F
|
alsafah hidup yang telah menjadi
kebudayaan daerah telah terbentuk sejak
usia belia dibawah alam sadar, yang
diungkapkan dalam peribahasa “ANAKKON HI DO HAMORAON DI AU”, yang artinya : Anak adalah Investasi/kekayaan
bagi orangtua” yang oleh penggubah lagu daerah diangkat menjadi lagu daerah
populer dari masa kemasa dan merasuk ke jiwa yang mengharapkan dan mengusahakan
agar anak-anaknya memperoleh pendidikan yang terbaik,
sesuai dengan kemampuannya dengan memilih lembaga pendidikan unggulan baik di
dalam maupun di luar negeri dengan harapan akan mendapatkan pekerjaan yang
terbaik dan tentu dengan philosophy yang dianut oleh masing masing orangtua,
seperti yang saya anut yang diwariskan oleh budaya yaitu “anak adalah
kekayaan”.
Bibit dan Bobot
Bobot kecerdasan anak tentu
tali-temali, berkaitan dengan bibit, bobot, kualitas orang tua, diikuti dengan
penerapan disiplin belajar yang akan menumbuhkan anak yang cerdas yang mungkin
di usia dini belum begitu nampak, oleh sebab itu diperlukan kesabaran menunggu
hingga sekolah lebih tinggi.
Anak sulung, Vera Maryati misalnya, SMP dan SMA selalu di sekolah Katolik dan jurusan IPA yang menjadi modal pokoknya menammatkan kuliah dari Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia, Cawang, Jakarta Timur, tempat ibunya dulu pernah kuliah.
Sedang tiga orang adik-adiknya belum kelihatan talenta masing-masing, namun bisa diharapkan bisa seperti kakaknya atau seperti ayahnya lulusan terbaik SMEA Negeri Padang Sidempuan dengan nilai 9 untuk Statistik dan nilai 8 untuk mata pelajaran korespondensi Inggris, Hukum, Aljabar, Ekonomi Perusahaan dan Marketing serta alumni Universitas Gajah Mada , UGM Yogyakarta dan ibunya jebolan jurusan IPA SMAN Jambi, menjadi siswi tempat berguru dan bertanya teman-teman gengnya.
Sebenarnya, sebelum anak masuk Perguruan Tinggi, perlu dilakukan tes minat (self direct search) yang mengukur minat seseorang yang secara psikologis dapat dibagi dalam 6 kelompok minat: Realistic, Investigative, Artistic, Social Enterprising dan Conventional, seperti tertulis dalam Buku karangan John L. Holland Phd., sayang waktu itu saya tidak melakukan tes ini untuk anak-anak.
Sekolah ke Amerika
Lingkungan pekerjaan, pergaulan dan derasnya
arus globalisasi mempengaruhi sikap, pikiran dan keputusan yang akan kami ambil
kemudian setelah bekerja di Kantor Pusat BRI selama 8 tahun secara
terus-menerus berinteraksi dengan 5-6 orang konsultan Harvard University, yang
kebetulan berasal dari Amerika Serikat sehingga terbukalah akses dan informasi
tentang pendidikan di Amerika.
Disamping itu di tengah-tengah tugas ke mancanegara, anak dan istri diusahakan selalu ikut untuk menambah wawasan dan percaya diri. Di saat sedang wisata di Amerika, secara iseng-iseng saya bertanya kepada Monang: “Mau sekolah di sini?” dengan sedikit terkejut, tanpa diduga ia menjawab: “Mau Papi,” katanya mantap, nampak keseriusan di wajahnya yang pendiam itu.
Foto :Pahala, Vera, istri, saya, Peggy, Monang Situmeang
Tidak selang lama setelah pulang wisata, saya mendaftarkan Monang ke Lembaga pendidikan EF, English First di Gedung Bank Tamara, Jl.Jenderal Sudirman, Jakarta atas rekomendasi rekan bisnis, Bpk. Lukas Sudjandhi, dimana tiga orang anaknya sedang study di Texas dan menggunakan jasa EF juga. Kemudian oleh EF dia dikirimkan kursus bahasa Inggris ke Olympia, Washington State sebagai persiapan masuk College, yang kemudian saya, isteri dan Peggy mengantarkannya sampai keasramanya di Olympia.
