak terawat dan bersih.
Forum Simpatisan
Gagasan baru lain yang saya
cetuskan tahun 2006 adalah menyelipkan Forum Simpatisan dalam agenda BPMJ, dua kali dalam setahun, yaitu berupa
pertemuan antara Majelis dengan calon anggota (simpatisan pengunjung tetap) dan
para katekisan yang telah mengikuti kelas katekisasi (pelajaran kekristenan).
Forum ini sebagai sarana komunikasi dan sosialisasi kegiatan Gerejawi dan
persyaratan keanggotaan. Walau syrat keanggotaan sudah diwartakan secara terus
menerus, tetap saja masih banyak
pertanyaan dari para simpatisan. Ide ini muncul setelah saya membaca News
letter Gereja REM Kelapa Gading, yang
dibawa anak saya.
Forum yang dimulai seusai kebaktian kedua ini sudah berlangsung dua kali, diikuti sekitar 50 orang,oleh karena itu dinilai tetap penting diagendakan tiap semester, mengingat pengunjung kebaktian cukup banyak yang berstatus simpatisan dengan memilih kebaktian di Kwitang, karena lokasinya strategis dan akses jalan yang mudah.
Dari hasil pertemuan ini diketahui banyak simpatisan yang sudah bertahun-tahun setia sebagai pengunjung dan tetap sebagai anggota di Gerejanya (di Jakarta atau di luar kota). Yang menarik adalah sebagian dari mereka, bersedia ikut melayani di Kwitang walau sebagai simpatisan. Tetapi apapun statusnya, ada satu yang sama yaitu turut bertanggung jawab dalam pembangunan jemaat. Yang berbeda hanyalah hak. Sebagai simpatisan tentu mereka mempunyai hak Gerejawi di Gereja asalnya (pelayanan baptis, sidi, nikah, dukacita dll ), tetapi tetap berkewajiban, bertanggung jawab dalam Pembangunan Jemaat di GKI Kwitang, dalam pengertian holistik.
Rumah Pdt. Emiritus.
Dalam bisnis property, saya
cukup banyak terlibat dalam transaksi jual beli, tetapi rasanya talenta saya
tidak dalam konstruksi. Tapi sebagai Ketua Panitia Pembangunan Rumah Pendeta
Emiritus, saya melaksanakan yang terbaik. Ada kesan tersendiri dalam
pembangunan rumah untuk Pendeta Arti Sembiring yang akan pensiun mulai Desember
2006. Saya yang sudah pensiun 11 tahun sebelumnya membangun rumah untuk Pendeta
yang akan pensiun. Di suatu kesempatan rapat saya pernah membisikkan kepada
Pdt. Arti: “Pak, jangan kuatir, Tuhan akan
memelihara” kata saya seperti murid bicara dengan gurunya. Dia hanya
tersenyum khas, saya melanjutkan : “Kami tetap dipelihara”, kata saya
menguatkan
Pdt Litos Pane, Pdt Artie Sembiring, Pdt. John Takain, Pdt. Gosana, Pdt Guruh
Rumah ini dibangun dengan iman, karena dalam situasi waktu itu harga material lagi melecit sebagai dampak kenaikan harga BBM sampai dua kali, dan dana yang tersedia masih relatif sedikit, hanya Rp 130.750.000,- dari anggaran Gereja plus komitmen keluarga Pendeta. Puji Tuhan, fisik pembangunan rumah dua lantai 200 meter lebih ini bisa diselesai dalam 6 bulan dan kuncinya diserahkan persis tanggal 31 Desember 2006, dan ternyata cash flow-nya lancar lancar saja, tidak sempat mandek dan malu seperti dikuatirkan dalam Lukas 14: 28-30.
Rumah ini dibangun dengan iman, karena dalam situasi waktu itu harga material lagi melecit sebagai dampak kenaikan harga BBM sampai dua kali, dan dana yang tersedia masih relatif sedikit, hanya Rp 130.750.000,- dari anggaran Gereja plus komitmen keluarga Pendeta. Puji Tuhan, fisik pembangunan rumah dua lantai 200 meter lebih ini bisa diselesai dalam 6 bulan dan kuncinya diserahkan persis tanggal 31 Desember 2006, dan ternyata cash flow-nya lancar lancar saja, tidak sempat mandek dan malu seperti dikuatirkan dalam Lukas 14: 28-30.
Proses pengadaan rumah Pendeta ini cukup lama – 2 tahun – yang makan waktu panjang adalah wira-wiri mencari beberapa calon lokasi, saya dan Pnt.Harry Ramaputera. Sedangkan konstruksi dan pengadaan materialnya dihandle oleh Pak Sunanto dengan support Pak Harry dari aspek teknis, gambar dan IMB, mengingat dia bekerja diperusahaan developer. Sedang penyediaan dana (cash flow), administrasi keuangan dan dokumen tanah (akte dan sertifikat) saya tangani sendiri.
Yang menjadi beban panitia sebenarnya hanya time consuming dan status sebagai jembatan penghubung antara Majelis dengan keluarga Pdt. Arti. Sebagai panitia dan Majelis kami sukarela meluangkan waktu melayani tanpa pamrih dan tanpa pujian. Bagaimana mau dipuji, kualitas bangunan sendiri belum sesuai dengan harapan keluarga Pdt. Arti, satu dan lain hal dibatasi oleh tersedianya dana. Tapi menurut hemat saya, rumah ini cukup representatif. Saya dan panitia berdoa Pak Arti dan keluarga tetap diberkati dan dapat menikmati masa pensiun dengan damai sejahtera dan tetap meneruskan pelayanan di hari tua. Amin.
Begitulah beberapa talenta yang mampu saya persembahkan ditengah jemaat walau tidak besar, tetapi saya usahakan memberi yang terbaik seperti lagu favorit Majelis dalam rapat rapat yaitu Nyanyian Kidung Baru no.126 :
Tuhan memanggilmu, hai
dengarlah.
Apapun yang terbaik, ya
berikanlah
Walaupun tak besar
talentamu
Bri yang terbaik kepada
Tuhanmu
No comments:
Post a Comment