Istri,saya dan Monang @ Olympia, Seatle
Sebelum melanjutkan kuliah ke College, saya minta rekomendasi dari teman dekat saya di Kudus, Dr.Lukas Soesiloputro yang anaknya, Yuke Susiloputro sedang study di Amerika, merekomendasikan agar Monang jangan sekolah bisnis dikota kecil,dan diusulkanlah disekitar Los Angeles, karena disana ada pula Bpk. Adi Sutanto, Pendeta Gereja Jemaat Kristen, JKI di Upland cabang JKI Kudus.
Setelah mendapat persetujuan, berangkatlah Monang langsung ke rumah Bpk. Adi Sutanto di Chino city, California Selatan, sebelum ditempatkan di San Bernardino city bersama mahasiswa Indonesia lainnya seperti Moeslih Simatupang, Chokky, jemaat JKI Upland dan beberapa orang lainnya.
Namun sebelum anak-anak disekolahkan ke Luar Negeri, kami sengaja membawa mereka keliling dulu terutama untuk meningkatkan keberanian dan percaya diri, mulai dari Asia dan kemudian ke AS,diawali dari pantai timur yaitu New York dan Washington DC, termasuk Patung Lyberty, World Trade Center, WTC yang ditabrak oleh pesawat dan maskas besar PBB. Kepada pemandu saya bertanya: “Mengapa Timor-Timur diberi warna merah?” yang dipajang di pintu masuk suatu ruangan yang dijawab : “Masih dijajah oleh Indonesia!” katanya berterus terang tanpa diplomasi.Anak anak heran, karena mereka sering keluar-masuk kota Maliana, Kabupaten Bobonaro, Timor Timur yang sudah merdeka dan integrasi ke R.I. tanpa paksaan yaitu ketiga saya tugas dikota Atambua, Kabupaten Belu, NTT, tetangga disebelah baratnya.
Saya dan istri depan Gedung PBB, New York
Dari pantai timur kemudian kami menuju kearah utara sampai perbatasan Canada yaitu melihat air terjun raksasa, Niagara Fall dengan naik kereta api pulang pergi dari Washington D.C dan dari stasiun Kereta Api kami langsung ke Dulles Airport Washington naik pesawat menuju ke Orlando, Florida. Sopir taksi yang membawa kami bingung dan bertanya: “Mengapa kalian tidak naik pesawat langsung dari Niagara ke Orlando,” katanya, yang saya jawab: “Memang kami ingin melihat kota-kota kecil dalam perjalanan dengan kereta api”
Istri dan saya naik K.Api menuju Niagara fall
Di Florida, tujuan pertama adalah Orlando yang dipenuhi oleh wisatawan asing maupun lokal, yang ternyata warga Amerika sendiri masih banyak yang baru pertama kali mengunjungi Orlando maupun Kennedy Space Center, stasiun pesawat ulang alik yang sering kita saksikan di T.V
Sebelum kembali ke Jakarta di Olympia kami membuka account di bank lokal dengan travel cek American Express Bank sebesar US$ 30,000.00 untuk keperluan kuliah dan biaya hidup setahun, termasuk biaya makan menu oriental, Vietnam dan Chinese food. Rupanya perut Monang sering mencret, belum mau kompromi dengan menu Amerika dan sebagian uangnya dipakai juga untuk membeli sepeda gunung merk Cannondale yang memang diperlukan pulang-pergi asrama ke tempat kursus atau bepergian ke sekitar kampus. Sampai awal tahun 2008 sepeda ini masih bagus dan masih saya pakai di California Selatan. Itulah awal kisah mengapa anak-anak sekolah ke AS dengan segala kelebihan, kekurangan dan permasalahannya..
Pendidikan Gratis
Apartmen 3 org anak di Rancho Cucamongga
Setelah Monang merambah jalan ke Amerika, tidak lama kemudian disusul oleh adiknya Peggy, tetapi tidak perlu persiapan kursus bahasa lagi, karena sudah kursus di LIA Jakarta dan langsung melanjutkan pendidikan di Senior High Scchool yang betul betul gratis, tidak terkecuali bagi Warga Negara asing, ditambah lagi fasilitas lain seperti Bus antar-jemput warna kuning, seperti yang sering kita lihat di televisi, makan siang gratis dan perpustakaan, yang bearti anak-anak tinggal membawa Buku dan alat tulis.
Dengan demikian, pajak besar yang dibayar oleh warga negara AS, dinikmati juga oleh Warga Negara asing, anak anak Imigran gelap dan Warga Negara Asing lainnya yang tinggal di AS seperti Peggy dan adiknya Pahala yang menyusul kemudian.
Karena tidak dipungut biaya sekolah di High School, maka di tahun pertama dan kedua transfer uang untuk bertiga relatif cukup ringan, karena baru satu orang yang kuliah. Bahkan Peggy pernah kos tinggal sekamar bertiga dengan anak Pak Epi asal Bandung, dengan hanya membayar US$ 200/bulan yang diterima dengan senang hati oleh Tuan rumah, karena merasa terbantu ikut membayar bills listrik telpon dll, yang jika dihitung hanya sebesar ± Rp 400.000,-/bulan tidak jauh berbeda dengan uang kos di Jakarta atau kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Memang beberapa bulan pertama tinggal di AS banyak menemui kesulitan penyesuaian diri, mulai dari bahasa, pelajaran, makanan, cuaca, lalu lintas, mengelola keuangan dan masih banyak lagi sampai lingkungan pergaulan, sifat cuek siswa, sampai-sampai Pahala tidak kuat, meminta pulang ke Jakarta saja, karena di kelas tidak ada teman untuk ditanya waktu pelajaran komputer. Untung, kakaknya yang datang setahun sebelumnya memberikan saran agar bertahan di AS..
Akhirnya bertahan sampai lulus High School dan masuk College. Baru setelah ketiganya mulai kuliah dengan biaya yang relatif mahal dibanding di Indonesia, maka anggaran belanja mulai terasa menggelembung, tapi beruntung usaha kami, PT. Monang Brothers Container mampu menanggung biaya kuliah mereka, jadi bukan lagi dari gaji saya di BRI. Biaya sekolah yang mahal itu disiasati oleh warga AS dengan menabung (selama anak anak masih siswa Sekolah Dasar sampai High School yang gratis), dengan masuk asuransi, ikut financial plan ketika anak-anak masih pendidikan dasar atau memanfaatkan kredit dari bank atau beasiswa yang disediakan oleh berbagai lembaga di sana.
Maka dari itu, tidak heran, lulus High School merupakan sebuah event besar dan istimewa, seperti pesta Prompt, siswa datang berpasang-pasangan sebagai acara perpisahan dan juga merupakan acara rasa syukur, anak mandiri, dapat bekerja mencari makan sendiri, lepas meninggalkan rumah orang tua, karena dengan ijazah High School saja mudah dapat pekerjaan, bagi cityzen.
Pencapaian Nilai
Sebagai orang tua saya sangat bangga atas
kemampuan anak-anak dengan dengan latar belakang sekolah PSKD dan Perguruan
Cikini, Jakarta, mereka mampu mendapatkan nilai GPA maksimum. Mereka menghadapi
dua tingkat kesulitan yaitu belajar
ilmunya sendiri dan memahami bahasanya, seperti Accounting, Macro Economy, US
History, Marketing dan lain-lain. Dengan tekun Monang bisa mengumpulkan kredit
188,57 dari Santa Monica College di Santa Monica dan Chaffey College di Rancho
Cucamonga, hanya tinggal beberapa unit
bisa mencapai S1.
Demikian juga dengan Peggy, yang semula ingin mengambil jurusan Broadcasting, tapi saya yang mencegahnya dengan mengusulkan jurusan Marketing. Alasan saya, jurusan Broadcasting itu di Indonesia tergolong baru, disamping itu Broadcasting itu hanya salah satu aspek atau satu P (Promotion) dari 4P Marketing Mix dari ilmu marketing, selain Poducts, Price dan Placement. Ternyata kemudian saya salah, jika saja saya ikut pilihannya, mungkin dia bisa menjadi spesialis Broadcasting disalah satu stasiun T.V daripada menunggu S1 Marketing, tapi bagaimanapun dengan background pendidikannya dia bersyukur dapat pekerjaan yang layak di Jakarta.
Peggy cukup tekun bisa mengumpulkan kredit dari San Bernadino Valley College, S. Bernadino dan UCLA, University of California di LA dan dalam suratnya berikut ini dia berjanji akan berusaha mendapat rata-rata GPA 2,5 atau lebih.
Rancho, 4/27/97
Dear Mom & Dad,
Here is my classes that I planed to take on summer
in UCLA: money and banking 4 units, business law 4 units, tax
principles and policy 4 units: 12 units x $ 150: $ 1,800 + enrollment
fee $ 260 + I.20 $ 275 + parking (3 months) $ 60. Total fee $ 2,395.
I
just changed my car battery using Robert’s credit card for $ 50, please add it
to the amount due May 12, 1997.
I know it’s really a lots of money. I
promise to both of you, I’ll get the GPA 2.5 or higher (of course I get the
help from the power of our God) and your pray.
I
really appreciate it Mom and Dad. You just don’t know how thankfull I’m having
a parents with a blessing from God. Thank you.
I really look forward to see both of you
in June, because I’ll graduate from my AA degree on June 6th ’97 (same with
your birthday, Mom). I know you couldn’t make it when I wear my “Toga” on my
highschool graduation, but hopefully you could see me walk with the class on my
AA degree graduation this June.
Love
you both.
Peggy Situmeang
Pahala lain lagi ceritanya, sifat dia yang cepat mandiri cukup telaten mengurus sendiri kuliahnya tanpa bantuan saya sampai dia pulang ke Indonesia setelah mendapat prioritas AA graduation, memakai toga hitamnya, padahal masih kurang satu mata kuliah lagi yaitu US History yang akan diselesaikannya kemudian di Chaffey College di Rancho Cucamonga.
Dengan latar belakang pendidikan luar, akhirnya mereka diterima bekerja di lingkungan internasional, mulai dari Peggy menjadi sekretaris warga Singapura di Sekolah Internasional PSKD Mandiri di Menteng, mining company dan Abbalove, lembaga Gereja asing, sedang Pahala semula membantu ekspatriat di Manajemen Gajah Mada Plaza Building, sebelum pindah ke Managemen Cibubur Junction, seta Monang bekerja di National Bank di Costa Mesta, California Selatan, AS, dengan standar penghasilan setempat, sesuai statusnya sebagai Permanent Resident yang mengantongi green card beserta istrinya, warga Indonesian American.
Anggaran Pendidikan
Lain halnya dengan biaya
pendidikan siswa di High school, sebenarnya biaya pendidikan, khususnya biaya
kuliah di College, relatif tidak terlalu mahal, US.$.1.800,-/triwulan untuk 16
unit di luar enrollment fee $ 260, visa student ( I.20) $ 275 dan parkir $ 60
pertriwulan, diluar biaya makan, sewa apartemen US$ 750 untuk dua kamar tidur,
ruang tamu, ruang makan, dapur dan garasi.
Namun semenjak tahun 1997 saat dollar mulai merangkak naik, anggaran pendidikan mereka bertiga pun pun otomatis ikut melambung, mencapai Rp 8,5 – 10 juta per bulan, dengan kurs ± Rp 2.400,- per dollar, yang berarti anggaran pendidikan setahun mencapai sekitar US$ 49.775 jauh lebih tinggi dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya dengan kurs dollar yang berkisar sekitar Rp 2.000,-.
Sedangkan biaya lain juga tidak terlalu mahal, seperti uang saku, bensin dan pemeliharaan mobil, weekend, cukup mengantongi $ 400 - $ 600 per bulan disamping biaya bersama antara US$ 380 – 550 per bulan untuk utilities (listrik, gas, telepon), kabel TV dan angsuran TV 29 inchi. Jika bill telepon membengkak, dengan kesadaran sendiri si pengguna akan mengenali nomor yang didial dengan sadar menanggung pembayarannya, atau kami di Jakarta selalu siap-siap jika sewaktu-waktu ada permintaan khusus seperti ganti aki, pasang AC, pengecatan mobil,bahkan sampai ganti tiang listrik yang roboh karena aksiden. Khusus untuk mengantisipasi aksiden seperti ini, ketiga mobil diasuransikan dengan membayar premi dengan angsuran bulanan.
Untuk mengatur distribusi dana, setiap mentransfer lewat Bank BII Kelapa Gading atau Western Union selalu saya kirim Faksimile rincian biaya sampai mendetail untuk setiap anak dan semua saya transfer ke Rekening anak paling besar yang kemudian mendistribusikannya. Jadi anak anak sudah terbiasa mengenal rincian Anggaran biaya.
Yang justru terlupakan adalah anggaran khusus untuk Peggy sebagai wanita seperti bedak, lipstick dan sejenisnya, sampai teman-temannya berkomentar: “Peggy, enak sekali, kalau perlu uang tinggal telepon,” katanya, melihat Peggy kadang-kadang telepon meminta kiriman $100 - $200, sampai Pahala pernah bergurau kepada saya : “Kalau Peggy yang minta, Papi pasti kasih,” katanya sedikit iri.
Sebenarnya, setelah saya perhatikan file yang ada, rincian anggaran masing-masing tidak jauh berbeda, kecuali permintaan anggaran Peggy untuk beli buku dan tuition fee, uang sekolah, yang tidak otomatis kami kirim, tetapi minta difax dulu daftar nama buku dan mata kuliah yang akan diambil, sampai kami pernah diajak membeli buku di toko buku San Bernadino Valley College di San Bernardino sehingga tahu persis penggunaan dananya.
Stay or Go
Ada masa pasang dan ada pula masa surat yang
dimulai awal tahun 1998 dimana kami dan anak anak dihadapkan pada situasi pilihan, tetap tinggal bekerja di AS atau pulang ke
tanah air atau dua opsi antara “Stay or Go” karena PT. Monang Brothers sebagai
sumber dana anggaran pendidikan tutup, diterjang tsunami krisis ekonomi, dan
itulah periode terakhir kami mentransfer uang ke AS, dimana anak-anak mulai
bekerja dan kuliah pun nyaris berhenti, walau ada keringan uang sekolah untuk
mahasiswa dari negara-negara Asia yang dilanda krisis ekonomi. Dan apartemenpun terpaksa ditinggalkan dan mereka tinggal sementara di
mess Gereja JKI, di Pomona, dimana Monang tetap setia melayani sampai dengan
saat ini.
Untuk sementara mereka bekerja, Monang bekerja di Gas Station, Peggy bekerja di toko, sedang Pahala bekerja di gudang minuman, dimana suatu ketika bosnya Pahala bingung ketika habis bekerja dijemput oleh Abangnya dengan Mercy hitam. Pahala menjelaskan: “Kami bekerja karena terjadi krisis di Indonesia!”, yang diikuti tanda mengerti dari bosnya.
Akhirnya saya menawarkan dua pilihan, Stay or Go, tetap bekerja di Amerika atau pulang ke Indonesia, karena tujuan ke AS bukan untuk bekerja tetapi untuk sekolah, seperi Bapak saya dulu ditahun 1962 waktu melepas kepergian saya merantau ke Jawa berpesan : “Kalau kami tidak sanggup mengirim uang, kau harus bersedia pulang!”, katanya minta pengertian saya. Saya menawarkan alternative memilih tetap tinggal, bisa menjual Mercy $15,000 dan diganti mobil merek lain senilai $10,000, dan sisanya untuk membayar uang kuliah sampai selesai S1 atau memilih pulang dan hasil penjualan mobil bisa ditabung di Jakarta dengan suku bunga 60% per tahun waktu itu.
Dalam situasi psikologis anak-anak yang sudah biasa hidup tenang, full time student, dihadapkan pada pilihan sulit ini, akhirnya mereka memilih pulang dan menyelesaikan studi S2 di Jakarta, baru setelah wisuda S2, Monang dan istrinya Sarah memilih kembali ke AS karena merasa lebih cocok tinggal, bekerja, kuliah dengan lingkungan dan budaya AS, sedang Peggy dan Pahala memilih tinggal di Jakarta, karena cinta Indonesia.
No comments:
Post a Comment